Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bocah Penggembala Kambing yang Tertidur di Kuburan

1 Maret 2020   19:08 Diperbarui: 1 Maret 2020   21:20 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bocah Penggembala Kambing. Ilustrasi congkop.xyz.

Beternak menjadi mata pencaharian tambahan warga di sebuah desa di Grobogan, Jawa Tengah. Meski bukan peternakan besar, hanya peternakan kecil ala rumahan, namun beternak menjadi penopang pemenuhan kebutuhan yang terkadang mendadak, selain hasil pertanian. 

Ada warga yang beternak ayam, bebek, kambing, dan sapi. Jika ada kebutuhan mendadak, seperti butuh uang untuk menggelar acara syukuran dan membayar uang sekolah anak, hewan ternak bisa dijual, karena masa panen belum tiba. 

Alkisah seorang bocah penggembala kambing tergeragap saat terbangun dari tidur. Ia tidak sedang tidur di ranjang rumah, namun tertidur di area pemakaman atau kuburan. Ia tertidur ketika mengembala kambing. 

Hari libur sekolah bagi siswa kelas 1 SMP itu seharusnya jadi hari menyenangkan. Ia berbeda dengan teman-teman sebayanya, tak bisa leluasa bermain saat hari libur, atau bersantai menonton film kartun di layar televisi. Ia mendapat tugas menggembalakan kambing-kambing milik keluarganya.

Suatu minggu ia menggiring 11 ekor kambing menuju padang rumput di area kuburan desa. Berbekal air minum, topi atau caping sebagai penghalau panas, dan pecut kecil. Ia mulai menggiring kambing-kambing menuju kuburan.

Saat itu ia sedang tak sehat. Badannya meriang dan kepalanya pusing. barangkali dia demam atau masuk angin. Hal itu tak menjadi alasan ia harus berleha-leha di rumah. Terdengar suara kambing-kambing mengembik karena lapar. Ia segera menggiring 11 ekor kambing: 4 ekor kambing jantan dewasa, 3 ekor kambing betina dewasa, dan 4 ekor anak kambing.

Sengatan matahari pagi yang beranjak siang menyilaukan kelopak matanya. Pening di kepala semakin bikin uyeng. Ia bertenduh di bawah pohon juwar (johar) dan tertidur di ubin di sekitar satu makam. Kuburan dianggap angker bagi sebagian orang. Namun anak itu tak menghiraukannya. Ia tidak takut dengan cerita-cerita horor maupun mereka yang telah mati dan terkubur dengan layak. 

Baginya ketenangan yang hakiki adalah saat ia menggembala kambing. Tak ada seruan keras dari orang tuanya yang terkadang memekakkan telinga sebab kemalasannya. Tak ada bentakan kecil  dari ayahnya karena ia kerap meminta uang jajan. Kisah Nabi Muhammad yang sewaktu kecil juga menggembala kambing kerap diceritakan guru ngaji dan ayahnya. Hal itu menjadi penyemangat dan bocah itu tak perlu minder meski terkucil dari teman sebayanya.

Mengembala kambing adalah pelajaran berharga. Si bocah belajar bagaimana menjadi orang bertanggungjawab demi menjaga ternaknya. Menggembala adalah pekerjaan remeh namun pelajaran pertama dalam hidup bahwa ia dididik bekerja keras sejak kecil.

Entah berapa lama bocah itu tertidur di kuburan. Ia terbangun gelagapan ketika tersadar tidur di kuburan. Satu hal yang membuat ia bingung: 11 kambing miliknya menghilang. Didera kebingungan seperti itu ia mati langkah. Ia mencari ke sana ke mari. Setelah pontang-panting mencari di area pemakaman, ia merangsek menuju rumah. 

Dia beranggapan para kambing pulang ke rumah setelah kenyang memakan rerumputan. Ia setengah berlari menuju kandang, kambing-kambing itu tak dijumpainya.

Ia takut kambingnya hilang atau dicuri ketika ia tidur. Ia kembali ke kuburan. Saat bersamaan ia mendengar seorang tetangga mengumpat karena kawanan kambing memakan tanaman jagung di sawahnya. 

Bocah itu segera berlari menuju arah suara. Ia diperingatkan secara kasar karena lalai mengembala kambing. Sang petani itu menuduh jika kambing-kambing dilepas, dan si bocah dituding sengaja meninggalkan kambing.

Bocah lugu itu meminta maaf. Tentu tak ada keberanian untuk mengutarakan mengapa ia sampai "kehilangan" kambing-kambingnya. Cerita bocah tertidur di kuburan itu ia simpan rapat-rapat hingga kini, setelah 20 tahun berlalu.

Satu pelajaran yang dia dapat: menggembala kambing adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan tanggungjawab. Jika lalai kambing-kambing itu bisa merusak tanaman milik tetangga. 

Kambing tak punya pikiran. Kambing tak punya dosa. Dia lah sang penggembala yang menangung dimarahi jika kambing itu memakan tanaman milik tetangga.

Cerita kambing dan bocah penggembala adalah kultur yang tak bisa dipisahkan dari warga desa. Undang-undang eksploitasi anak tak berlaku, meski terindikasi mempekerjakan anak di bawah umur. Sang anak tentu sedikit terpaksa, waktu berharga untuk bermain terpaksa dihabiskan dengan menggembala. 

Saat dewasa bocah itu bersyukur. Menggembala kambing adalah peristiwa yang masih dikenang hingga sekarang. Ada kerinduan namun tak bisa terulang masa kecil yang indah itu. Begitu tenang dan damai hidup di desa dengan segala keterbatasannya. Berbeda hal dengan dirinya yang kini hidup di kota.

Setiap pulang mengunjungi kampung halaman, bocah yang kini menjadi lelaki muda itu masih kerap bernostalgia. Syukurlah, orang tuanya masih memelihar kambing dan sapi. Dalam beberapa kesempatan ia mencari rumput bersama ayah atau ibunya. 

Sesekali ia menggembala kambing di halaman rumah. Ia tidak menggembala lagi di kuburan karena tak ada lagi padang rumput. Sepetak demi sepetak tanah terisi makam dari tahun ke tahun.

Sewaktu kecil lelaki muda itu sempat bersedih. Kambing kesayangannya hendak dijual orang tuanya. Saat itu musim gagal panen dan anak itu butuh uang guna membayar bulanan sekolah, mau tak mau kambing satu persatu kambing dijual demi mencukupi kebutuhan.

Lebaran lalu ada cerita lucu dan menggelikan. Satu keponakannya yang  masih kelas 6 SD menangis karena kambing yang dipeliharanya  dijual oleh ayahnya, yakni paman saya. 

Sang anak menangis tak henti-henti. Sang ayah terpaksa bertandang ke pembeli kambing, dan mengembalikan uang hasil penjualan. Syukurlah si pembeli tidak ngotot mempertahankan kambing yang dibelinya. Tiba-tiba lelaki muda itu teringat masa kecilnya. Seolah masa itu kembali. (Miv)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun