Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bocah Penggembala Kambing yang Tertidur di Kuburan

1 Maret 2020   19:08 Diperbarui: 1 Maret 2020   21:20 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia takut kambingnya hilang atau dicuri ketika ia tidur. Ia kembali ke kuburan. Saat bersamaan ia mendengar seorang tetangga mengumpat karena kawanan kambing memakan tanaman jagung di sawahnya. 

Bocah itu segera berlari menuju arah suara. Ia diperingatkan secara kasar karena lalai mengembala kambing. Sang petani itu menuduh jika kambing-kambing dilepas, dan si bocah dituding sengaja meninggalkan kambing.

Bocah lugu itu meminta maaf. Tentu tak ada keberanian untuk mengutarakan mengapa ia sampai "kehilangan" kambing-kambingnya. Cerita bocah tertidur di kuburan itu ia simpan rapat-rapat hingga kini, setelah 20 tahun berlalu.

Satu pelajaran yang dia dapat: menggembala kambing adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan tanggungjawab. Jika lalai kambing-kambing itu bisa merusak tanaman milik tetangga. 

Kambing tak punya pikiran. Kambing tak punya dosa. Dia lah sang penggembala yang menangung dimarahi jika kambing itu memakan tanaman milik tetangga.

Cerita kambing dan bocah penggembala adalah kultur yang tak bisa dipisahkan dari warga desa. Undang-undang eksploitasi anak tak berlaku, meski terindikasi mempekerjakan anak di bawah umur. Sang anak tentu sedikit terpaksa, waktu berharga untuk bermain terpaksa dihabiskan dengan menggembala. 

Saat dewasa bocah itu bersyukur. Menggembala kambing adalah peristiwa yang masih dikenang hingga sekarang. Ada kerinduan namun tak bisa terulang masa kecil yang indah itu. Begitu tenang dan damai hidup di desa dengan segala keterbatasannya. Berbeda hal dengan dirinya yang kini hidup di kota.

Setiap pulang mengunjungi kampung halaman, bocah yang kini menjadi lelaki muda itu masih kerap bernostalgia. Syukurlah, orang tuanya masih memelihar kambing dan sapi. Dalam beberapa kesempatan ia mencari rumput bersama ayah atau ibunya. 

Sesekali ia menggembala kambing di halaman rumah. Ia tidak menggembala lagi di kuburan karena tak ada lagi padang rumput. Sepetak demi sepetak tanah terisi makam dari tahun ke tahun.

Sewaktu kecil lelaki muda itu sempat bersedih. Kambing kesayangannya hendak dijual orang tuanya. Saat itu musim gagal panen dan anak itu butuh uang guna membayar bulanan sekolah, mau tak mau kambing satu persatu kambing dijual demi mencukupi kebutuhan.

Lebaran lalu ada cerita lucu dan menggelikan. Satu keponakannya yang  masih kelas 6 SD menangis karena kambing yang dipeliharanya  dijual oleh ayahnya, yakni paman saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun