sekolah yang terjadi di Jawa Tengah menjadi sorotan Kompasianer Susy Haryawan. Susy menulis artikel Jawa Tengah Berwajah Pongah (Kompasiana, 14/01/2020). Tiga peristiwa intoleransi di lingkup
Dalam artikel Susy merinci tiga kasus intoleransi terjadi di wilayah Solo dan sekitarnya (Soloraya), yakni intimadisi terhadap siswi karena tidak berjilbab dan pengibaran bendera organisasi terlarang oleh siswa. Dua kasus ini terjadi di Sragen.Â
Sedang kasus ketiga yang disodorkan Susy terkait siswi di Solo yang dikeluarkan pihak sekolah karena komunikasi lawan jenis yang dianggap Susy terlalu berlebihan.
Penulis berpendapat terlalu dini menyebut Jawa Tengah Pongah akibat tiga kasus di atas. Pongah menurut KBBI online adalah sangat sombong atau angkuh (baik perbuatan maupun perkataan). Jika merujuk tiga peristiwa di atas, lalu menyimpulkan Jawa Tengah berwajah Pongah itu terlalu sadis.Â
Susy miris karena Jawa Tengah yang selama ini dikenal andap asor, lembah manah berubah berwajah arogan, pongah, dan merasa paling benar.
Tak adil jika oknum sekolah, bahkan oknum siswa dijadikan patokan melabeli Jateng pongah. Dua kasus yang terjadi di Sragen sudah mendapatkan penanganan yang sesuai. Pihak sekolah dan dinas terkait tidak arogan dan membiarkan.Â
Tindakan pembiaran bakal menambah keresahan. Jika pembiaraan dilestarikan kasus serupa bisa saja terjadi di sekolah lain. Pada kenyataan dua kasus di Sragen sudah ditangani.Â
Terkait kasus siswi di sebuah sekolah di Solo yang dikeluarkan, Susy tidak berimbang mengecek fakta. Bertebaran berita di media online terkadang hanya menambah sensasi lebih panas.Â
Beberapa berita di media online menyebutkan jika siswi dikeluarkan karena komunikasi lawan jenis dan ucapan ulang tahun melalui whatsapp. Riannawati, Dosen UNS Surakarta menyebutkan telah terjadi framing oleh media yang berimbas pada penilaian negatif terhadap sekolah.
Saya melakukan kroscek. Tentu saja melalui berita dan pengamatan di media sosial. Itu cara termudah dan efisien di era digital, era 4.0. Dalam sebuah tayangan di Solopos TV pihak sekolah memberi klarifikasi bahwa siswi tersebut kerap membuat pelanggaran, bukan hanya satu kasus. Hal umum jika terjadi pelanggaran siswa mendapat poin pelanggaran, sedang poin pelanggaran siswi tersebut sudah melebihi dari poin maksimal.Â
Ksputusan mengembalikan siswi ke pihak orang tua akibat akumulasi pelanggaran yang dilakukannya selama sekolah. Siswi bersangkutan melakukan beberapa pelanggaran melampaui poin yang telah ditetapkan. Batas poin sharusnya sebanyak 51, tapi siswi tersebut telah mencapai 75 poin. (Solopos TV)