Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Modus Penipuan Berkedok Sumbangan Bencana

10 Januari 2020   06:54 Diperbarui: 10 Januari 2020   07:05 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita wajib mewaspadai modus penipuan mengatasnamakan gerakan peduli bencana. Tindakan oknum tak bertanggungjawab ini ibarat penyakit musiman. 

Mereka "mengetuk" kepedulian masyarakat dengan beragam modus: mangkal di pinggir lampu lalu lintas, berkeliling di pasar tradisional, dan mendatangi perkantoran dan perumahan. 

Ada yang bergerombol maupun perseorangan sambil membawa kardus atau membawa map agar lebih meyakinkan. Mereka menyasar warga perkotaan hingga pedesaan.

Bencana banjir di awal tahun 2020 terjadi di berbagai wilayah di Indonesia juga dimanfaatkan oleh penipu. Pagi ini saya membaca pesan di WA grup keluarga, ada modus penipuan mengatasnamakan peduli korban banjir di kota xxx. 

Mereka berkeliling ke rumah-rumah warga dengan pakaian necis meyakinkan, tetapi ketika ditanya hal teknis penyaluran bencana tak bisa menjelaskan.

Penipuan berkedok peduli bencana ini  serupa modus penipuan minta sumbangan masjid. Mereka komplotan penipu yang terkoordinir rapi. Saya teringat kejadian beberapa waktu lalu saat saya pulang kampung di daerah Grobogan, Jawa Tengah. 

Ada peminta sumbangan mengatasnamakan pembangunan sebuah masjid di Surabaya. Saya hendak menginterogasi pencari sumbangan itu, tapi ibu saya melarang. 

Peminta sumbangan fiktif alias penipu itu sudah jamak berkeliaran di desa. Warga desa curiga, tetapi memilih diam dan tak mau bikin keributan. Biarlah mereka mencari uang dengan cara haram. Kelak, dia akan mempertanggungjawabkannya di akhirat, begitu kira-kira pemikiran ibu saya dan warga.

Kasus serupa saya alami di Solo beberapa tahun lalu. Ada ibu-ibu membawa map mendatangi tempat kerja saya. Saya membuka map berisi surat yang meyakinkan. Di surat itu tertera nama masjid dan ketua pembangunan masjid lengkap dengan kop surat, stempel, dan tanda tangan. 

Saya bertanya pada ibu itu tentang siapa nama panitia dan letak persis lokasi masjid yang dibangun. Ia terdiam tak bisa menjelaskan. Saya menarik kesimpulan jika pembangunan masjid itu fiktif. Saya hanya berpesan kepada pencari sumbangan itu agar mencari uang dengan cara halal sambil menyelipkan uang Rp10.000 di map.

Saya tidak memukul rata, tentu banyak komunitas atau lembaga yang bertanggungjawab  mengumpulkan sumbangan lalu disalurkan kepada korban bencana  dengan tepat. 

Untuk kehati-hatian dan antisipasi agar sumbangan tidak salah sasaran. Kita bisa menyumbang melalui lembaga dan komunitas peduli bencana yang terpercaya. Jangan sampai niat baik kita disalahgunakan oknum penipu. (Miv)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun