Setelah lulus kuliah, kau bekerja di sebuah penerbitan di kota ini, sedang dia bekerja di Dinas Kebudayaan di kota kelahirannya.Â
Bisa jadi terpisah jarak ternyata menjadi sebab terpisah pula perasaan. Ah, bahkan ia tak memiliki perasaan sama yang kau rawat dalam dadamu.Â
Kisah selama dua tahun bagimu sangat menyenangkan, namun baginya hanya kepura-puraan. Sebuah pesan singkat darinya menyesakkan napasmu, seolah memutus urat lehermu. Kenangan-kenangan yang bagimu indah  harus kaukubur dalam-dalam.
Untuk urusan pekerjaan, beberapa kali kau ke kotanya. Tak ada keberanian menjumpainya. Selalu yang kaubayangkan bertemu dengannya.Â
Kausadar, kalian sudah berpisah, hubungan kalian hanya kepalsuan, dan kini semua telah berakhir. Tak ada alasan berarti untuk menemuinya.Â
Kau tetap saja menganggapnya sebagai kekasih. Dia bukanlah cinta pertamamu, tetapi dia kekasih pertama. Dia pula yang menghanguskan mimpi-mimpimu.
Kau pernah merasakan patah hati, tetapi kali ini terparah. Kaudengar ia mempunyai lelaki sebagai penggantimu, hatimu remuk. Kau masih mencintainya!Â
Khayalan dan mimpimu masih tertuju padanya. Kini dia memang telah benar-benar menutup pintu hatinya. Tak ada lagi celah bisa kaumasuki. Garis nasib membuatmu tambah merintih.
Apa yang perlu kauingat dari gadis yang membuatmu terluka selama enam tahun? Kau menebus dua tahun bersamanya dengan enam tahun yang sia-sia.
Bangkitlah! Sembuhlah! Kau tak perlu lagi bertahun-tahun patah hati, bertahun-tahun menutup hati. Tak mau membuka hati untuk gadis lain.
Kau tak harus menyesal. Ia yang memintamu menjauh, melepas ikatan. Jika kau berhasil menemuinya barangkali sama saja kau mencari duri yang pernah menancap di hatimu.Â