Tak hanya itu, Masjid Biru yang terletak di Maxen, Dresden, merupakan kenangan tentang bukti keislaman Raden Salah yang bertahan lama di Eropa. Masjid Biru ini adalah sebuah bangunan yang didirikan oleh salah satu sahabatnya, Mayor Friedrich Anton Serre, pada tahun 1855 yang dijadikan simbol prasasti kehadiran Raden Saleh yang cukup lama di Jerman. Di atas pintu masjid tersebut tertulis motto hidup yang bersumber dari Raden Saleh dengan tulisan aksara Jawa dan Latin berbunyi "Hormatilah Tuhan dan cintailah manusia".
Raden Saleh dilahirkan dalam keluarga muslim, dan tetap mempertahankan kepercayaannya tersebut hingga akhir hayat menjemputnya pada tahun 1880. Ia dikebumikan dengan upacara pemakaman sesuai ajaran Islam. Jenazah Raden Saleh dimakamkan di Kampung Empang, pinggiran kota Bogor. Prosesi pemakaman ini merupakan peristiwa besar karena hampir seluruh lapisan komunitas kolonial di Bogor merasa perlu untuk menghadirinya.Â
Jenazah Raden Saleh diiringi oleh banyak pejabat pemerintahan, residen, para tuan tanah, para haji, penghulu, kiai, serta umat muslim dari segala lapisan masyarakat, begitu juga orang-orang Jawa, termasuk para pemuda Jawa dari sekolah pertanian turut berpartisipasi dalam prosesi pemakaman Raden Saleh. Tak lupa, lima medali kehormatan yang diraih selama Raden Saleh hidup pun turut diarak menuju tempat pembaringan terakhirnya.
Tertulis pada nisan makamnya "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Paduka Kandjeng Radja Wolanda", berangkat dari kalimat pada nisan itulah yang kelak akan sering melahirkan banyak tafsir yang melahirkan perdebatan berkepanjangan mengenai jiwa patriotik Raden Saleh.
Di tanah kelahirannya, Semarang, namanya diabadikan sebagai nama tempat yang menjadi pusat kesenian dan kebudayaan Jawa Tengah yang berlokasi di Jl. Sriwijaya Nomor 29 Kota Semarang, yakni Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).
Â
Raden Saleh, Seni dan Patriotisme SimbolikÂ
Selain meninggalkan beberapa karya yang fenomenal, kehidupan yang dijalani Raden Saleh juga meninggalkan beberapa pertanyaan hingga perdebatan, khususnya mengenai rasa patriotisme dan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, yang mana perdebatan itu sendiri telah lama ada sebelumnya dalam jiwa dan perasaan Raden Saleh sendiri. Ya, Raden Saleh sempat mengalami kegundahan yang cukup besar dalam kehidupannya.
Raden Saleh merasa gundah akan identitasnya yang tidak jelas. Ia pergi ke Eropa sebagai penduduk asli Hindia, lalu kembali ke tanah air sebagai orang Eropa modern yang tidak diakui oleh masyarakat tanah air, tetapi bukan pula bagian yang cocok bagi masyarakat Eropa. Ia dijauhi bangsanya karena dianggap telah menjadi "wong londo" karena sempat lama hidup di Eropa sana. Ia dianggap menikmati hidup dengan segala kemewahan fasilitas dari pihak yang sedang menginjak-injak bangsanya sendiri, sementara paman dan sepupunya tengah menderita dalam pengasingan karena memperjuangkan tanah airnya.Â
Para pejabat Hindia-Belanda pun sebagian ada yang bersikap tidak layak terhadap Raden Saleh, mengingat ia memiliki hubungan erat dengan Adipati Terboyo dan anaknya yang mendukung Pangeran Diponegoro dan terlibat dalam perang Jawa. Raden Saleh pun sempat difitnah ikut terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Sempat pula ada orang yang mengutus mata-mata yang menyamar menjadi pembantu di rumahnya untuk mengawasi segala gerak-gerik Raden Saleh.