Mohon tunggu...
miftachul huda
miftachul huda Mohon Tunggu... Freelancer - rajin pangkal pandir

setiap kita merasa paling benar..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

4 Panduan Penting Meliput Kecelakaan Sriwijaya Air dan Bagaimana Berempati

11 Januari 2021   16:29 Diperbarui: 13 Januari 2021   19:42 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Liputan bencana seharusnya mengutamakan orang hidup untuk membangkitkan semangat mereka, bukan fokus pada kematian, meski itu tetap penting," Penulis buku Jurnalisme Bencana, Ahmad Arif. (makassarterkini.id)

 

Kerja-kerja jurnalistik dua hari ini banyak ternoda dengan berita-berita yang tidak layak disebut produk jurnalistik. Berita-berita nir-empati seperti soal ramalan, gaji pilot, hingga firasat para korban kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 seketika menjadi bahan bakar para netizen melayangkan kritiknya atas produk berita hari ini.

Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia jurnalistik termasuk organisasi di dalamnya,-alih-alih harus bersedih saya lebih memilih menertawakan betapa industri media ini telah membunuh semua, termasuk sensivitas bencana. Industri lah yang membuat jurnalis-jurnalisnya menjadi robot algoritma: klik. 

Dan perusahaan sebagai representasi dari industri menikmatinya dan terus menambang uang darinya, dan dalam titik ini jurnalis adalah korbannya. Korban bagaimana harus terus mengeksploitasi informasi, dan celakanya kadang tidak pada porsinya. 

Saya juga memaklumi kemarahan netizen, karena bagaimana pun media dengan segala 'keistimewaan' yang melekat di dalamnya adalah wakil publik, dia datang untuk kepentingan publik, sangat wajar jika perwakilannya ini tak sesuai yang diharapkan publik, maka publik berhak marah.

Dalam kecelakaan pesawat ini, media kita sejatinya tidak kurang-kurang selalu memproduksi berita-berita informatif dan menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, namun demikian media juga tidak bisa melepas tanggung jawabnya ketika ada satu, dua, tiga, empat, lima media yang menampilkan berita-berita nir-empati dan eksploitatif keluarga korban seperti deretan berita yang menyulut kemarahan warganet.  

steemit.com
steemit.com

Sikap kritis publik sangat diperlukan untuk menjadi pagar bagi media, agar media tidak semakin barbar bermain-main dengan adsense dengan menerapkan logika pasar, menggoreng judul, main-main dengan Keyword, tanpa memikirkan efek buruk yang diakibatkan dari tulisan itu.

Dua hari ranah dunia maya berisik dengan kegelisahan-kegelisahan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merespon cepat kegelisahan ini, AJI--sebuah organisasi yang menurut saya terbaik dalam profesi jurnalistik---mengeluarkan statemen dan panduan bagaimana meliput dan memberitakan kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ-182, dan saya kira ini juga berlaku untuk meliput bencana lainnya.

Panduan ini penting sekaligus menjadi bekal yang wajib, agar media atau jurnalisnya menjadi lebih peka, dan bisa menumbuhkan rasa empati terhadap setiap peristiwa yang dihadapinya. 

Dalam siaran pers AJI Indonesia hari ini, disinggung juga soal bagaimana menghormati pengalaman traumatis korban meskipun tidak disebut eksplisit dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, namun sikap menghormati pengalaman traumatis itu terdapat penjelasannya. 

Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik mengatakan, "Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik". Salah satu bentuk dari sikap profesional itu adalah "menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara."

"Menghormati pengalaman traumatis nara sumber adalah implementasi dari prinsip minimizing harm atau meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak kerja jurnalistik". 

Prinsip ini pula yang menjadi dasar penyamaran identitas anak pelaku kejahatan dan korban kejahatan susila dalam pasal 5 KEJ. Beberapa prinsip penting lain dalam KEJ adalah: fungsi jurnalisme "mencari kebenaran", "bekerja untuk kepentingan publik", "berusaha menjaga independensi".

Melihat bagaimana jurnalis dan media meliput dan mempublikasikan berita soal peristiwa kecelakaan Sriwijaya Air tersebut, AJI Indonesia menyerukan:

1. Jurnalis dan media harus menghormati pengalaman traumatik keluarga korban Sriwijaya Air dengan tidak mengajukan pertanyaan yang bisa membuatnya lebih trauma, termasuk dengan pertanyaan "Bagaimana perasaan Anda" dan semacamnya. Jurnalis juga harus mengormati sikap keluarga korban jika tidak bersedia diwawancara atau menunjukkan sikap enggan digali informasinya.

Tugas jurnalis memang mencari informasi, namun hendaknya juga memperhatikan hak narasumber untuk dihormati perasaan traumatik atau sikap enggannya. Sebagai bagian dari sikap penghormatan ini, media juga hendaknya tidak mengeskploitasi informasi, foto atau video yang bisa menimbulkan trauma lebih lanjut bagi keluarga dan publik.

2. Jurnalis dan media hendaknya tetap memegang prinsip profesionalisme seperti diatur dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Salah satu prinsip bekerja secara profesional adalah dengan menggunakan sumber informasi yang kredibel dan kompeten. 

Semangat untuk menggali informasi dari banyak sumber adalah hal yang baik untuk mencari kebenaran, namun pemilihan sumber tetap harus mempertimbangkan kredibilitas dan kompetensinya. Menggunakan sumber dari seorang "peramal" sebagai bahan berita kecelakaan seperti ini adalah tindakan yang kurang patut.

3. Media sebaiknya lebih fokus menjalankan fungsi "informatif" dan "kontrol sosial" dan menghindari sisi yang relevansinya jauh dari peristiwa, apalagi kalau sampai mengesankan tidak menghormati pengalaman traumatik keluarga korban. 

Mengangkat soal gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya mungkin bersifat informatif, tapi kurang tepat pada saat sekarang ini. Kecuali ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan bahwa itu menjadi faktor signifikan dalam kecelakaan. 

Akan lebih bermanfaat jika jurnalis dan media fokus pada memberi update terbaru tentang peristiwa sehingga bisa membantu publik, termasuk keluarga, dalam bertindak. Jurnalis dan media juga perlu lebih mengungkap soal aspek tanggungjawab dari perusahaan dan otoritas penerbangan soal keamanan dan kalaikan pesawat, agar bencana serupa tak terulang di masa mendatang.

4. Jurnalis juga perlu tetap mengikuti protokol kesehatan dalam liputan kecelakaan Sriwijaya Air ini, dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik yang aman untuk menghindari penularan Covid-19. 

Selain soal kesehatan, yang juga tetap harus diperhatikan adalah aspek keselamatan dalam liputan. Jurnalis yang bertugas dalam liputan pencarian korban dan puing pesawat di Kepulauan Seribu, hendaknya menggunakan alat keselamatan seperti baju pelampung.

***

Selain bagaimana meliput yang tepat, pada poin ke empat itu AJI juga terus mengingatkan jurnalis saat bertugas dalam meliput untuk tetap mengutamakan keselamatan, banyak jurnalis yang mengikuti proses pencairan ke laut, pagi, siang dan malam. Pesan untuk menjaga keselamatan diri ini penting karena bagaimanapun 'Tiada berita seharga nyawa'. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun