Tahun 2020 benar-benar menjadi tahun yang hitam bagi banyak orang. Hari-hari yang lalu telah banyak menguras segalanya. Belum selesai itu semua, kini virus mutasi Covid-19 mulai jadi hantu yang menebar ketakutan-ketakutan baru seperti tak berkesudahan.
Jika mutasi virus ini tak terkendali penyebarannya di seluruh dunia seperti serangan gelombang pertama, maka corona makin menjadi penebal tragedi terbesar sepanjang sejarah manusia modern.
***
Hari ini hampir setiap spesies bernama manusia telah banyak kehilangan. Mereka yang anak-anak kehilangan waktu bermain merasai ruang terbuka bersama riuh rendah suara teman-teman mereka, di sekolah, di lapangan bola, di pasar, hingga di sudut-sudut kota hingga pelosok desa.
Mereka yang remaja harus terpangkas gairahnya akan dunia luar yang gegap gempita sekaligus menyenangkan. Api semangat yang sedang menggebu-gebu harus disiram dengan pembatasan-pembatasan pandemi.
Mereka yang dewasa kehilangan pekerjaan, kehilangan orang-orang terkasih, bahkan kehilangan harapan. Mereka yang belia, remaja hingga tua inilah yang sampai saat ini terus berjuang di tengah banyak aturan, banyak ketakutan, banyak sakwasangka, dan tentunya mereka semua sangat kelelahan.
Mereka ini juga yang terus berjuang agar ancaman virus mutasi tak sudi singgah di Indonesia--setelah 18 negara telah terjangkiti virus mutasi ini. Bahkan tetangga terdekat kita Malaysia juga telah mengabarkan adanya virus mutasi yang menjangkiti negeri serumpun itu.
Cukupkah 3 M
Selama 10 bulan terakhir di tahun 2020, sepertinya istilah 3 M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak) menjadi salahsatu istilah yang populer di google-- selain istilah 'corona' yang di mesin pencarian google tersedia 1,2 miliar tulisan. Â Â
Namun pertanyaan besarnya adalah sejauh mana efektivitas 3 M di tengah ancaman mutasi virus corona ini?
Saya cuplikkan keterangan dari epidemiolog Griffith Australia, Dicky Budiman yang menyebut upaya 3M sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, kini yang lebih efektif adalah 5 M, yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, membatasi mobilitas dan interaksi hingga menjauhi kerumunan.
Bukan hanya itu saja, hal itu juga didukung dengan pelacakan (tracing), pemeriksaan (testing) dan perawatan (treatment) Covid-19 yang memadai (kompas.com 04/12/2020).
Namun akui saja, kadang di antara kita untuk taat 3 M saja berat, ini buka karena kemalasan, namun kadang aturan-aturan seperti 3 M tadi yang sudah berlangsung lama tidak membuat kita terbiasa, namun sebaliknya kadang membuat kita lelah. Akibatnya semangat pencegahan COVID-19 dari diri pribadi kita mengendur, sehingga gairah untuk menerapkan protokol 3 M tadi ikut luntur.
Bukti ini sudah nyata adanya, 3 Desember lalu ada ledakan kasus terbesar dan menyumbang rekor harian tertinggi mencapai 8.369 kasus positif corona, dan ini tak menutup kemungkinan terjadi di 2021 bukan? Terlebih mutasi virus yang konon tingkat penularannya lebih mudah dibanding virus corona gelombang pertama, artinya jika mutasi virus ini ada di Indonesia ledakan demi ledakan kasus mudah terjadi.
Itu baru 3 M, lalu bagaimana 5 M, khususnya pada poin membatasi mobilitas dan menjauhi kerumunan? Lihat saja kondisi mall hari ini, acara-acara hajatan?
Percayalah pencegahan corona maupun mutasi virus (jika kelak ada di Indonesia) itu bukan sekadar kerja-kerja saintis. Namun kolaborasi warga dan negara. Sejauh mana masyarakat tertib aturan dan taat anjuran, sudah itu saja: taati aturan dan anjuran, ini memang klise.
Jangan lupa meningkatkan imun dengan kebiasaan yang sederhana namun berlipat ganda kasiatnya, seperti konsumi vitamin hingga minuman jahe yang mudah kita dapatkan di pekarangan rumah. Olahraga murah seperti jogging hingga bersepeda juga cara paling praktis untuk kebutuhan imun kita juga, percayalah menjalani isolasi di rumah sakit itu tidak enak (saya pernah merasakan 12 hari). Â
Jangan lupa juga terus berpikir optimis dan positif jika wabah global ini bisa kita lalui. Caranya berpikir positif juga mudah: 'kita tak sendiri melawan corona termasuk mengantisipasi mutasi virus ini, seluruh dunia melawan hal yang sama. Kita tidak sendirian'. 'Setiap hari jutaan orang juga melangitkan doa yang sama: dunia yang terbebas dari corona'. Â Â
Jika Anda kehilangan pekerjaan karena efek pandemi, maka ada orang lain bahkan kehilangan orang yang paling disayanginya. Jika Anda kehilangan orang terkasih, maka ada orang lain yang kehilangan harapannya.
Seabad lalu ketika saintis tak secanggih hari ini, dunia mampu menumpas penyakit paling ditakuti abad 20 yakni cacar yang telah merenggut 300 juta orang seluruh dunia (Bbc.com), maka hari ini meski dengan tingkat kesulitan berbeda, memusnahkan corona termasuk varian terbaru sekalipun virus mutasi adalah soal waktu. Â
Sembari menunggu waktu itu tiba, kini yang tidak kalah pentingnya kehadiran negara, memastikan distribusi vaksin tanpa harus diribetkan dengan syarat administrasi kependudukan yang kadang membuat rumit semua. Kemudian ketersediaan tempat isolasi termasuk tempat perawatan yang di sana sini sudah banyak penuhnya.
Memang kita semua lelah dengan imbauan-imbauan, kita jengah dengan anjuran-anjuran, jargon-jargon pencegahan, aturan-aturan, tapi apa lagi yang bisa kita lakukan selain mentaatinya?
Jika tidak, maka rasa lelah, jengah dan muak dengan kondisi ini akan terus berkepanjangan. Karena itu sudah saatnya kita akhiri kelelahan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H