Perkembangan terbaru seleksi pimpinan KPK semakin menarik. Sebelumnya beberapa calon sempat ramai-ramai membantah hasil rekam jejak (tracking) antara lain ICW yang mewarnai proses pergantian pimpinan lembaga yang menentukan nasib pemberantasan korupsi mendatang.
Dua calon mantan penegak hukum saat diwawancarai oleh anggota Tim Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK hari ini (26/8) sempat terlontar komitmennya membersihkan institusi dimana mereka berasal.
Salah satu calon Pimpinan KPK, Chaerul Rasyid, sempat menyatakan siap memberantas korupsi di dalam institusi kepolisian. Mantan Kapolda Jawa Tengah ini bakkan siap menyelidiki kasus dugaan "rekening gendut" perwira tinggi Polri jika terpilih. Selain itu, Sutan Bagindo Fahmi juga menilai kejaksaan sebagai institusi yang patut dijadikan prioritas dan target utama pemberantasan korupsi. Mantan Direktur Ekonomi Kejaksaan Agung ini menilai institusi dimana beliau bekerja lekat dengan permainan mafia hukum. (www.kompas.com, 26 Agustus 2010)
Dari pernyataan ini secara tidak langsung sebuah pengakuan profesi penegak hukum rawan penyalahgunaan. Pemberantasan korupsi berada di pundak institusi kepolisian dan kejaksaan, dan KPK yang sedang mencari pemimpin. Sebelumnya ICW menetapkan 11 prasyarat bagi Pimpinan KPK, sehingga merekomendasikan kepada Pansel Pimpinan KPK agar menolak unsur unsur polisi dan jaksa untuk menjadi pengganti pimpinan KPK. Karena KPK harus memprioritaskan pemberantasan korupsi dan mafia di institusi penegak hukum. Selain itu agar menolak advokat yang pernah membela kasus korupsi sebagai pimpinan KPK.
Yang patut menjadi perhatian ketujuh calon tersebut siapa yang paling layak memimpin KPK ke depan dengan beratnya tanggung jawab di pundaknya? Sebagaimana kita tahu tugas KPK menangani perkara korupsi kelas kakap dan korupsi yang melibatkan pejabat penting di negeri ini.
Kalau calon dari unsur penegak hukum (advokat, polisi, jaksa, hakim) sebenarnya memiliki keunggulan tersendiri, setidaknya kenyang praktek dan lika-liku berperkara. Jadi ketika menghadapi kasus tidak bingung apa yang mesti dilakukan. Akan tetapi disisi lain, profesi hukum hampir tiap hari bersentuhan perkara yang bernilai uang dan terkait jabatan sehingga rawan penyuapan dan pemerasan. Jika sekali saja penegak hukum terlibat penyalahgunaan kasus, maka selamanya ia akan terpenjara dengan kasus tersebut dan kasus-kasus lainnya. Sewaktu-waktu borok-nya akan dibuka pihak-pihak yang menjadi sasaran tembak KPK. KPK akan berjalan di tempat dipundak pemimpin yang memiliki cacat bawaan yang siap meledak setiap saat.
Jika seorang penegak hukum hidup jujur dan bersih, orang-orang tersebut benar-benar teruji. Mereka pantas sekali memimpin KPK masa mendatang. Akan tetapi, apakah itu ada? Tentu sangat sulit. Jika yang menilai calon adalah orang yang memahami dunia dan logika mereka, akan mudah menilai integritasnya. Karena apa yang disalah-artikan oleh media dan masyarakat belum tentu itu salah menurut logika dunia hukum. Selain itu, stigma negatif tidak serta merta mencerminkan kondisi sebenarnya di dalamnya.
Saat ini menurunnya kinerja KPK dengan kasus membelitnya, dibutuhkan calon yang tidak dari unsur advokat, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kalaupun pernah atau menjalani profesi advokat dan hakim sudah teruji integritas dan kinerjanya. Rekomendasi ICW layak mendapatkan perhatian, karena institusi ini diragukan membersihkan dirinya sendiri. Supervisi dan pengambilalihan perkara justru menjadi bumerang jika itu menjadi kerja sama untuk menutup perkara atau mempermainkan keadilan dan kebenaran. Tidak ada artinya kewenangan besar di tangan orang yang memperkaya dirinya, keluarga, dan kelompoknya.
Semisal saja Jimly Asshiddiqie meskipun seorang mantan hakim konstitusi, akan tetapi berasal dari lembaga terdepan mewujudkan peradilan modern dan terpercaya. Jimly membawa MK tidak terseret arus sistem peradilan buruk pada umumnya. Selain itu, Bambang Widjojanto, meskipun advokat, tetapi justru banyak membela kasus-kasus publik dan banyak aktif di lembaga yang konsen dalam pemberantasan korupsi. Selain itu itu, Busyro Muqoddas yang menjabat Ketua Komisi Yudisial meskipun mantan advokat, ia lebih banyak aktif di perguruan tinggi dan lembaga kajian, sehingga relatif bersih.
Tiga calon ini memang layak dipilih meski berlatar belakang penegak hukum. Mereka teruji dari sisi tingkat kepercayaan publik tinggi, integritasnya cukup bagus, teruji kinerjanya selama ini, dan memiliki visi dan misi yang jelas atas pemberantasan korupsi. Pimpinan KPK membutuhkan orang yang memiliki kemampuan menejerial bagus dan karakter kuat memimpin KPK mewujudkan mimpi-mimpi mulianya. Jika tidak, maka KPK akan ikut angin berhembus. Pimpinan KPK harus tegar dari tekanan politik pihak manapun. Artinya menegakkan hukum tidak pandang bulu ketika tersangkut dengan perkara kelompok lawan atau teman. Ketika terjadi tebang pilih sangat melukai rasa keadilan. Ketiga calon ini dengan segala kelemahannya terbukti setidaknya membangun kepercayaan masyarakat dengan lembaga-lembaga yang diembannya selama ini.
Kriteria ICW sangat bagus dan bisa setidaknya sebagai patokan. UU KPK sendiri menentukan syarat-syarat yang sangat umum saja. Misalkan saja ICW menyatakan harus memiliki integritas, perencana strategis (strategic thinker), investigating mind, imparsial dan independensi tinggi, siap bekerja dalam tekanan, berani mengambil resiko dan bukan safety player, memiliki prioritas pemberantasan korupsi dan mafia di institusi penegak hukum, peradilan, dan bisnis, tidak ewuh pakewuh, terminimalisir dari konflik kepentingan (politik, bisnis), memiliki social credibility dan public trust yang tinggi, dan bukan berasal dari polisi, jaksa dan advokat yang membela kasus korupsi.
Dari ketujuh calon yang ada, saya rasa sulit terpenuhi secara sempurna. Pansel seharusnya jeli menangkap yang dibutuhkan KPK saat ini. Meskipun tidak maksimal, paling tidak calon mendekati tingkat kesempurnaan atau terbaik dari calon-calon yang ada. Dari praktik selama ini potensi penyalahgunaan karena ketidakmampuan menghadapi tekanan politik dan ewuh pakewuh jika melibatkan kekuasaan/ korpsnya, sehingga terjadi tebang pilih. Dengan kebiasaan korup juga mudah terbawa jika memimpin KPK, kecuali sistem pengawasan sangat ketat. Beberapa problem ini harus diselamatkan dengan pemimpin yang layak. Kenapa kita memilih pimpinan yang harus setiap saat diawasi oleh bawahan? Kenapa tidak memilih saja orang yang justru mengawasi pemberantasan korupsi berjalan? Sangat membuang-buang energi dan melelahkan memilih orang yang tidak membawa angin perubahan.
Kecil harapan memberantas korupsi di tangan aparat penegak hukum, jika pimpinan KPK sendiri terbiasa menyelewengkan kekuasaan. Apalagi membersihkan kandangnya sendiri yang berarti melibas habis kawan-kawan satu korps. Karena itu membutuhkan keberanian dan siap tidak berumur panjang. Pansel Pimpinan KPK mudah-mudahan mengusulkan calon terbaik dari tujuh calon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H