Masalah yang timbul dari aspek tenaga kesehatan sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari pihak peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (dalam tulisan ini akan disebut BPJS) sudah sering kita dengar. Keluhan dan ketidakpuasan peserta seringkali menghiasi media cetak maupun elektronik. Entah itu berupa antrian panjang karena tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas sampai pelayanan yang tidak optimal akibat tenaga kesehatan yang dianggap kurang kompeten. Walaupun sesungguhnya pelayanan tidak optimal salah satunya dapat diakibatkan juga oleh faktor kelelahan akibat membludaknya pasien di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masih banyak tenaga kesehatan tidak paham mekanisme dan peraturan BPJS sehingga peserta dibuat kebingungan atau malah bahkan dirugikan. Publik hanya bisa berkeluh kesah atas kekurangan pelayanan dari tenaga kesehatan, tanpa melihat bagaimanakah kepuasan kerja tenaga kesehatan sesungguhnya.
Obrolan ringan semalam bersama seorang tenaga kesehatan puskesmas menginspirasi saya untuk menuliskan judul di atas. Saat topik terkait permasalahan SDM yang dihadapi puskesmas di era (JKN) kami bicarakan, hal pertama yang diungkapkannya adalah “PENENTUAN POINT PENILAIAN YANG TIDAK ADIL”. Dimana menurut tenaga kesehatan tersebut, beban kerja tenaga kesehatan non-medis di puskesmas sebenarnya lebih berat daripada tenaga kesehatan medis (dokter dan dokter gigi). Namun penentuan poin dalam pembagian jasa pelayanan sepertinya lebih berpihak kepada tenaga kesehatan medis. Is it fair? Let’s take a look…
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, tercantum poin penilaian tehadap variable jenis tenaga yang ada di puskesmas sebagai berikut: (1) tenaga medis 150; (2) tenaga apoteker atau tenaga profesi keperawatan (Ners) 100; (3) tenaga kesehatan setara S1/D4 60; (4) tenaga non kesehatan minimal setara D3, tenaga kesehatan setara D3, atau tenaga kesehatan dibawah D3 dengan masa kerja lebih dari 10 tahun 40; (4) tenaga kesehatan di bawah D3 25; dan (5) tenaga non kesehatan di bawah D3 15. Selain itu, tenaga yang merangkap tugas administratif sebagai Kepala Puskesmas, Kepala Tata Usaha, atau Bendahara Dana Kapitasi JKN diberi tambahan nilai 30. Jika dibandingkan antara poin (1) dan (3)/(4), dimana notabene tenaga kesehatan yang tergolong ke dalam poin (3)/(4) cukup banyak jumlahnya di puskesmas, memang terdapat kesenjangan point penilaian yang cukup jauh, terpaut 90-110 poin.
Dalam PMK tersebut juga disampaikan bahwa kapitasi yang diperoleh puskesmas sebagai PPK 1 dapat digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Kegiatan operasional yang dimaksud termasuk upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya; kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan; operasional untuk puskesmas keliling; bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau administrasi keuangan dan sistem informasi. Dimana sekurang-kurangnya 60% dana kapitasi digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan.
Lantas bagaimana beban kerja tenaga kesehatan di puskesmas sesungguhnya? Ternyata memang beragam. Ada puskesmas yang beban kerjanya bertumpuk pada tenaga kesehatan non-medis. Misalnya saja seorang bidan dapat menangani pemeriksaan pasien umum, kunjungan rumah, pelaksanaan posyandu dan imunisasi. Belum lagi jika bidan tersebut juga merupakan pemegang program tertentu. Sementara tenaga kesehatan medis (dokter dan dokter gigi) hanya melakukan pemeriksaan pasien saja yang notabene merupakan kegiatan dalam gedung serta tidak memerlukan tenaga dan pemikiran ekstra. “Mana mau dokter ngerjain kunjungan rumah”, seloroh rekan saya yang tenaga kesehatan puskesmas tadi. Di puskesmas lain, bisa saja justru tenaga kesehatan medisnya yang pontang-panting menyelesaikan ini itu hingga persoalan administatif sesederhana pendaftaran pasien dan rekap absensi. “Ya terpaksa ngerjain begituan, stafnya tidak ada yang mau bergerak koq, entah karena tidak bisa atau tidak mau”, kata rekan saya yang eks kepala puskesmas di daerah pinggiran kota. Permasalahan beban kerja ternyata memang menjadi sumber rasa ketidakadilan di sini.
Sesama tenaga kesehatan dengan profesi yang sama di sebuah puskesmas, bisa saja memiliki tingkat “kesibukan” yang berbeda. Misalnya dokter gigi A karena sudah lebih kompeten akibat “jam terbang yang tinggi” dapat menangani lebih banyak pasien daripada dokter gigi B yang lebih “junior”. Sehingga dokter gigi A lebih produktif dalam melayani pasien. Bidan C yang rajin dapat menangani 20 pemeriksaan ANC dalam sehari, sementara bidan D karena agak malas hanya dapat melakukan pemeriksaan ANC 10 saja dalam sehari, sisa waktunya digunakan untuk chatting di media sosial dan mengobrol. Dokter E yang hadir tepat waktu dan melakukan pemeriksaan 200 pasien hingga bermandi peluh apakah akan disamakan poin penilaian jasa pelayanannya dengan Dokter F yang juga hadir dan pulang tepat waktu tapi hanya bersantai, ongkang-ongkang kaki sambil mengobrol? Jadi apakah cukup adil apabila hanya variabel pendidikan dan jam kehadiran saja yang dimasukkan ke dalam poin penilaian pembagian jasa pelayanan? Mungkin sebaiknya bukan hanya variabel pendidikan dan jam kehadiran saja, tetapi juga perlu dimasukkan variabel beban kerja dan kinerja tenaga kesehatan.
Apabila kedua variabel tersebut diabaikan, mungkin saja perilaku tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan akan berubah. Para tenaga kesehatan yang merasa kelebihan beban kerja dapat saja menjadi malas untuk “bekerja lebih”. Untuk apa “bekerja lebih” jika toh mereka hanya dibayar berdasarkan pendidikan terakhir dan kehadiran saja. Tidak ada pertimbangan beban kerja dan kinerja dalam pembagian jasa pelayanannya. Dalam kasus di atas, jangan salahkan jika dokter gigi A, Bidan C, dan Dokter E “ngamen” di fasilitas pelayanan kesehatan lain selepas jam kerja mereka di puskesmas. “Dapet capeknya doang”, celoteh anak muda sekarang. Pendekatan remunerasi mungkin merupakan sebuah solusi untuk keadilan pembagian jasa pelayanan di era JKN ini.
Sudah saatnya kepuasan kerja tenaga kesehatan diperhatikan. Agar tenaga kesehatan tidak lagi mencari-cari “tambahan” penghasilan di luar jam kerja, ngamen sana-sini hingga tenaga mereka terkuras. Akibatnya saat bertugas, pelayanan tak lagi berkualitas. Parahnya, nyawa pasien bisa lepas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H