Mohon tunggu...
Mida Mardhiyyah
Mida Mardhiyyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku menulis, maka aku bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panggil Aku "Jeng"

7 Mei 2013   12:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media adalah salah satu alat pembentuk opini paling jitu. Lihat saja, warga yang tadinya acuh bisa jadi berang dan langsung ikut menghancurkan rumah tersangka kasus penyekapan buruh di Tangerang setelah melihat berbagai pemberitaan. Media juga bisa membuat kita lupa akan kisruh korupsi triliunan rupiah dan larut dalam duka atas kepergian salah satu da’i kondang. Saya bisa jadi salah satu dari sekian warga yang terkena pembentukan opini media.

Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, percaya atau tidak saya termasuk orang yang tidak suka denganistilah “jeng”. Menurut saya istilah “Jeng” itu mencerminkan perempuan yang suka bergosip, genit, ganjen, suka ngobrol hal-hal yang tidak penting, dan sederet perilaku negatif lainnya. Referensi itu saya dapatkan sepenuhnya dari media. Jelas sekali, di lingkungan saya istilah “Jeng” tidak pernah digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Mindset itu saya bawa sampai ke Yogyakarta. Saya selalu merasa risih dan kerap tersenyum mengejek setiap kali teman memanggil saya dengan sebutan “Jeng”. Selain itu, secara otomatis saya selalu menirukan nada bicara para aktris dalam mengucapkan istilah “Jeng” yang selalu diucapkan dengan raut antusias tidak sabar ingin membicarakan sesuatu.

Sampai suatu hari, salah satu ban motor milik teman saya bocor dalam perjalanan pulang dari rumah seorang dosen. Kami berhenti di sebuah tambal ban yang merangkap rumah di samping jalanan malam yang mulai lengang. Kebetulan sekali seorang teman yang kerap memakai istilah “jeng” untuk menyapa teman lainnya tidak ikut serta dalam kegiatan kami. Ntah apa topik awal obrolan kami, yang pasti tiba-tiba topik berubah membicarakan teman kami itu. Obrolan kami santai dan tanpa rasa bersalah saat menertawakan teman yang kerap memanggil kami “Jeng”.

Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan obrolan kami dan menguncinya dengan rasa malu “Lho, malah bagus lho mbk kalo mbk nya dipanggil Jeng. Itu khan sama saja sama Diajeng. Di Jawa panggilan  Jeng itu tanda sayang lho mbk. Artinya orang itu merasa kita orang dekatnya makannya dipanggil Jeng”. Kata perempuan dibalik bilik tempat kami menambal ban.

Kami saling pandang dan nyengir kuda sambil “oh iya bu, nggih” kata kami akhirnya yang sekaligus menutup pembicaraan yang sejujurnya sangat menyakitkan jika dipandang dari sisi teman kami yang selalu memanggil kami dengan istilah “Jeng”. She actually Loves me and my friend for calling us with Jeng.

Sebenarnya, kejadian itu berhasil meruntuhkan mindset yang selama ini terbangun. Ini hanya sebagian kecil dari berbagai macam opini yang tanpa sadar kita bangun dari apa yang kita saksikan dari berbagai media. Tapi, ingat kata pepatah. Kita tidak bisa menilai seperti apa itu Gajah hanya dengan memegang telinganya. Kita harus melihat keseluruhannya, dari berbagai sudut, dan kalau perlu ceburkan diri ke dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun