4 bulan ke depan saya akan genap berusia 6 tahun di Kompasiana ini. Tahun 2010 sebetulnya saya sudah mendaftar dengan nama samara hahahaha karena masih kurang suka menulis di rumah ini waktu itu. Jadi ya hanya sekedar baca-baca seumpamanya ada tulisan menarik muncul di laman Kompasiana. Tulisan-tulisan Pak Chappy saya suka, ada juga tulisan Kang Pepih, Om Gustaaf, dan masih banyak lagi sering berseliweran saat itu. Penulis aktifnya belum banyak. Sistem moderasinya juga tidak seperti saat ini. Tulisan inipun lahir dalam rangka 8 Tahun Kompasiana.
Nah, setahun kemudian saya baru pakai identitas asli dan mulai menulis dengan tujuan berbagi. Sharing and connecting. Berbagi, berkenalan, membentuk jalinan dan jaringan pertemanan saya rasa amat diperlukan untuk era modern dan borderless dimana kita hidup saat ini. Tempat itu sudah kutemukan.Eureka!
Saya sadar betul betapa beratnya dan susahnya melahirkan satu tulisan, entah karena faktor sibuk atau faktor lain apapun. Karenanya, setiap kali saya posting satu tulisan, bagi saya itu adalah momen terbaik. Saya punya motto writing is breathing, menulis adalah ibaratnya bernafas. Maka setiap satu kali tarikan nafas itu merupakan momen terbaik, sebab tanpa itu saya mati. Tanpa nafas, habislah saya.Â
Sejak pertama kali menulis, mulai bermunculanlah momen-momen paling indah dan paling baik dalam dunia kepenulisan saya di Kompasiana. Dengan Bahasa sederhana sebenarnya saya ingin bilang, bahwa momen-momen indah itu ada di dalam 535 artikel yang sudah saya tulis hingga saat ini, yang oleh karenanya itu berarti saya sudah berbagi sebanyak 535 tulisan, memang sih masih jauh dari sempurna dan masih kurang banyak, tetapi itulah sampai saat ini yang dapat saya berikan. 377 diantaranya diberi hadiah highlight,dan ada sekitar 114 yang jadi Headline. Sudah dibaca oleh hampir 1,5 juta pembaca juga merupakan kebahagiaan tersendiri. Mudah-mudahan pesan tulisan-tulisannya memang benar-benar nyampe ke para pembaca Kompasiana.
Dari kebiasaan mula-mula saya menulis tema Bahasa Inggris di Kompasiana, saya mendapat respon positif dan banyak mendapat undangan untuk training dan memberi pelatihan khususnya di dunia kepelautan. Saya melakukan training dan pelatihan kepada banyak cadet. Karena itu jugalah saya sempat menerbitkan buku Bahasa Inggris Untuk Pelaut dua kali.
Beberapa tulisan saya dijadikan bahan skripsi. Ada juga yang meminta saya menulis di media pelayaran luar negeri. Beberapa tulisan dimuat ulang di media lokal daerah saya, dan beberapa lainnya dijadikan artikel pilihan. Ini tentu, menjadikan semangat untuk terus berbagi lewat tulisan tak akan pernah padam dan memudar. Sebab, semua momen di atas itu adalah momen terindah bersama dan melalui Kompasiana.
Ada tulisan saya empat seri tentang legenda Toar & Lumimuut versi imaginatif saya yang mendapat tanggapan luarbiasa dari para pencinta seni budaya Sulawesi Utara. Tulisan itu mengkisahkan tentang manusia-manusia pertama di tanah Minahasa, yang saya ramu sedemikian rupa menjelma menjadi legenda yang tak gampang dilupakan. Banyak yang berkoresponden dan menelepon saya ajak kerjasama untuk membuat filmnya. Saya diminta menulis sricpt-nya. Hanya saja, karena kesibukan saya belum tindak lanjuti semuanya. Ini salah satu momen penting juga menurut saya.
Momen lainnya adalah tulisan saya tentang Ahok Memang Keterlaluan. Tak sedikit yang merasa terusik sanubarinya, baik itu yang menyukainya pun juga yang membenci. Saya dikirimi banyak jempol dan tentu saja ada yang kirim kelingking, tanda ketidaksukaan. Tulisan itu mendapat komentar sangat banyak dan dibaca hampir 300 ribu pembaca. Momen-momen seperti inilah sebetulnya kita dapat sharing pendapat dengan sebanyak mungkin orang. Terlepas dari apapun komentar para komentator, namun momen-momen seperti ini dapat melatih kita sekaligus mengajak kita untuk terus berbagi, termasuk dalam membalas komentar orang. Membalas dengan bijak.
Saya berkeyakinan bahwa tulisan yang baik dapat mengubah dunia. Tulisan yang buruk pun dapat mengubah seseorang. Tinggal posisi mana yang akan Anda ambil. Menjadi penulis yang berbagi ilmu dan kebaikan, atau sebaliknya?
Dalam hal ini saya tentu amat sadar, bahwa bila ingin mengubah sesuatu maka yang paling dasar adalah diri kita sendiri dulu yang harus kita ubah. Kita tidak patut meminta atau mensyaratkan seseorang atau sesuatu harus berubah bila kita sendiri tidak semakin berubah ke arah yang kebih baik dan lebih baik lagi dari hari ke hari. Kehidupan ini tidak statis. Perubahan adalah keniscayaan.
Contoh, bagaimana mungkin kita minta orang lain untuk disiplin kalua ternyata diri kita sendiri kita dapati sangatlah tidak disiplin. Bagaimana bisa kita meminta seseorang untuk taat hukum bila diri kita sendiri ternyata sangat suka melanggar hukum dan aturan yang ada. Apa jadinya jika kita menyuruh orang lain untuk stop menulis tema negative sementara kita setiap hari memosting berita berita penuh hasutan, provokasi, dan fitnah? Tidak bisa seperti itu.