Tidak dengan maksud membela. Tetapi coba Anda sedikit saja meluangkan waktu untuk menonton utuh video pidato Ahok tersebut, saya yakin tak akan Anda jumpai Ahok menghina ayat suci surat Almaidah ayat 51 itu, apalagi menghina Alquran. Makanya dengar pendapat Nusron Wahid. Baca pula komentar kapolri. Pelajari ulasan para ahli Bahasa lainnya. Tidak ada di sana Ahok menghina ayat suci. Tidak ditemukan pula Ahok menista Alquran atau agama Islam. Yang harus dipertanyakan maksud si pengunggah video editan itu apa sebetulnya?
Masak iya, sudah beberapa hari berlalu sejak pidato Ahok itu, orang-orang yang mendengarkan pidatonya itu secara langsung di Pulau Seribu anteng anteng saja, malah mereka banyak yang bertepuk tangan. Para wartawan tak satupun yang menggembar-gemborkan apa yang memang tak semestinya dipermasalahkan. Anehnya, setelah seseorang mengedit, memotong dan menyebarkan potongan video tersebut seakan-akan dan seolah-olah Ahok telah menghina Alquran dan Islam, maka barulah itu menjadi viral dan heboh. Ada apa ini? Tentu ada maksud secara sengaja mengipas-ngipasi dan memanas-manasi warga masyarakat.
Sederhananyakan Ahok itu mau bilang kurang lebih adalah begini, “….terserah bapak ibu….kalau ada yang membohongi bapak ibu PAKE Surat Almaidah 51…dstnya…” Apa ada yang salah dengan kalimat itu? Kan banyak sekali contoh, dalam agama manapun, politisi maupun tokoh-tokoh kelompok tertentu yang suka sekali mencomot-comot ayat sana sini untuk mempengaruhi orang dan untuk dipakai sebagai pemulus jalan kelompok atau pribadi dia sendiri. Jadi sekali lagi, sudah sangat lumrah ayat-ayat kitab suci dipakai sebagai alat. Sejarah bangsa ini sudah sangat jelas mencatat betapa ‘peperangan politis’ selalu ditarik-tarik menjadi ‘peperangan keimanan atau keagamaan’. Pilpres lalu adalah contoh paling konkrit. History can’t lie. Dimana-mana nona SARA itu memang jauh lebih seksi dari Om Alo. Maka ia akan terus dipakai.
Makanya, di akhir episode keagungan sebuah ayat multitafsir yang sering dipakai sebagai pemicu timbulnya gesekan-gesekan, kita sebetulnya kan melihat ending seperti apa yang mereka inginkan. Sambil menunggu itu, hari ini coba Anda cermati dan jawab sebuah pertanyaan sederhana saya. Apakah ada aksi demo yang bebas kepentingan? Jawabannya sungguh tidak ada. Aksi sebuah demo tentu akan berkiblat kepada kepentingan kelompok-kelompok dibalik aksi demo itu, apapun itu. Tidak ada demo yang murni sekedar demo. Sudah panas-panasan, hujan-hujanan, lapar-laparan, teriak-teriak sampai urat-urat di tenggorokan rasanya mau putus, masak nggak dapet apa-apa.
Siapa yang membiayai mereka. Amunisi apa saja yang mesti disiapkan. Koordinasi macam apa yang diperlukan. Panggung sandiwara seperti apa yang harus diadakan. Semua itu ada dirigennya. Maka, jangan heran juga kalau hari ini ada banyak aksi demo yang dipenuhi orang-orang yang sebetulnya nggak ngerti apa-apa tetapi mau hadir ikut teriak-teriak oleh karena asupan materi tertentu, paksaan, atau karena iming-iming dan sebagainya. Bayangkan saja, untuk apa sih ada demo yang bahkan melibatkan anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa? Apakah hanya supaya kelihatan ramai dan terlihat banyak yang hadir? Walahualam deh. Saya tidak mengkritik kelompok pendemo tertentu ya. Ini berlaku umum.
Bahayanya, kalau misalnya saja pendukung Ahok juga mau ikut membuat sebuah demo tandingan. Wah, bisa tambah ramai jalanan kan. Jangan dikira sukarelawan Ahok itu sedikit, termasuk 1 juta orang lebih yang sudah memasukkan KTP mereka, begitu juga dengan para fans Ahok yang setiap saat siap turun ke jalanan, apa nggak tambah ramai kalau begitu?
Makanya, sudahlah, cukupkan saja ‘permaianan’ demo-demoan yang nggak jelas. Kenapa nggak jelas? Oleh karena yang berdemo itu malah sudah pakai mengancam dengan cara-cara preman kampungan segala. Bukankah ancaman menggantung dan membunuh adalah ciri-ciri peneror dalam mengintimidasi seseorang atau institusi. Memangnya juga institusi kepolisian bisa diintimidasi macam itu?
Anda mau meminta institusi negara untuk memproses secara hukum seseorang, tetapi justru di sisi lain Anda mengancam dan mengintimidasi seperti apa yang Anda lakukan itu? Apakah nantinya justru bukan sebaliknya, Andalah yang harus diperiksa dan diinterogasi sebagai peneror dan provokator? Think about it wisely, my man! Dan, kalau Anda berkoar-koar lewat toa, maka cobalah untuk think twice before you speak out loud. Mohon maaf kalau ada kata-kata saya yang salah atau terdapat kekeliruan, saya belum siap didemo soalnya. Ini jelas opini saya, just take it or leave it. Peace!
Pada tahun 1980-an terbit sebuah buku bagus karangan Walter Harrelson bejudul, "The Ten Commandments and Human Rigts". Dari sekian banyak pencerahan, saya tertuju pada sebuah tulisan rasional tentang HAM dan kebebasan. Harrelson mengingatkan kita, bahwa kebebasan yang sejati hanya dapat diperoleh jika orang terikat pada nilai-nilai ilahi. Ia lalu kemudian mengutip sebuah nyanyian yang berkata begini:"....Make me a captive, Lord, And then I shall be free. Force me to render up my sword, And I shall conqueror be....Imprison me wtihin thy arms, And strong shall be my hand."---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H