Bertahun-tahun yang lalu, kita masih begitu nyaman tanpa terlibat apapun di media sosial. Kita belum mengenal Facebook. Kita tidak tau apa itu Twitter, Youtube. Lalu Instagram? Apa pula itu. Ngeblog? Jangan mimpi bro!
Era masa kini lain, bung!
Kita seakan hilang jati diri kalau tidak eksis di dunia media sosial. Tiap hari update status menjadi sebuah keniscayaan yang tak dapat kita bantah. Menjadi kebutuhan yang tidak dapat kita tunda. Maka jangan heran kalau hari ini kita jumpai banyak sekali pribadi yang punya semboyan “makan boleh terlambat, update status tidak boleh terlambat.” Dunia media sosial seakan menjadi ‘jembatan penghubung’ antara mimpi dan realita. Apa yang tempo hari hanya bisa hadir dalam mimpi dan impian, kini menjadi nyata senyata-nyatanya lewat media sosial. Anda dapat menunjukkan siapa Anda, kemampuan apa yang Anda miliki, tujuan apa yang hendak Anda capai – kepada dunia di luar sana, hanya dalam hitungan detik. Anda bisa menjadi terkenal dalam sentuhan jari tangan Anda pada tombol publish. Diri Anda disanjung setinggi langit, pun bisa juga dibully habis-habisan. Semuanya tergantung Anda. Tampilan seperti apa. Sikap seperti apa. Keinginan seperti apa. Media sosial hanya mensyaratkan satu hal: Koneksi Internet lancar!
Tidak sampai di situ saja. Era media sosial adalah era dimana semua hal menjadi begitu mudah, namun serempak menjadi amat sulit. Anda menjadi begitu mudah untuk dikenal, tetapi juga akan begitu sulit mencari tempat bersembunyi untuk tidak diinjak-injak dan dihina. Apapun kelakuan Anda, ketika itu sudah terpublish lewat media sosial, maka bersiaplah untuk dinilai, disorot, dan lalu kemudian diadili.
Media sosial rupanya telah sedemikian rupa membuat batasan antara apa yang bersifat private dan yang umum menjadi amat kabur. Kadang persoalan di dapur sendiri bisa menjadi konsumsi orang banyak. Lalu orang banyak itu ramai-ramai mengadili dan melempar opini masing-masing ke apa yang terbaca di status kita. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap apa yang Anda tulis. Status yang kita sampaikan, secepat kilat menyambar akan langsung saja dikerubuti bagaikan semut mengerubuti gula. Ini realitas yang tak mungkin kita abaikan.
Dunia kita memang seakan sudah tanpa batas lagi. Dan, kita cenderung menerimanya dengan tangan dan hati terbuka. Bahkan dalam ruang etika dan norma manusia beradab, kita sudah tak sanggup lagi menolak apa yang tersaji di hadapan mata kita. Seakan kita tidak lagi punya pilihan lain selain ‘menikmati’ sampai tuntas pertunjukan kebaikan serta keburukan apapun yang senantiasa menghiasi layar laptop atau smartphone kita. Orang yang bermedia sosial adalah orang-orang yang siap menerima kenyataan, baik itu manis atau pun pahit.
Pada era ‘dark ages’, katakanlah sebelum tahun 1995, setiap orang masih punya keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain dimana saja. Tidak mudah untuk berinteraksi. Anda harus beli tiket untuk ketemu muka dengan seseorang yang berada jauh dari lokasi tempat tinggal Anda. Tapi tidak hari ini. Sekarang Anda bisa ketemu muka dengan siapa saja yang tinggal di benua manapun lewat berbagai macam aplikasi yang menawarkan kemudahan video call atau video chat. Lompatan kuantum dunia komunikasi dan teknologi telah menawarkan ‘sorga’ bagi sebagian penggunanya. Di sisi lain, hal itu telah juga menciptakan ‘neraka’ bagi sebagian yang lain. Banyak yang memanfaatkan berbagai bentuk kecanggihan ini untuk hal-hal yang tidak baik. Penipuan, pemerasan, fitnah, pembunuhan karakter, teror meneror, manipulasi, menghasut dan memprovokasi, serta berbagai macam bentuk kejahatan lainnya terus meningkat seiring perkembangan dan percepatan yang terjadi amat pesat dalam dunia teknologi dan komunikasi.
Peran Media Sosial Dalam Hidup Keagamaan
Sebagai orang yang beragama, Anda boleh bangga bahwa dunia saat ini menawarkan banyak kemudahan bagi Anda supaya terlihat sebagai orang yang beragama dan beriman takwa. Oleh karena kenapa? Oleh karena saat ini ada banyak sekali forum-forum keagamaan online maupun aplikasi-aplikasi tertentu yang dapat Anda ikuti dan temui dengan mudah. Di sana Anda dapat terlibat aktif. Berdiskusi, tanya jawab, bahkan mengkritisi doktrin keagamaan yang menurut Anda kurang pas.
Dengan gadget canggih di tangan, Anda bisa mendownload banyak sekali aplikasi keagamaan, atau apa yang saya sebut sebagai ‘aplikasi relijius’. Ini tentu saja menjadikan Anda akan kelihatan semakin keren dan terlihat sebagai orang beriman hebat. Ada Alkitab online, Alquran online, dan aplikasi-aplikasi ‘tafsir’ lainnya. Ada juga sarana menambah keimanan dan ketakwaan Anda dengan terjun langsung ke beberapa situs rohani. Bagi yang Kristen umpamanya, ada Godtube.com tempat untuk sharing video rohani. Ada christian.com, praize, xianz, hisholyspace, dan masih banyak lagi. Yang muslim umpamanya bisa mampir ke muslimsocial.com, muxlim, naseeb, dan banyak lainnya. Ini adalah sarana Anda beriteraksi dan juga buat tambah wawasan keagamaan Anda – secara online. Tapi tetap Anda sendirilah yang harus membatasi diri, keterlibatan Anda sampai sejauh apa.
Ini luar biasa keren tentunya. Tetapi apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Anda benar-benar sudah menjadi orang yang beragama, saleh, dan beriman takwa? Belum tentu. Keberagaman dan keimanan kita tidak serta merta dapat dinilai dari aksesoris yang kita kenakan bukan? Seberapa beriman Anda, dan seberapa tinggi Anda menjungjung nilai-nilai keagamaan yang Anda anut itu sebetulnya dapat terlihat dari cara Anda berinteraksi dengan sesama manusia yang sejatinya berbeda agama dengan Anda.
Sanggupkah dan mampukah Anda menerima perbedaan? Jangan sampai, dengan kecanggihan teknologi dan dengan berkembangnya daya tarik media sosial justru menjadikan Anda seolah berubah wujud menjadi pembenci, pendusta, dan pemecah belah. Berkembang pesatnya media sosial memanglah menjadikan interaksi sosial kita (social interactions) jauh lebih dangkal, tetapi juga jauh lebih lebar dan luas. Kita patut mawas diri dan berhati-hati oleh karenanya.
Kemarin saya jumpai sebuah ‘diskusi panas’ di forum diskusi online antar agama dan melibatkan beberapa orang, termasuk mereka-mereka yang menyebut diri ‘ahli kitab’, ‘ahli tafsir’, dan entah ahli-ahli apa lagi. Diskusi kemudian berkembang sangat panas dan terjadi saling tuding saling hina. Saya turut ‘menikmati’ sensasi perdebatan mencari kebenaran itu, dengan hati yang galau dan sedih tentu saja. Kok bisa seperti ini ya sikap dan cara berdebat orang-orang yang mengaku beragama dan ilmunya tinggi.
Bagi saya, diskusi itu tidak lagi memunculkan ruang damai dan punya sikap kemanusian, yang ada hanyalah ruang angkara murka dan saling caci. Ini memiriskan. Sementara mereka menyebut diri mereka ahli ini dan itu, jauh di dalam hati saya, maaf saja, saya harus memberi ‘umpatan’ singkat, “Kalian bukan ahli apa-apa kecuali ahli huru hara!”. Belum merdeka dari cara berpikir konyol mau menang sendiri. Bagaimana mungkin demi mempertahankan apa yang kalian yakini sebagai kebenaran, tetapi dengan begitu gampangnya kalian menista yang berlainan keyakinan dengan apa yang kalian yakini itu. Lagi-lagi, bagi saya ini adalah sikap kekanak-kanakan dan bodoh.
Media sosial mestinya menjadi alat dan sarana kita untuk mewujudkan intimasi dan jalan panjang merekonstruski kembali kerukunan antar semua kita yang mengaku beragama, dengan agama yang sungguh berbeda-beda itu. Menolak perbedaan, berarti kita melegitimasi ketidakmampuan kita menghargai dan menghormati TUHAN yang sudah merancang dan menciptakan kita terlahir memang berbeda. Kalau ada iklan yang berkata, “Apapun makanannya, minumannya tetap.....(dilarang sebut merek)” Maka saya berani bilang begini, “Apapun agamamu, hidupmu akan jauh lebih berarti bila itu dapat memberi arti bagi hidup orang lain....”
Sikap kita terhadap media sosial, dan bagaimana cara kita menggunakan itu demi memperkuat kerukunan antar umat beragama sesungguhnya adalah cerminan siapa kita sesungguhnya. Tatkala kita menjadikan media sosial sebagai alat propaganda untuk meniup bara permusuhan antar umat beragama, menunjukkan secara jelas kualitas keimanan dan kemanusiaan kita yang kerdil. Bila media sosial kita jadikan ajang memanas-manasi kaum satu golongan supaya mereka memusuhi golongan lain, ini jelas menunjukkan seperti apa kualitas keagamaan kita. Agama hanya kita jadikan kedok belaka untuk menebar kebencian dan memperluas ketidaksukaan. Kita menjadi manusia munafik dan pendusta.
Perjumpaan Keagamaan Dalam Perspektif Rukun dan Damai
Hal yang masih amat jarang terungkap dalam berbagai macam diskusi keagamaan di Indonesia ini adalah sikap Nabi Muhammad kepada Raja Najasyi. Cerita sejarah yang saya baca menunjukkan betapa mulianya sikap sang nabi. Ketika Raja Najasyi wafat, Nabi Muhammad melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampunan Allah, padahal raja tersebut beragama Kristen. Hal ini dilakukan nabi oleh karena mereka datang dari satu trah kenabian yang sama, yaitu Ibrahim (Abraham).
Pesan apa yang dapat kita tangkap membaca Q.S al-Maidah 5:82? Yang berkata, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani’.” Menurut al-Qurthubiy dan Rasyid Ridha pernyataan dalam ayat itu bukan hanya sekedar doktrin semata, namun hal itu bahkan melampaui semua doktrin keislaman.
Sikap toleran dan kebiasaan bersikap terbuka terhadap perbedaan merupakan kunci utama perdamaian dunia. Sikap-sikap seperti ini menjaukan kita dari perasan superior mau menang sendiri di atas nama kebenaran. Maka ada lagu luarbiasa yang sering saya dengar, bahkan ikut nyanyikan, yang berkata kurang lebih seperti ini, "....Alangkah indahnya bila saudara hidup rukun dan damai....Karena ke sanalah Tuhan akan mencurahkan berkatnya atas kamu...."
Langkah Nabi Muhammad juga diikuti oleh para sahabat, dan yang paling mendekkati kemiripan adalah sikap Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini datang ke Yerusalem disambut oleh Uskup Agung Sophronius di depan the Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus). Ketika akan menunaikan shalat, Umar pun dipersilahkan melaksanakannya di dalam Gereja, tetapi ia menolak hal itu. Ia menolaknya oleh sebab bila ia shalat di dalam Gereja, maka hal itu dikhawatirkan dapat menyebabkan Gereja tersebut diubah menjadi Mesjid. Sikap Umar tersebut menjadi bukti bahwa terhadap bangunan umat yang berbeda keyakinan, umat Islam menjaganya.
Sayangnya, sekitar abad ke 9 – 13 mulailah militer kaum muslim bertemu dengan kelompok-kelompok non-muslim. Lalu kita semua yang sadar sejarah telah mengetahui dengan hati perih, apa yang terjadi selanjutnya, bahwa pertemuan militer yang paling memilukan dalam sejarah dua agama samawi ini terjadi pada Perang Salib (Crusade). Sejarah kelam yang tak seharusnya terjadi kembali di era media sosial, era kekinian.
Hubungan yang harmonis antar umat beragama memang pasang surut bagaikan air laut. Terkadang membaik, tak jarang memburuk. Sering terlihat keeratan yang membahagiakan, namun sering pula muncul kerenggangan yang mengkhawatirkan. Pasang surut tingkat ‘kemesraan’ itu menampak pada berbagai peristiwa berdarah-darah di berbagai daerah. Ada korban berjatuhan. Ada tempat ibadah dibakar dan diruntuhkan. Ini sudah seharusnya sama-sama kita putuskan mata rantainya sesegera mungkin. Sudahlah, cukupkan saja pertikaian karena perbedaan agama itu hadir di negeri ini. Adalah bodoh, sangat bodoh bahkan menurut saya bila masih saja ada umat yang mengaku beragama namun sama sekali tidak cinta kerukunan dan perdamaian.
Dapatkah Media Sosial Menjelma Menjadi Pembunuh Kerukunan?
Kita mesti mengakui dengan hati yang jujur bahwa ada begitu banyak pengguna media sosial yang sangat bergantung dan selalu memanfaatkannya untuk hal apapun.
Ketika dunia politik memanas, maka apa senjata ampuh memengaruhi banyak orang? Media sosial. Itu pasti. Lalu pertanyaan selanjutnya poin apa yang rela dijualbelikan sebagai dagangan yang dianggap masih sangat laku dijual? SARA. Kita lihat saja dimana ada peristiwa penting yang melibatkan peran banyak orang, maka tiupan kebencian maupun lemparan berita ngawur tentang apapun laris manis di-share ke sana ke mari bila itu menyangkut SARA. Daya magisnya masih sangat kuat.
Perlahan namun pasti, kebiasaan kita membiarkan media sosial dijadikan ajang menyebar kebencian atas dasar SARA, lambat laun akan mengikat kita sehingga susah lepas darinya. Lama-lama kita justru menyukainya. Ini tentu amat berbahaya. Anda bukan pencetusnya, tidak terlibat memanas-manasi, tetapi Anda diam saja bahkan memberi tanda jempol (like) terhadap berita atau status mengandung kebencian yang dishare orang lain, menunjukkan sikap Anda yang menikmati apa yang sementara terjadi. Media sosial hanya alat, dia itu benda mati, kitalah sebagai pengguna yang adalah manusia hidup yang harus menentukan apakah ia akan menjelma menjadi pembunuh atau atau tidak. Ada tolak ukurnya. Tinjau diri kita masing-masing: Seberapa sering kita share berita atau ciutan penuh kebencian atas dasar SARA? Lalu apakah kita sudah menjadi filter yang mampu memilah-milah mana yang layak kita sebarkan dan mana yang tidak? Media sosial bisa saja menjadi pembunuh kerukunan bila kita mengijinkan hal itu terjadi. Kalau kita tidak ingin seperti itu, ya cegah sedapat mungkin.
Media sosial sebenarnya dapat kita jadikan ‘sorga’. Iya, media sosial kita upayakan untuk menghadirkan sorga di muka bumi ini. Sorga kerukunan. Sorga perdamaian. Sorga kesetaraan. Sorga saling menghormati menghargai. Sehingga dengan demikian, kita sebagai pengguna media sosial, kitalah yang menentukan apa yang media sosial mampu hadirkan untuk dinikmati sesama kita manusia lain dimanapun mereka berada. Kalau saja semua kita punya pemikiran yang sama tentang menghadirkan sorga di bumi ini yang dapat dinikmati oleh siapa saja, maka saya amat yakin dan tanpa keraguan sedikitpun, bahwa hidup kita ini akan semakin berarti.
Media sosial tidak akan mungkin menentukan agama apa yang Anda anut. Itu pilihan Anda. Media sosial juga tidak bisa mencuci otak Anda dan mengatakan bahwa semua agama sama saja. Ada ungkapan yang mengatakan, “It’s not that that social media leads people to believe that all religions are equally true. Instead, people to see themselves as being able to pick-and-choose the truth from their own faith and from others.” Media sosial benda mati, kita mahluk hidup yang punya otak inilah yang harus 'menguasai' media sosial bukan sebaliknya.
Sadarlah kita, bahwa yang bisa menjadikan media sosial itu seperti ini atau seperti itu hanyalah kita sendiri sebagai user atau penggunanya. Maka bertanyalah kepada diri kita sendiri, mau seperti apa kita memanfaatkan media sosial yang hari-hari ini semakin maju dan berkembang? Itulah juga judul tulisan ini, yang diakhiri dengan tanda tanya. Semoga kita mau menjawabnya dengan hati yang jujur dan pikiran terbuka. ---Michael Sendow---
Hubungi penulis di sini: Twitter - Michael Sendow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H