Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial, Membunuh Kerukunan Menghidupkan Pertikaian atau Sebaliknya?

15 September 2016   00:00 Diperbarui: 15 September 2016   01:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sanggupkah dan mampukah Anda menerima perbedaan? Jangan sampai, dengan kecanggihan teknologi dan dengan berkembangnya daya tarik media sosial justru menjadikan Anda seolah berubah wujud menjadi pembenci, pendusta, dan pemecah belah. Berkembang pesatnya media sosial memanglah menjadikan interaksi sosial kita (social interactions) jauh lebih dangkal, tetapi juga jauh lebih lebar dan luas. Kita patut mawas diri dan berhati-hati oleh karenanya.

Kemarin saya jumpai sebuah ‘diskusi panas’ di forum diskusi online antar agama dan melibatkan beberapa orang, termasuk mereka-mereka yang menyebut diri ‘ahli kitab’, ‘ahli tafsir’, dan entah ahli-ahli apa lagi. Diskusi kemudian berkembang sangat panas dan terjadi saling tuding saling hina. Saya turut ‘menikmati’ sensasi perdebatan mencari kebenaran itu, dengan hati yang galau dan sedih tentu saja. Kok bisa seperti ini ya sikap dan cara berdebat orang-orang yang mengaku beragama dan ilmunya tinggi. 

Bagi saya, diskusi itu tidak lagi memunculkan ruang damai dan punya sikap kemanusian, yang ada hanyalah ruang angkara murka dan saling caci. Ini memiriskan. Sementara mereka menyebut diri mereka ahli ini dan itu, jauh di dalam hati saya, maaf saja, saya harus memberi ‘umpatan’ singkat, “Kalian bukan ahli apa-apa kecuali ahli huru hara!”. Belum merdeka dari cara berpikir konyol mau menang sendiri. Bagaimana mungkin demi mempertahankan apa yang kalian yakini sebagai kebenaran, tetapi dengan begitu gampangnya kalian menista yang berlainan keyakinan dengan apa yang kalian yakini itu. Lagi-lagi, bagi saya ini adalah sikap kekanak-kanakan dan bodoh.

Media sosial mestinya menjadi alat dan sarana kita untuk mewujudkan intimasi dan jalan panjang merekonstruski kembali kerukunan antar semua kita yang mengaku beragama, dengan agama yang sungguh berbeda-beda itu. Menolak perbedaan, berarti kita melegitimasi ketidakmampuan kita menghargai dan menghormati TUHAN yang sudah merancang dan menciptakan kita terlahir memang berbeda. Kalau ada iklan yang berkata, “Apapun makanannya, minumannya tetap.....(dilarang sebut merek)” Maka saya berani bilang begini, “Apapun agamamu, hidupmu akan jauh lebih berarti bila itu dapat memberi arti bagi hidup orang lain....”

Sikap kita terhadap media sosial, dan bagaimana cara kita menggunakan itu demi memperkuat kerukunan antar umat beragama sesungguhnya adalah cerminan siapa kita sesungguhnya. Tatkala kita menjadikan media sosial sebagai alat propaganda untuk meniup bara permusuhan antar umat beragama, menunjukkan secara jelas kualitas keimanan dan kemanusiaan kita yang kerdil. Bila media sosial kita jadikan ajang memanas-manasi kaum satu golongan supaya mereka memusuhi golongan lain, ini jelas menunjukkan seperti apa kualitas keagamaan kita. Agama hanya kita jadikan kedok belaka untuk menebar kebencian dan memperluas ketidaksukaan. Kita menjadi manusia munafik dan pendusta.

Perjumpaan Keagamaan Dalam Perspektif Rukun dan Damai

Hal yang  masih amat jarang terungkap dalam berbagai macam diskusi keagamaan di Indonesia ini adalah sikap Nabi Muhammad kepada Raja Najasyi. Cerita sejarah yang saya baca menunjukkan betapa mulianya sikap sang nabi. Ketika Raja Najasyi wafat, Nabi Muhammad melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampunan Allah, padahal raja tersebut beragama Kristen. Hal ini dilakukan nabi oleh karena mereka datang dari satu trah kenabian yang sama, yaitu Ibrahim (Abraham).

Pesan apa yang dapat kita tangkap membaca Q.S al-Maidah 5:82? Yang berkata, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani’.” Menurut al-Qurthubiy dan Rasyid Ridha pernyataan dalam ayat itu bukan hanya sekedar doktrin semata, namun hal itu bahkan melampaui semua doktrin keislaman.

Sikap toleran dan kebiasaan bersikap terbuka terhadap perbedaan merupakan kunci utama perdamaian dunia. Sikap-sikap seperti ini menjaukan kita dari perasan superior mau menang sendiri di atas nama kebenaran. Maka ada lagu luarbiasa yang sering saya dengar, bahkan ikut nyanyikan, yang berkata kurang lebih seperti ini, "....Alangkah indahnya bila saudara hidup rukun dan damai....Karena ke sanalah Tuhan akan mencurahkan berkatnya atas kamu...."

Langkah Nabi Muhammad juga diikuti oleh para sahabat, dan yang paling mendekkati kemiripan adalah sikap Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini datang ke Yerusalem disambut oleh Uskup Agung Sophronius di depan the Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus). Ketika akan menunaikan shalat, Umar pun dipersilahkan melaksanakannya di dalam Gereja, tetapi ia menolak hal itu. Ia menolaknya oleh sebab bila ia shalat di dalam Gereja, maka hal itu dikhawatirkan dapat menyebabkan Gereja tersebut diubah menjadi Mesjid. Sikap Umar tersebut menjadi bukti bahwa terhadap bangunan umat yang berbeda keyakinan, umat Islam menjaganya.

Sayangnya, sekitar abad ke 9 – 13 mulailah militer kaum muslim bertemu dengan kelompok-kelompok non-muslim. Lalu kita semua yang sadar sejarah telah mengetahui dengan hati perih, apa yang terjadi selanjutnya, bahwa pertemuan militer yang paling memilukan dalam sejarah dua agama samawi ini terjadi pada Perang Salib (Crusade). Sejarah kelam yang tak seharusnya terjadi kembali di era media sosial, era kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun