Negara manapun tentu mengamini bahwa infrastruktur itu penting. Betul sekali. Sedahsyat apapun suatu tawaran kerja sama bisnis antar negara, atau peluang-peluang maha besar dalam berinvestasi, namun apabila tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai, maka semuanya pasti akan terkendala dan susah terwujud. You won’t make it.
Infrastruktur, baik itu secara fisik maupun sosial sangatlah diperlukan. Kenapa diperlukan dan amat dibutuhkan? Oleh karena itu sudah menjadi kebutuhan dasar pengorganisasian demi kelanjutan suatu pembangunan, dan tentu juga sebagai jaminan ekonomi sektor publik serta sektor privat. Kita tentu tahu, agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik maka dukungan infrastruktur adalah suatu keniscayaan. Apabila kita menghendaki pembangunan ekonomi menjelma menjadi pertumbuhan ekonomi yang stabil dan terus meningkat, maka kesiapan infrastruktur menjadi harga mati.Â
Payung tidak dapat menghentikan hujan tetapi membuat Anda bisa berjalan menembus hujan untuk mencapai tujuan. Infrastruktur memang bukan akhir dari pembangunan, tetapi dengan infrasturktur yang baik membuat Anda bisa berjalan menembus segala tantangan untuk mencapai tujuan.Â
Nah, menurut teori Grigg bahwa ada setidaknya enam pengelompokan besar kategori infrastruktur, yaitu ini:
- Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan);
- Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara);
- Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air);
- Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat);
- Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar;
- Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas);
Hubungannya Dengan Nawacita Jokowi
Salah satu jalan kesejahteraan yang diyakini Presiden Jokowi adalah perwujudan lewat Nawacita – 9 butir program dalam mewujudkan cita-cita, masyarakat Indonesia yang sejahtera. Inilah yang terus diupayakan dan dikerjakan tak henti-hentinya seperti tak mengenal lelah: Kerja...kerja...keja! Kabinet pun dinamai ‘Kabinet Kerja’. Jadi ya wajar saja yang nggak bisa kerja ya lebih baik out, kan begitu?
Saya amat meyakini adanya reshuffle kabinet berbagai jilid, hingga jilid III ini pun tak lepas dari upaya-upaya beragam dalam rangka mewujudkan Nawacita tersebut, meskipun hal-hal politis masih tetap mendapat porsi juga dalam pergantian kabinet kali ini, yakni dengan memasukkan beberapa nama utusan dari parpol. Ini tak lebih supaya kondisi ‘aman’ dalam pemerintahan tetap terjaga. Kan politik juga adalah kebijakan atau seni kompromi. Jadi bukan hal tabu juga memasukkan utusan parpol ke kabinet sih. Ini juga termasuk seni merangkul dan merangkum.
Lalu mari kita melihat pada Butir ke-6 Nawacita pemerintahan ini, yang jelas-jelas mengamanatkan perlunya peningkatan daya saing dalam arti yang demikian luas. Kita tahu di tengah ekonomi dunia yang makin terbuka, keunggulan daya saing suatu produk barang dan jasa menjadi penentu kemenangan suatu bangsa. Ini landasan yang tak bisa ditolerir dengan alasan apapun. Mau tidak mau, suka tidak suka, untuk berkembang maju maka Indonesia harus punya daya saing.
Saat ini kita masih lemah di situ. Harga barang dan jasa kita terlihat masih lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, dan sangat sering tidak stabil. Lantas kemudian ketika kita runut ke belakang, seperti pada tulisan saya di sini juga Jokowi dan Infrastruktur ternyata salah satu penyebab utamanya adalah infrastruktur yang tidak atau kurang memadai. Umpamanya saja sarana jalan yang masih begitu mengandalkan jalan arteri yang justru masih sering ‘tersumbat’ di sana-sini. daya listrik yang kurang. Jembatan yang putus, dan lain-lainnya.
Kita jangan pernah menutup mata menghadapi masalah infrastruktur seperti ini, sebab inilah urat nadi perekonomian kita. Ya sebut saja misalnya jalan, jembatan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, waduk, kesiapan daya listrik, dan sebagainya. Ibarat pembuluh darah, ia melancarkan pasokan oksigen ke seluruh tubuh untuk memberi kesegaran pada badan. Kalau ibarat obat, ia itu bagaikan obat penambah darah ketika kita letih, lesu, dan kurang bargairah. Dan jika diumpamakan seperti orang sekarat, maka ia adalah infusnya, supaya yang sekarat itu tak pula cepat mati.
Presiden Jokowi telah berupaya kuat untuk mewujudkan Nawacita menjadi realisasi nyata di lapangan dan tak sekedar retorika semata. Pembangunan jalan dikebut. Pembuatan waduk dan sarana irigasi dilaksanakan serentak. Penambahan rel kereta api. Pembangunan pelabuhan baru. Pembangunan jembatan-jembatan. Penambahan ketersediaan energi listrik, dan sebagainya. Ini semua adalah langkah-langkah konkrit menuju pewujudan apa yang dicita-citakannya itu, sehingga lagi-lagi, bukan sekedar slogan dan retorika belaka.