Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sri Mulyani, Harapan Lama Kembali Terbarukan

28 Juli 2016   17:57 Diperbarui: 28 Juli 2016   20:58 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di awal tahun 1990-an, sebagai ‘anak baru’ mahasiswa jurusan ekonomi di kota saya, maka ada begitu banyak tokoh yang saya idolakan. Beberapa diantara kami mahasiswa lalu membuat daftar nama-nama yang masuk kategori ‘the most wanted’ untuk ditemui, dan kalau bisa diwawancarai. Dalam daftar itu berjajar nama-nama seperti Sri Mulyani, Miranda Gultom, Mari Elka Pangestu, Frans Seda, Prof Sumitro, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang sudah punya nama, dan pendapatnya layak didengar.

Saat itu saya baru saja dipilih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah ‘Equilibirum’, satu-satunya majalah bergengsi di kampus abu abu Fakultas Ekonomi Unsrat. Setiap ada tokoh yang menonjol dan berdedikasi tinggi, tentu tim kita akan pantau terus,  kejar dan ‘paksa’ bicara tentang isu-isu terkini, khususnya di bidang ekonomi. Reporter dan pencari berita sibuk memburu siapa saja yang pantas diwawancarai. Menjalankan tugas tak kenal lelah.

Nah, saat itu, tentu semua kita mahfum bahwa betapa amat sulitnya untuk mendatangkan tokoh atau pembicara dari pusat untuk datang ke daerah. Disamping biayanya mahal, ribetnya juga minta ampun. Padahal kita sangat ingin mewawancarai orang-orang seperti Sri Mulyani ini. Apalagi kalau mewawancarai Sri Mulyani sesuatu yang ada hubungannya dengan ekonomi moneter, perbankan, dan ekonomi tenaga kerja. Masti maknyus tuh.

Kesempatan baikpun akhirnya tiba. Kala itu ada organisasi yang berhasil mendatangkan beberapa tokoh dari pusat untuk membawakan seminar, kebetulan saya juga diundang hadir mewakili mahasiswa dan majalah. Mendapat undangan istimewa itu, bersiaplah dan bergegaslah saya. Maklumlah ini kan kesempatan mendengar buah-buah pemikiran brilian dari orang-orang hebat, dan siapa tahu bisa punya kesempatan mewawancarai mereka. Jadi kesempatan ini sangat tak boleh dibuang.

Pada hari seminar itu dimulai, ruangan sudah mulai penuh terisi. Sementara saya duduk manis dalam ruangan ber-AC itu, seorang perempuan masuk dengan langkahnya yang santai namun tegap. Saya masih ingat wajahnya yang menebar senyum manis, berjalan dengan pandangan mata dan raut wajah penuh percaya diri. Dialah Dr. Sri Mulyani, salah satu idola saya (bahkan sampai saat ini).

Saya menatap wanita ini berjalan menuju meja yang sudah disediakan untuknya. Langkahnya adalah langkah penuh kepastian. Ternyata turut hadir sebagai pembicara saat itu idola saya yang lain juga, salah satu begawan ekonomi yang pernah dimiliki negeri ini, Prof Soemitro Djojohadikusumo. Selain Bu Sri, banyak tulisan Pak Soemitro yang saya simpan dalam bentuk klipingan. Hadir juga saat itu Agum Gumelar. Saya lupa apakah Frans Seda, Rizal Ramli dan Prabowo hadir pada kesempatan yang sama atau beda. Yang pasti saya, dan tim ‘Equil’ berhasil mewawancarai Frans Seda dan Rizal Ramli hanya selang beberapa hari. Kami juga sempat meliput ‘kuliah umum’ yang dibawakan Prabowo di kampus.

Kembali ke Sri Mulyani. Ketika seminar sementara berlangsung, dan ada sesi tanya jawab, seorang mahasiswa mengancungkan tangannya untuk bertanya. Seingat saya, ia mengaku juga bahwa dia adalah simpatisan partai PRD (saat itu ‘hot’ banget). Lalu tiba-tiba dia bertanya penuh bahasa kritik keras, bahkan setengah maki-maki dan sudah melebar kesana-sini. Sampai-sampai dia menunjuk jari ke Agum Gumelar dan bilang supaya sebaiknya Lemhanas dibubarkan saja karena nggak ada gunanya katanya. Bahkan dia sempat bilang pejabat ini busuklah. Pejabat itu juga busuk. Nadanya kasar dan sarkastis. Dan seterusnya.

Itu ‘keributan’ yang saya ingat. Lalu tiba-tiba Bu Sri mengambil perlahan mic yang ada di atas meja dan berbicara lembut tapi sangat tegas. Kurang lebih apa yang dia bilang itu adalah seperti ini. Anda boleh mengkritisi apa saja. Tetapi sebaiknya Anda tetap berjalan pada koridor keintelektualan yang ada. Sebagai mahasiswa yang mengaku diri intelek sudah sepantasnya bersikap dan bicara juga secara intelek. Kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang tidak akan pernah saya lupa sampai saat ini, setelah puluhan tahun berlalu, intinya ia hendak mengatakan...  “Sekarang mungkin saja Anda berteriak teriak dan menunjuk hidung pejabat ini dan itu busuk serta bobrok, tetapi bila suatu ketika Anda berada pada posisi seperti mereka saat ini, justru Anda bisa jadi akan jadi jauh lebih busuk dan lebih bobrok dari mereka.”

Saya menyadari benar ucapannya itu. Kita boleh saja menuding dan memaki-maki pejabat yang korup dan tidak benar, tetapi apakah kita sangat yakin bilamana kita berada pada posisi mereka lalu kemudian kita tidak akan menjadi lebih buruk dari orang yang tadinya kita teriaki dan tuding itu. Entahlah. Seperti yang Ahok juga pernah bilang, bahwa untuk menguji seseorang maka kasih dia ruang dan kesempatan, kekuasaan.

Lalu saya terus mendengarkan buah-buah pikirannya tentang banyak hal. Sebelumnya, saya juga sudah kadung terlecut dengan materi yang dibawakan oleh Prof Soemitro yang mengatakan bahwa kita jangan terlalu bangga dengan pohon kelapa. Padahal Sulawesi Utara, kampung halaman saya itu kan sangat terkenal dengan istilah daerah ‘Nyiur Melambai’,oleh karena begitu banyaknya lahan pohon kelapa yang ada di sana. Tetapi Prof Soemitro mengatakan, kita selama ini sudah terlalu terlena dengan apa yang diistilahkannya sebagai ‘pertumbuhan yang memiskinkan’. Salah satunya adalah ya pohon kelapa itu. Ah, untuk hal ini nanti kita bahasa pada topik tersendiri saja. Menarik sih.

Rupanya setelah bertemu dengan Sri Mulyani dalam seminar itu, saya kok semakin menyukainya. Saya lihat dia terus berbicara, saya menatapnya dengan tatapan mata saya yang jarang berkedip. Apakah saya jatuh cinta? Oyaaaa, ternyata saya sudah benar-benar jatuh cinta. Eits, jangan salah sangka dulu. Saya kan masih mahasiswa jadi tidak mungkinlah jatuh cinta secara fisik padanya. Saya itu jatuh cinta pada komitmen dan ide-ide hebat yang ada dalam dirinya. Saya saat itu bahkan sempat berdoa dalam hati, semoga kelak orang ini akan menjadi seseorang yang punya andil membangun negeri ini. Ternyata Tuhan mendengar doa saya, dan tentu banyak doa lain yang dipanjatkan orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun