Setelah bersama Jokowi mengguncang Jakarta dengan menyingkirkan Foke-Nara, sang petahana waktu itu, kini Ahok kembali siap-siap mengguncang Jakarta pada pilgub 2017 nanti, tentu kali ini ia sebagai petahana.
Kita mungkin belum lupa bahwa sugesti untuk memilih pemimpin Jakarta yang baik, adil, bersih, dan mau berkerja keras amat sangat penting dalam memengaruhi calon pemilih. Itu sudah terjadi pada pemilihan yang lalu. Dan akan terus seperti itu.
Sugesti itu dapat mewujud dalam berbagai bentuk dan beragam penerapan. Tentu tidak dengan memakai sulap atau sihir laksana pemain sirkus di atas panggung. Tidak juga dengan memakai hipnotis tingkat tinggi seperti di film-film. Dalam persaingan pilgub, maka sugesti yang paling hebat adalah dengan merangsang dan membuat pandangan atau sikap para calon pemilih menjadi terkagum-kagum, lalu kemudian siap memberikan suara mereka dengan tulus ikhlas tanpa paksaan, ancaman, dan tentu tanpa membagi-bagikan nasi bungkus lengkap dengan ikan terinya. Calon pemilih akan terkesan dan rela memberikan suara mereka.
Betapa pentingnya sugesti dalam memenangkan calon pemimpin Jakarta dapat Anda baca secara ringkas namun mendalam di sini: Pentingnya Sugesti Dalam Memilih Pemimpin Jakarta
Lagi-lagi, ini tidak semata berbicara sesuatu yang terjadi atau diperoleh secara instan ya. Menyugesti pemilih untuk supaya memilih seorang pemimpin tidak serta merta menisbikan apa yang sudah dilakukan pemimpin tersebut selama dia memimpin. Penilaian publik terhadap kinerjanya tetap akan jalan terus. Hukum tabur tuai tetap akan terus berlaku. Nah, justru kekuatan sugesti pemilih itu dapat terasa serta terukur dalam hukum tabur tuai itu.
Bukankah semakin banyak Anda menabur kebaikan, perubahan ke arah perbaikan, keberanian bertindak, ketegasan tanpa kompromi, tidak korup dan lain sebagainya itu, maka tentu kelak Anda juga akan menuai hal-hal serupa. Ini adalah keniscayaan. Namun kerap kita lupa, bertindak malas, korup, tidak mau bekerja keras....eeeh namun ujung-ujungnya kita berharap dan amat yakin kita akan dipilih. Ini salah kaprah. Sekali lagi, dalam berpolitik yang baik dan benar maka jelas there’s no such shortcut, atau jalan pintas.
Setelah Anda meraup semuanya itu, percayalah jalan menuju puncak akan terasa lebih ringan, kendatipun halangan dan hambatan akan tentu saja terus digelar, entah oleh para lawan politik, dewan yang amat sangat terhormat yang berseberangan jalan dan cara pikir, orang-orang yang enggan menikmati perubahan, dan entah siapa lagi yang lain. Hambatan dan tantangan akan terus bermunculan. Lika liku itu akan terus ada. Memang banyak jalan ke Roma kata sebuah pribahasa, tetapi tetap saja tidak ada jalan yang mulus melulu.
Sewaktu Jokowi terpilih menjadi Presiden RI (yang sampai saat ini rupanya belum bisa diterima oleh lawan politiknya beserta para pendukungnya), maka Ahok secara gemilang ikut ‘naik pangkat’ menjadi orang nomor satu di Jakarta ini. Waktu itu, ada begitu banyak yang gembira dan bersorak, namun tentu di sisi lain ada saja yang justru bertolakbelakang. Mereka membenci dan menolak. Segala macam cara dan upaya pun dilakukan. Anggota Dewan berjuang dengan segala daya dan kekuatan yang mereka punya untuk menggagalkan Ahok jadi Gubernur. Hak interpelasi digadang-gadangkan untuk dipakai mereka. Namun apa mau dikata, ia toh tetap dilantik sebagai Gubernur menggantikan Jokowi kala itu.
Tidak habis sampai di situ. Jalan panjang dan berliku masih terus saja harus dilalui Ahok, tanpa pernah bisa direm sama sekali. Ia yang notabene sudah menjadi Gubernur, masih saja diintai sana-sini untuk dijatuhkan oleh barisan pasukan pembenci. Alhasil, benarlah ungkapan bahwa kita tidak mungkin dapat menyenangkan semua orang. Sebaik dan sebagus apapun seorang pemimpin, mustahil ia bisa menyenangkan semua pihak.
Lalu, kembali segala daya upaya tingkat dewa dilancarkan. Mulai dari gorengan kasus kecil sampai rebusan kasus besar silih berganti dipakai untuk menyerang dan berusaha membungkam sang Gubernur. Apa lacur, ia sepertinya tak terhentikan. Kasus RS Sumber Waras pun tiba-tiba menyeruak muncul, yang lalu kemudian melahirkan berbagai macam kumpulan individu atau oknum-oknum ‘kurang waras’ yang luar biasa tidak warasnya dalam beropini. Coba-coba membantai secara membabibuta, selalu tanpa membuahkan hasil apapun. Ini terkadang memang amat menyakitkan.
Saking berlikunya jalan yang harus dilalui Ahok, namun tak berhasil menurunkannya, akhirnya BPK ‘harus’ masuk menusuk dengan hasil auditnya yang luar biasa itu. Audit yang oleh sebagian orang dianggap sebagai laporan maha sakti dari sebuah ‘kitab’ agung yang tak mungkin ada salahnya. Singkat cerita, oleh KPK, hasil audit itu justru dinyatakan keliru alias tidak ada bukti-bukti sahih yang menunjukkan bahwa ada kerugian negara, atau bahwa sederhananya Ahok tidak terlibat korupsi di situ. (KPK Tidak Temukan Korupsi Pembelian Lahan Sumber Waras)
Habis itu, upaya dan perjuangan ‘membantai’ Ahok masih belum selesai. Reklamasi Pantai Utara Jakarta dijadikan ajang untuk menyerang Ahok, dengan harapan dia akan segera tersingkir lalu cepat cepat diseret untuk masuk bui. Masih ditambah juga dengan rumors tanpa bukti jelas bahwa ada aliran dana 30 Miliar yang mengalir ke rekening Teman Ahok. Seharusnya, perlu sekali untuk diingat siapa-siapa sih anggota dewan yang sudah masuk tahanan atau mau masuk tahanan karena kasus suap itu. Dan, mestinya perlu juga ditelusuri teman-teman anggota dewan tersebut siapa-siapa saja yang kemungkinan besar ikut terlibat. Bukannya malah kasus ini mau dibolak-balik dibuat semakin berliku seakan-akan Ahok yang terlibat. Itu.
Peperangan dalam rangka pilgub 2017 ini tentu semakin memanas dan akan semakin enak ditonton. Apalagi, rupa-rupanya kaum pemilik cap ‘Asal Bukan Ahok’ ini ternyata masih memiliki banyak amunisi. Artis-artis saja mampu mereka perdayai untuk bertindak atas nama kepentingan mereka. Coba lihat saja, apa untungnya sih si Ahmad Dhani mesti berteriak-teriak komplain sana sini, sampai-sampai mesti didampingi pula oleh si Oma Ratna yang entah apa saja yang dia lagi gumuli saat ini. Apa keuntungan Dhani coba? Untuk meminang dia jadi bakal calon pun nggak ada partai yang berminat. Mendingan kan dia itu ngurusin acara Indonesian Idol atau X Factor, itupun kalau masih akan dipakai sebagai juri. Kan gitu lebih baik, bakalan dapat duit banyak tuh. Daripada ribut teriak-teriak gak jelas juntrungannya, dan tanpa ada satupun konsep yang jelas apa yang diteriakin itu. Kasihan malah jadinya. Sungguh kasihan, udah teriak-teriak nggak dapat apa-apa juga. Mau nyanyi di depan KPK aja dicuekin. Nggak laku. Masih banyak kegiatan lain yang lebih bermanfaat, kan gitu.
Bandingkan dengan ‘produk’ Jokowi-Ahok yang laku keras dimana-mana.Jokowi itu, meski dihina-hina si Dhani, tetapi ke negara manapun dia pergi pasti disambut dengan amat meriah. Itu fakta. Ahok itu, kemanapun dia pergi pasti disambut dengan meriah. Acara Mata Najwa on Stage saja, yang menampilkan Ahok dengan tajuk “Semuanya Karena Ahok” (Semua Karena Ahok & Lucunya si Ahmad Dhani) dihadiri tak kurang dari 11.500 orang di Parkir Timur senayan. Produk merek Jokowi & Ahok ini memang laku keras, dan itu bukan baru kali ini saja, tetapi sudah lama, semenjak mereka dicalonkan dua tahun lalu. Baca di sini: Produk Merek Jokowi Ahok Laku Keras
Sekarang, setelah 1 juta KTP terkumpulkan oleh #Teman Ahok apakah langkah Ahok menjadi Gubernur Jakarta berkurang halangan dan liku-likunya? Oh tunggu dulu. Lika likunya tidak berkurang sama sekali. Bukankah Anggota Dewan yang maha terhormat itu (dan minta-minta supaya dihormati) kini telah mengantisipasinya dengan cara yang lumayan pintar, yaitu mereka sudah menyisipkan beberapa pasal perubahan yang bakalan dapat mempersulit baik Ahok, maupun Teman Ahok. Termasuk jangka waktu verifikasi faktual yang ‘hanya’ diberikan 3 hari. Halangan dan ganjalan pasti akan terus ada. Sudah biasa itu mah.
Ah, meskipun demikian, dengan upaya dan kerja keras mengawal verifikasi faktual oleh teman dan para relawan Ahok, mestinya hambatan itu bisa diatasi, apalagi KTP yang terkumpul kan sudah di atas 1 juta (lebih dari sekedar cukup untuk lolos). Jadi, tidak usah terlalu ambil pusing.
Maju setahap. Lalu bagaimana menyikapi partai-partai yang mendukung? Biasa sajalah. Itu kan romantika setiap pemilihan apapun. Mulai dari pemilihan tingkat desa, kecamatan, sampai pemilihan Presiden, romantika itu akan tetap ada. Bagaimana menghadapinya? Ya kita sikapi saja dengan santai. Bagaimana kalau akhirnya Ahok berubah di detik-detik terakhir dengan memilih ikut kendaraan parpol? Ia bisa jadi akan terkukung dan disetir oleh kepentingan parpol yang mengusungnya? Tidak seperti itulah.
Toh sudah ada contoh, ketika Jokowi terpilih sebagai Presiden RI tempo hari dengan memakai kendaraan PDIP, apakah lantas kemudian Jokowi itu bisa diatur-atur oleh kendaraannya seenak udel? Tidak bukan. Jokowi saja yang lemah lembut seperti itu tidak pernah berhasil diatur-atur oleh kendaran yang dinaikinya, apalagi Ahok yang konon keras, tegas, dan garang itu. Mana bisa. Jadi, ya santai-santai sajalah...(Apapun pilihan itu, biarkan Ahok memilih dengan sukarela, sukacita, dan tanpa dihambat-hambat oleh pendukung sendiri hehehe....) Tetapi saya masih amat yakin, Ahok tetap akan memakai jalur independen. Resiko apapun yang dihadapi, kelihatannya Ahok sudah mantap dengan pilihannya ikut independen.
Pemilihan Gubernur kali inipun saya rasa masih akan tetap prosentase terbesar ditentukan dan amat bergantung pada berbagai macam gaya hidup, kelas sosial dan personalitas masyarakat pemilih di Jakarta. Kenapa? Oleh karena banyak hal yang memang dapat menyebabkan seseorang itu disukai dan dipilih, atau tidak disukai dan tidak dipilih. Ada banyak hal dan banyak kemungkinan. Variannya juga bermacam-macam. Ini juga barangkali sisi lain yang dapat dijadikan contoh atau pelajaran berharga; Gaya Hidup, Kelas sosial, dan Rasionalitas Pemilih
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip serta menuliskan sebuah quote manis yang sempat dilontarkan Ahok pada acara Mata Najwa on Stage waktu itu. Ahok bilang kurang lebih seperti ini; saya memang tidak cocok jadi Gubernur Jakarta.... Lalu Najwa bertanya lebih lanjut, ooh jadi Anda tidak akan maju lagi? Ahok balas menjawab, bukan...bukan... Saya pasti maju lagi. Tetapi saya sebetulnya lebih suka menjadi CEO-nya Jakarta, karena kalau Gubernur itu kan jabatan politis jadi banyak politik-politiknya. Kalau CEO ya saya hanya bekerja dan digaji. Boss saya ya warga DKI Jakarta. Semoga saja. Cheers!---Michael Sendow---
“I have a political attitude, but I'm certainly not a politician” --- Kgalema Motlanthe
Baca tulisan menarik lainnya: Ahok Keterlaluan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H