[caption caption="Ahok dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV (Pic Source: www.ahok.org)"][/caption] Memasuki babak-babak baru dalam skema besar persaingan memperebutkan kursi DKI 1 di Jakarta ini rupanya kian hari kian memanas. Adu ‘jotos’ ala koboi jalanan terus dilancarkan. Partai dan Independen. Head to head antara satu sosok dengan sosok Ahok. Politisi senior. Mantan menteri. Artis (dan pelawak), anggota dewan, dan bisa jadi banyak lainnya, semuanya mencoba keberuntungan mereka masing-masing dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Ahok adalah anomali yang fenomenal. Ia menjadi buah bibir, suka atau tidak, dibenci atau dicinta. Berbondong-bondong sekumpulan orang 'mengeroyok' Ahok. Apakah Ahok gentar? Justru sebaliknya. Semangatnya makin terpicu dan terpacu.
Bahkan pun persaingan antar media terus gencar setiap harinya saling serang dan terjang, tak peduli paparan fakta di lapangan seperti apa. Bagi mereka Ahok adalah berita, dan berita itu adalah Ahok. Oplah meningkat. Jumlah view dan klik meningkat. Dan sangat bisa jadi jumlah iklan serta omzet meningkat. Bagaimanapun isi berita itu pastinya harus ditelaah secara seksama sebelum dikunyah dan ditelan. Sebuah keniscayaan. Lalu, bagi sebagian orang, nampaknya Metro TV dan Kompas TV seakan terus ‘membela’ Ahok. Di sebelahnya,TV One dengan acara yang menurun mutunya bernama ILC seakan menjadi panggung pengadilan bagi Ahok secara konsisten tak kenal lelah. (Maaf) saja pembicara yang menurut saya mulai kurang kredibel menambah ‘hancur lebur’ acara ILC itu. Namanya saja Indonesia Lawyer Club, namun isinya bukan ‘lawyer’, tetapi kebanyakan pelawak, yang tentu saja sangat sering membuat para penonton tertawa terbahak-bahak. Herannya, kredibilitas sang punggawa acara seakan hilang tertelan bumi. Entah mengapa. Tapi ya sudahlah...
Sekarang mari kita menyelam lebih dalam melihat kenapa Ahok seakan menjadi musuh bersama hampir semua politisi, partai, dan begitu banyak anggota dewan. Seorang profesor yang tingkat keilmuwannya tidak diragukan lagi bahkan sampai mengajak semua partai politik untuk bersatu dalam menghadapi dan mengalahkan Ahok. Tujuan utama hanya satu: Supaya Ahok kalah. Lalu kenapa ia mengajak semua parpol untuk bersatu, ya karena partai dia sendiri tidak punya suara sama sekali. Jadi, gampang saja kan dengan merangkul semua parpol supaya lalu kemudian dengan tangan terbuka partai partai tersebut mau mendukung dia. ini tentu membuat kekuatannya akan meningkat lumayan besar. Tetapi kalau bukan dirinya yang diusung semua parpol yang bergabung itu, apa masih mau dia mendukungnya? Mencari panggung memang sudah semakin sulit, tak jarang kita mesti ‘melacurkan diri’ dulu untuk memperoleh panggung tersebut. Ditolak diterima itu urusan ke sekian.
Apa mereka punya argumen kuat dan modal program yang kuat dan dapat melebihi Ahok? Sampai detik ini belum pernah ada yang memberi jawab atas pertanyaan tersebut. Semua sibuk berupaya mencari cara bagaimana mengalahkan Ahok serempak mereka lupa memberitakan kepada masyarakat bahwa inilah program unggulan kita. Nggak pernah tuh. Apalagi si artis itu hanya di awan awan mimpinya. Kalau hanya bicara ngorol ngidul mending ke laut saja kata orang pinggir pantai, jadi makanan ikan. Bicara Jakarta harus bicara program kerja dan data, bukan bicara SARA dan isu isu primordialisme lainnya, itu hanya urusan di jaman batu. Kita hidup di jaman digital dan teknologi super canggih.
Lha, orang ini saja masih saja ada yang main dukun, santet, dan entah apalagi. Masak sih mau jebloskan Ahok ke penjara dengan bantuan dukun, nggak salah tuh? Aneh aneh saja. Bukannya adu data dan fakta malah mengerahkan dukun dan orang-orang nggak ada kerjaan seperti itu. Apa peluru sudah kehabisan atau akal sehat sudah hilang? Meskipun sekarang jaman edan namun jangan ikut-ikutan jadi edan dong. Penjara sudah penuh, masak iya Rumah Sakit Jiwa kita mau penuhin juga. Jangan-jangan karena Ahok banyak pejabat berbondong-bondong dikirim ke bui dan RSJ akhir akhir ini. Jangan sampai deh.
Ahok dan BPK Harus Ada Ujung
Setelah diwawancarai KPK, dalam rangka mengumpulkan bukti dan ‘membenturkan’ data temuan BPK dan yang versi Ahok, ketegangan semakin menampak. Oleh karena ini sudah menjadi konsumsi publik yang empuk, hangat, dan ngeri-ngeri sedap maka mari kita menyelam lebih dalam lagi. Menyelam sambil minum 'bir'. Kita santai-santai saja, ini bir saya lho bukan bir di rumah Ahok.
Rebecca Solnit suatu ketika pernah berkata bahwa “Credibility is a basic survival tool”. Untuk bertahan hidup maka Anda harus punya kredibilitas. Itu sangan mendasar. Tidak boleh tidak. Di lain sisi, banyak pejabat dan politikus di negeri ini yang menganut paham berbeda. Kita tentu mahfum dengan kelatahan pejabat negeri ini untuk hidup berlebih-lebihan. Punya mobil mewah. Rumah mewah. Tanah yang banyak. Emas yang membukit. Uang yang berlimpah. Bagaimana kalau tidak punya sumber daya, sumber dana dan gaji yang cukup? Gampang saja: “Corruption is a basic survival tool”. Itu!
Sekarang, untuk melihat siapa-siapa yang korup dan siapa-siapa yang kredibel tentu sangat mudah. Kita tentu dapat menilai dengan ketulusan hati kita, bukan oleh karena kita itu fans, lovers, haters, atau apapun julukan yang dilabeli orang lain. Begini. Dalam urusan kredibilitas dan kesungguhan seseorang melawan korupsi maka ada satu value yang tidak boleh terlewatkan. Apa itu? Transparansi. Maka menjadi tidak heran bila Ahok menantang anggota BPK untuk buka-bukaan soal harta mereka, darimana didapat, berapa jumlahnya, apakah bayar pajak atau tidak. Kan begitu. Kalau transparan ya ayo buka-bukaan.
Kenapa ini harus jelas? Janganlah dulu kita masuki ke dalam materi hasil audit. Itu urusan di belakang. Dua-duanya mengaku punya fakta dan data audit. Tinggal tunggu KPK menilainya. Sekarang yang paling penting adalah yang mengaudit dan yang di audit siapa-siapa dulu orangnya.
Banyak yang mengatakan bahwa BPK itu adalah lembaga kredibel, maha mengetahui, dan maha adil dalam memberi penilaian. Sekarang jangan kita telan mentah-mentah dulu. Saya bukan hendak menolak BPK adalah lembaga yang kredibel. Oooh lembaga itu sangat kredibel dan mestinya murni mandiri berpihak untuk kepentingan negeri ini. Tetapi siapa orang-orang di dalam lembaga itu? Ya manusia-manusia biasa kayak kita. Banyak auditor teman saya yang belum tentu kalah jago sama mereka. Kejujuran dalam mengaudit? Isi hati orang siapa yang tau kan seperti itu.
Untuk mempermudah kita supaya dalam diri kita tidak muncul penyakit darah tinggi akut, lantas menganggap anggota BPK tidak pernah salah. BPK sebagai lembaga itu harus kita hormati, tetapi ternyata toh anggota-anggota bahkan pemimpinnya ada yang tidak terhormat. Di bawah ini ada beberapa contoh sederhana.
Beberapa waktu yang lalu ada anggota BPK yang diperiksa bareskrim terkait kasus dugaan pemalsuan tanda tangan dan penyuapan (CNNIndonesia.com). Ada juga anggota BPK yang jadi tersangka karena kasus suap menyuap dan akhirnya mengundurkan diri. Mungkin Anda juga pernah baca berita tentang demo para mahasiswa di depan gedung BPK oleh karena dugaan korupsi yang dilakukan anggota BPK di Universitas pakuan Bogor. Yang paling ‘hot’ juga adalah ketika KPK menetapkan mantan ketua BPK Hadi Purnomo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA. Masih ada lagi yang lain, yang masih sangat hangat yaitu tatkala Ketua BPK DKI dicopot dari jabatan setelah berseteru dengan Ahok dan dilaporkan ke Majelis Etik BPK. Entah apa alasan dicopot itu apa, yang pasti sedang aktif bertugas lalu dicopot tentu karena punya masalah. Sekarang juga Ketua BPK RI ternyata namanya ada dalam Panama Papers, yang tentu perlu dicermati dan diselidiki lebih lanjut karena bisa jadi ada upaya penggelapan pajak. Sungguh ironis. Inikah lembaga yang dibanggakan negeri ini? Jadi siapa bilang audit mereka akan selalu murni dan tanpa tendensi apapun. Belum tentu.
Kalau kita mau jujur, kenapa ada daerah yang mendapatkan WTP namun gubernur dan para pejabatnya ternyata korupsi dan harus masuk bui. Bagaimana cara ngauditnya? Salah satu contohnya di SUMUT, terima WTP eeeh Gubernur dan anggota-anggota DPRD-nya korupsi besar-besaran. Ada apa ini. Justru BPK harus berhati-hati kalau sampai ketahuan main mata dengan anggota dewan dan pejabat pemprov.
Pasal 16 ayat 4 UU No 15/2006 tentang BPK di situ tertera jelas sumpah atau janji anggota BPK. Semoga itu memang sudah dibaca baik-baik dan diamini sepenuh-penuhnya. Selanjutnya pada pasal 28 ada larangan untuk anggota BPK. Apa larangan itu? Ini menarik. Larangan itu antara lain pada poin a) menyebutkan bahwa anggota BPK dilarang memperlambat atau tuidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi berwenang.
Lalu kenapa ini kemudian menjadi menarik? Adalah oleh karena mereka melaporkan dengan segera hasil audit pemprov DKI yang nyata-nyata belum tentu ada pelanggaran pidana, tetapi kenapa daerah lain yang seperti SUMUT ini yang terang-terangan ada pelanggaran tidak dilaporkan? Kalau ada temuan dan tidak dilaporkan BERARTI mereka menyalahi aturan main pasal 28 tersebut. Namun kalau berdalih tidak ada temuan padahal jelas-jelas sekarang KPK temukan temuan tersebut berarti audit BPK ngaco. Wajar saja kalau audit yang seperti ini juga oleh Ahok dikatakan ngaco.
Kredibilitas, Integritas, dan Independensi BPK
Ketika memilih anggota BPK rupa-rupanya tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Ini tentu lari dari kenyataan pemilihan pejabat negara lainnya dimana ada keterlibatan Presiden (pemerintah) dan DPR.
Nah, berdasarkan konstitusi, pemilihan anggota BPK merupakan kewenangan DPR. Itu sudah jelas diatur dalam pasal 23 F UUD 1945 yaitu bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan masukan DPD. Ini yang menurut saya yang membuat kredibilitas, integritas dan kapabilitas anggota BPK bisa dipertanyakan.
Sebelum-sebelumnya kan umpamanya sesuai ketentuan UU No 17 tahun 65 tentang pembentukan BPK jelas terlihat kewenangan itu ada pada Presiden. Kemudian juga dipertegas dengan sedikit perubahan pada UU No 5 tahun 1973 tentang BPK. Saat itu sudah mulai melibatkan DPR. Tetapi entah mengapa kewenangan Presiden lalu kemudian beralih sepenuhnya ke DPR setelah ditetapkan UU No 15 tahun 2006 tentang BPK.
Jadi Anda nilai sendiri saja, dengan kualitas DPR kita yang seperti ini, apa mampu mereka pilih orang-orang jujur, kredibel, punya kapabilitas sebagai anggota BPK. Mudah-mudahan mereka mampu sih. Saya pesimis. Melihat banyaknya anggota DPR yangpat gulipat, menyukai permainan suap, dan sangat senang menerima uang korup tentu menjadi amat wajar rasa pesimistis saya ini.
Apakah setelah DPR memilih (siapapun yang mereka suka) sebagai anggota dan pimpinan BPK lalu lembaga ini akan bebas dipolitisasi? Entahlah. Anda saja yang jawab. Politisasi lembaga sekelas BPK ini mestinya tidak boleh terjadi. BPK harus menjadi sebuah lembaga mandiri (independen) dan bebas dari intervensi siapapun, termasuk bila ada kemungkinan hasil audit titipan (miasalnya saja lho).
Kegusaran Ahok Terhadap BPK
Kenapa Ahok menjadi begitu gusar? Karena menurut Ahok BPK itu menyembunyikan kebenaran (bisa jadi ini bicara data-data dan fakta lapangan). Tetapi ada hal lain yang lebih menarik lagi.
Ahok mempertanyakan (bahkan sudah menulis surat ke Mahkamah Etik BPK) yang entah kenapa sampai saat ini setelah melewati waktu berbulan-bulan lamanya tak kuasa dijawab (diberi penjelasan) oleh BPK.
Menurut Ahok bahwa BPK DKI tidak menyampaikan konsep laporan hasil pemeriksaan dan usulan rekomendasi kepada Pemprov DKI sebelum laporan tersebut diserahkan ke DPRD DKI, sehingga dengan demikian tentu saja pemprov DKI tidak mendapat kesempatan untuk memperbaiki dan menanggapi konsep laporan hasil pemeriksaan (LHP) rekomendasi BPK tersebut.
Lalu disebutkan juga tentang fakta yang tidak sesuai audit BPK. Pasal 16 ayat 4 UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan & Tanggung Jawab Keuangan negara, yaitu yang berisi tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksaan, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan (seperti yang sudah ramai diberitakan di berbagai media).
Padahal juga ada peraturan milik mereka sendiri (BPK) yaitu No. 01 Tahun 2007 yang isinya mengenai tanggapan dari pejabat yang bertanggung jawab. Juga merunut keputusan BPK No 4 / K / I-XIII.2 / 7 / 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan dengan aturan serupa. Lantas kenapa Ahok tidak diberi kesempatan? Walahualam deh....
Akhirnya, seperti bisikan Zig Ziglar berikut ini, “With integrity, you have nothing to fear, since you have nothing to hide. With integrity, you will do the right thing, so you will have…” Saya ingin mengajak Anda untuk merenung kenapa ada orang yang begitu berani ketika ia merasa dirinya benar. Apa yang dilakukannya benar, dan dia sendiri tidak korup serta punya integritas. ----Michael Sendow----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H