Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok untuk Jakarta atau Tidak?

3 Maret 2016   17:14 Diperbarui: 4 Maret 2016   09:12 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: temanahok.com"][/caption]Pemilihan Gubernur Jakarta masih satu tahun lagi, namun panasnya suhu sudah seakan sampai ke ubun-ubun kepala. Tak jarang suhu yang panas itu menggeser rasa percaya dan meniadakan akal sehat. Walau di sisi lain, tentu saja masih banyak yang berpikir menggunakan akal sehat. Lumrah dan sah-sah saja tentunya. Juga biasa-biasa saja, asal jangan bias membahasnya. Kalau salah bahas bisa seperti bisa ular yang mematikan.

Saya kasih contoh sederhana. Umpamanya saja ungkapan, sindiran, maupun serangan penolakan terhadap Ahok dengan melekatkan stigma apa saja terhadap dirinya. Intinya sebetulnya hanya satu:"Siapa saja asal bukan Ahok”. Atau dengan menyelenehkan ungkapan-ungkapan sindiran lain yang bermuara pada satu “kesepakatan bersama” yakni tak lain adalah “Bagaimana cara mengalahkan Ahok”. Tentu saja oleh karena Ahok mesti ditolak, maka cara dan upaya apapun mesti digalang dan dilakukan sebaik serta sebagus mungkin. Ahok bukan untuk Jakarta!

Nah, di sisi yang berseberangan, ada dukungan sangat luar biasa dengan dengan fanatisme luar biasa tinggi dari para pendukung Ahok. Tak sedikit yang bahkan begitu militan. Di benak mereka, Ahok harus kembali memimpin DKI Jakarta. Kalau bukan Ahok, terus siapa lagi? Belum ada yang sanggup menandingi Ahok secara kasat mata. Ya, belum ada sama sekali!

Sekarang, siapa yang paling betul? Faktalah yang mesti berbicara. Tidak bicara soal betul atau salah. Mestinya, yang menolak Ahok memaparkan fakta-fakta yang jelas, dan masuk akal kenapa menolak Ahok. Kalau masalah ras dan agama yang diangkat? Ya silakan ke laut saja, karena bukan zamannya lagi hal itu dibawa-bawa. Kalau bicara fakta kinerja Ahok ya silakan dipaparkan apa-apa saja yang tidak ia capai dan lakukan yang semestinya sudah dia lakukan dan capai. kekurangan serta kelemahannya yang paling fatal.

Demikian pula, bagi para pendukung Ahok, tentu sudah punya segudang fakta tentang keberhasilan dan pencapaian Ahok selama dia memimpin Jakarta dalam rentang waktu yang masih begitu singkat. Tidak hanya karena ‘polesan’ media, namun toh banyak saksi mata dan mereka-mereka yang sudah merasakan betapa dahsyatnya ‘tangan’ Ahok membenahi Jakarta.

Ada sebagian yang merasa bahwa Ahok belum melakukan yang terbaik dan tidak akan pernah menjadi yang terbaik di Jakarta ini. Tentu mereka punya alasan. Ya sudah, alasan-alasan dan fakta-fakta inilah yang diperangtandingkan untuk mencari tahu mana yang paling ‘kuat’ dan akurat datanya. Di sinilah ramainya ‘perang fakta’. Analisa boleh-boleh saja, namun di atas semuanya itu fakta di lapangan tak pernah kuasa dibendung dan ditutup-tutupi.

Jikalau ada orang yang tidak menghendaki Ahok kembali memimpin Jakarta hanya karena faktor dislike semata tanpa pernah bisa memberikan bukti dan alasan tak terbantahkan kenapa begitu, maka mereka itu hanya bagaikan orang tuli dan buta yang bicara omong kosong tak tentu arah.

Sama. Pendukung Ahok yang tak menyimpan serta punya memori yang pantas dikenang tentang kinerja dan kualitas seorang Ahok, ia juga bagaikan tong kosong yang kecil bunyinya. Di posisi mana saja Anda berdiri, baik yang mengamini bahwa Ahok sudah sementara membawa Jakarta ke arah yang lebih baik, atau yang menolaknya, tentu punya alasan kuat untuk itu. Silakan dipaparkan sejelas-jelasnya sampai tidak ada lagi yang sanggup dan kuasa membantahnya.

Kalau hanya koar-koar sama seperti si Habib siapa tuh yang tak jelas bunyinya dan tanpa alasan kuat apapun, ya sama saja dengan orang tuli atau buta yang bicara apa saja sekehendak hatinya tanpa dasar yang jelas. Orang Amrik bilang, you should not be doing that stupid speech, ever! 

Independen atau Parpol?

Setelah membaca KOMPAS.com tentang sindiran dan cibiran pedas elite PDIP terhadap teman Ahok saya jadi mikir-mikir. Begini. Salahnya dimana Ahok maju secara independen? Jawabannya tidak ada yang salah. Kalau lewat parpol? ya vice versa. Perhitungan politik yang hitam putih di atas kertas ternyata tidak selamanya menghasilkan warna yang hitam putih saja. Grey (abu-abu) itu konon selalu mempunyai wilayahnya sendiri.

Kepercayaan diri Teman Ahok yang begitu kuat bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan tetap maju sebagai calon gubernur independen rupanya dipertanyakan dan mendapat cibiran pedas dari elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) (Kompas.com 03/03/2016). Mengapa demikian?

Ini dia. Menurut Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira bahwa ia tidak yakin dengan seorang calon kepala daerah yang diusung melalui jalur independen. Dia lantas memberi pendapatnya bahwa dukungan partai politik yang lebih terlembaga dibutuhkan seorang calon untuk menjaga kepercayaan publik selama menjabat nantinya.

"Dalam sistem politik yang sehat, butuh pelembagaan politik yang kuat. Relawan bisa bubar, kandidat bisa berganti, tapi parpol harus tetap eksis," ungkap Andreas dalam diskusi di "Satu Meja" yang tayang di Kompas TV, Rabu (2/3/2016).

Nah, di sini letak permasalahannya. Apa yang dia bilang itu bisa benar dan bisa juga tidak. Sekarang saya ingin tanya dan silakan Anda jawab dengan sejujur-jujurnya dengan hati nurani Anda. Masih adakah parpol yang dapat Anda percayai dengan tulus, setelah apa yang sudah terjadi selama ini dalam tubuh partai-partai tersebut? Masyarakat tidak buta. Figur masih ada yang dapat dipercayai, namun bagaimana dengan parpol? Semoga saja memang masih ada ya. Itu harapannya. Semoga saja masih ada atau akan ada.

Sekarang kita kembali ke statemen di atas, bahwa katanya dukungan parpol yang lebih terlembaga dibutuhkan seorang calon untuk supaya dapat menjaga kepercayaan publik. Saya garis bawahi ini --Menjaga Kepercayaan Publik--. Nggak salah ini? Bukannya sebaliknya? Justru parpol-parpol inilah yang sudah kehilangan kepercayaan publik karena ulah mereka sendirilah yang telah menghilangkan kepercayaan publik dengan tingkah dan ulah mereka tersebut. Jadi bagaimana bisa alasan itu yang dipakai?

Secara fakta di lapangan memang relawan bisa saja bubar, tetapi apakah parpol itu tidak bisa bubar? Ya bisa saja, sudah ada puluhan parpol yang bubar, atau ganti bendera, bongkar pasang ‘onderdil’ oleh karena tidak mendapat simpati serta kepercayaan publik. Jadi tidak serta merta parpol mesti ada terus supaya pelembagaan politik menjadi kuat. Justru banyak parpol yang melemahkan dan membuat 'rusuh' sistem perpolitikan tanah air. Para elit berebut kekuasaan dan lain sebagainya. Bagaimana mau membina orang lain kalau diri sendiri saja tidak bisa dibina? Walahualam deh...

Ada jalan tengah. Itulah yang saya bilang wilayah abu-abu (grey area). Ahok menerima pinangan parpol namun maju secara indepen. Loh kok bisa? Ya bisa saja. Atau sebaliknya, dia maju dengan memakai kereta parpol tetapi setelah terpilih dia berlaku dan bertindak secara independen. Loh kok bisa? Ya bisa saja.

Dari awal sudah harus ada tanda tangan komitmen bahwa parpol tidak boleh sama sekali turut campur dalam pemerintahan atau ketika pengambilan keputusan sang Gubernur. “Kawin kontrak” dengan parpol hanya sampai saat calon tersebut umpamanya terpilih dan dilantik sebagai Gubernur. Lebih dari itu tidak. Kalau parpol itu mau macam-macam misalnya minta jatah lah, ngatur ini itulah...ya ditinggal saja parpolnya. Kalau kata Gus Dur “gitu aja kok repot". Mau dibilang tak tau balas budilah, atau segala macam ungkapan seperti sindiran Gerindra ya masa bodohlah. Emang gue pikirin gitu loh. Yang paling penting Gubernur bertindak, berbuat, dan berjanji atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa den rakyat yang dipimpinnya. Bukan dan sama sekali tidak atas nama parpol.

Parpol itu kan hanya ‘kendaraan’ semata. Sebuah kereta yang dipakai menuju singgasana. Kalau kendaraan itu sudah dianggap rusak dan tak sejalan seiring lagi, tak layak pakai, ya untuk apa dipertahankan. Mending dijual atau ditinggal pergi saja, kan begitu. Kasih saja ke toko besi tua, seperti itu analoginya. Masak Gubernur mau ‘dipenjara’ dan didikte kendaraan rusak? Mana ada sopir nyetir belok kiri eh mobilnya balik arah ke kanan? Ya celakalah keduanya...hehehe.

Oke deh, itu saja oleh-oleh dari saya. Semoga saja Ahok kembali jadi Gubernur Jakarta. Ups! Salah, belum saatnya kampanye ya? Maaf...maaf...maaf....jangan pilih Ahok sekarang deh. Ntar aja, nanti di 2017 ya! ---Michael Sendow---

Salam bahagia bukan ala saya...
Cheers!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun