[caption caption="Happy Mother's Day"][/caption]
Menghormati dan menghargai seorang ibu adalah mutlak menjadi milik setiap anak. Tidak pernah ada seorang anak yang terlahir hanya untuk menciderai hati ibu yang melahirkannya dengan susah payah, dan tentu dengan curahan air mata.
Ibu akan tetap menjadi seorang ibu bagi anaknya sampai kapanpun, meski sang anak sudah beranjak dewasa dan ketika rambutnya sendiri sudah mulai memutih.
Maka adalah benar ketika seorang Karl Lagerfeld menyuarakan ungkapan berikut, “The only love that I really believe in is a mother’s love for her children.” Ibu akan tetap mencintai anaknya, kendatipun kerap kali sang anak justru berulang kali menorehkan kepahitan dan membuat mata sang ibu bengkak oleh karena tangisan yang tak kuasa ia tahan. Anak adalah bagaikan anak panah yang sangat tajam, selalu akan terbang cepat menuju tujuannya. Menuju masa depannya sendiri. Namun, ibu sebagai sang busur tidak akan pernah lepas pengaruhnya bagi sang anak. Busur itulah yang akan terus menemani sang anak panah, supaya dia dapat melesat cepat di setiap kesempatan. Tanpa busur, maka anak panah itu bukan apa-apa.
***
.....Di suatu senja, ada seorang anak yang sementara adu mulut dengan ibunya. Lalu, sang anak tiba-tiba berargumentasi dengan amat keras. Perdebatan itu berlangsung cepat namun keras. Tiba-tiba, di ruangan makan itu, sang anak memukul meja makan sampai beberapa piring makanan jatuh berserakan. Ia membentak kasar. Ia berteriak. Ia lantas kemudian melangkah pergi keluar rumah, tak lupa membanting pintu sekeras-kerasnya. Rupanya perdebatan sengit itu adalah menyangkut beberapa hal prinsipil yang tak bisa disatukan antara pendapat sang ibu dan sang anak.
Dalam kekesalan luar biasa, sang anak ini (yang sudah mau lulus kuliah) bertahan untuk tidak pulang rumah sampai lewat tengah malam. Sampai akhirnya ia mesti ditelpon bapaknya yang amat sangat bijaksana. Terlontar kalimat ini dari mulut bapaknya, "Kamu boleh saja marah. Kamu boleh saja kesal. Kamu boleh saja punya pendapat sendiri yang kamu anggap benar. Tetapi kamu jangan bersikap seperti itu, memukul meja dan membanting pintu, bicara kasar kepada ibumu.....Itu tidak baik. Pulanglah kamu sekarang." Anak itu pun pulang, menuruti kata-kata ayahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua tengah malam.
Lalu sang anak membuka pintu rumah yang tidak dikunci, dan berjalanlah ia perlahan-lahan menuju kamarnya. Langkahnya agak terhenti ketika melewati kamar dimana ibunya biasa tidur. Pintu tidak ditutup rapat. Ia lantas seketika itu juga berhenti melangkah. Langkahnya terhenti oleh karena saat itu terdengar tangisan ibunya. Rupanya sang ibu belum bisa tidur. Sang anak melirik apa yang terjadi di dalam kamar.
Olehnya nampak jelas ibunya saat itu sementara terisak-isak sambil memukul-mukul dadanya. Ini adalah pertanda bahwa ia sangat sakit hati atas apa yang terjadi di meja makan tadi. Perlahan masih terdengar ia berkata lirih, lebih tepat bergumam pada dirinya sendiri, "......Oh anak....apapun yang kamu lakukan, ibu akan tetap sayang kamu. Ibu ndak pernah bermaksud mengecilkan usaha-usahamu. Aku akan selalu mendoakanmu, nak...." Sambil menatap cermin dan menyeka air matanya. Habis itu ibu ini berdoa pelan untuk anaknya itu. Hampir di setiap kalimat anak itu mendengar namanya disebut berulang kali. Ia lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar tidurnyanya, dan tanpa terasa air matanya turut menitik.
Penyesalan memang selalu datang di belakang. Dan penyesalan itu akan sangat menyesakkan dan perih. Anak itu sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah begitu rupa mendukakan hati ibunya. Orang yang sudah merawat, membesarkan, dan mengasihinya dengan tulus. Orang yang tidak mungkin diduakan kasih dan cintanya. Sesungguhnya berbeda pendapat tidak usah menjadikan dirinya bersikap kasar dan membentak-bentak ibunya. Sungguh tidak tau malu.
Rasa itulah yang akan terus membekas di hati saya sampai kapanpun, dan terus berusaha saya 'bayar' dengan cara apapun, untuk membahagiakan ibu saya. Karena apa? Karena sang anak dalam cerita di atas itu adalah saya sendiri. Anak tak tau diri yang pernah membentak-bentak, bicara kasar, memukul meja makan dan membanting pintu rumah itu belasan tahun yang lalu. Anak yang kemudian menjadi sangat rapuh sehingga tak berdaya sampai terjatuh sujud di kaki ibu untuk sekedar meminta maaf darinya, dan meminta restu darinya.
Kilas balik "kasih ibu tak terkira sepanjang masa" akan terus saja menghiasi relung-relung hati saya yang paling dalam. Ia yang pernah membungkus dan mebersihkan tubuh saya ketika sempat kehujanan dan jatuh di jalanan lantaran mengejar layangan putus, semasa SMP. Ia yang membelikan sepatu baru bagi saya, meskipun saya tak pernah memintanya, mungkin karena ia melihat sepatu yang saya pakai sudah bolong ujungnya oleh karena ulah nakal saya bermain sepak bola yang terbuat dari jeruk Bali yang gede dan keras itu.
Dia juga yang saban hari membersihkan dan merawat saya dengan penuh kasih tatkala tubuh saya demam tinggi akibat kaki saya tertusuk kawat berduri, dan akhirnya lukanya infeksi. Itu terjadi sehabis saya memanjat pagar terbuat dari kawat duri, saking ngebetnya saya, atau betapa ingginnya saya memetik buah mangga yang sudah sedap dipandang mata dan harum baunya milik tetangga sebelah, gara-gara dahan pohonnya sebagian menjulang ke pekarangan rumah kita. Masih banyak cerita lainnya.
Hal-hal itulah yang membuat saya tak kuasa untuk akhirnya pasrah dan berserah diri pada keinginan hati yang amat kuat dan secara dahsyat mendorong, 'memaksa', lalu mengajarkan saya untuk menempatkan sosok ibu pada posisi luar biasa dalam hidup saya. Menjadikan dia semacam role model dan anutan sejati. Membiasakan diri membalas segala kasih sayangnya yang tulus tanpa pamrih. Menebus semua kegetiran dan kepahitan yang sudah saya hadirkan dalam drama kehidupannya, sebagai seorang ibu.
Beruntunglah saya masih punya seorang ibu. Bagaimana mereka yang sudah ditinggal pergi ibunya bahkan semenjak masi bayi? Maka perlu sekali kita bersyukur atas nikmat Tuhan yang besar ini. Yakni masih memberikan kita kesempatan untuk memiliki dan hidup bersama ibu kita. Ucapkanlah segala rasa sayang dan ucapan cintamu sekarang, sebelum segalanya terlambat, dan jangan menunggu sampai kelak ibu kita sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Jangan tunggu sampai dia benar-benar tidak ada lagi. Waktu tidak akan pernah bisa kita putar balik.
Untuk itulah, setiap pulang kampung saya mesti mendekap erat ibu saya. Membiarkan segala kehangatan itu mengalir deras dalam aliran-aliran darah, memompa segenap rasa untuk mencuat muncul ke permukaan. Ia pun selalu saja tak pernah lupa untuk mengelus punggung saya, dan memberi pelukan terhangat di usianya yang semakin menua itu.
Tak terasa waktu memang berjalan sangat cepat. Wajahnya yang semakin menua. Gerakannya kini tidak lagi cekatan seperti dulu. Rambut yang memutih. Semuanya itu justru semakin menghadirkan rasa kasih membara-bara dalam diri saya. Semakin membuat saya mengasihinya dengan amat sangat. Janji yang tak terucap itu akan selalu saya pegang: I will do all my best to make her happy.
Saya jadi teringat kata-kata yang pernah diucapkan oleh seorang yang sangat mahsyur, George Washington, yang juga pernah menjadi Presiden Amerika Serikat. Dia bilang begini, “My mother was the most beautiful woman I ever saw. All I am I owe to my mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from her.” Benar.
Ibu saya juga adalah wujud membumi hadirnya 'sorga' di bumi ini. Sorga tidak semata ada di bawah telapak kaki ibu. Sorga juga sesungguhnya ada dan hadir dalam setiap pelukan seorang ibu. Setiap tetesan air mata seorang ibu. Setiap belaian kasih seorang ibu. Dan juga, dalam setiap bait doa seorang ibu. Karenanya, dia menjadi wanita hebat di balik dan dalam segala 'kebesaran, 'kemegahan', 'kemasyuran', dan 'keberhasilan' saya.
Hari ini, ijinkanlah saya menyampaikan "Selamat Hari Ibu". Tuhan kiranya mendengarkan setiap doa ibu yang terangkat. Tentu juga, semoga Tuhan turut mendengar doa anak-anak yang begitu tulus mendoakan ibu mereka, di seluruh pelosok negeri.
Saya menulis tulisan ini sambil mendengarkan sebuah lagu yang paling pertama kali ibu saya ajarkan dan dendangkan pada saya puluhan tahun lalu, yang masih saya ingat betul (syairnya saya ubah dikit, karena saya ini seorang laki-laki tulen):
Mother, how are you today?
Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?
Here is a note from your son
Ini sebuah pesan dari putramu
With me everything is ok
Dan kabarku baik-baik saja.....
Mother, how are you today?
Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?
Mother, don't worry, I'm fine
Ibu, jangan kuatir, kabarku baik
Promise to see you this summer
Saya janji akan menemuimu musim panas nanti
This time there will be no delay
Kali ini takkan tertunda lagi
Mother, how are you today?
Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?
***
I found the women of my dreams
Kutemukan wanita yang kuidamkan
Next time you will get to know her
Lain waktu kau kan mengenalnya
Many things happened while I was away
Banyak hal yang telah terjadi saat aku pergi (saat aku dirantau)
Mother, how are you today?
Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?
.......Semoga kabarmu baik-baik saja ibu. I love you with all my heart! ---Michael Sendow---
“Sometimes, mothers say and do things that seem like they don’t want their kids … but when you look more closely, you realize that they’re doing those kids a favor. They’re just trying to give them a better life.” ―Jodi Picoult (Handle with Care)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H