Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Harus Bersuara, Diam Tak Selamanya Emas!

23 November 2015   13:36 Diperbarui: 23 November 2015   14:32 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingat betul, dulu di kampung halaman saya, di sebuah desa kecil di Minahasa nun jauh di sana, kita itu hidupnya ‘saling bantu’ dan ‘saling tolong’. Keadaan itu masih begitu melekat amat lekat dalam hidup keseharian. Tidak ada kesan melebih-lebihkan dan tidak juga karena berharap pamrih. Tidak juga terlihat ada muslihat dibalik ‘perhatian’ yang tulus diberikan atau dibagikan. Dalam hal apapun, saling bantu dan saling tolong itu masih kuat. Kerja bakti masih sangat umum dan 'wajib'.

Pernah suatu ketika ada tetangga yang tak jauh dari lokasi kita, rumahnya terbakar hebat. Kebun kecil di belakang rumah ikut-ikutan terbakar. Apinya dengan cepat menyebar dan menebar kepanikan tentu saja. Lalu terdengar ada suara yang berteriak-teriak menyuruh orang-orang supaya masuk ke dalam rumah dan tidak boleh berada di luar agar supaya tidak terkena polusi asap, “Perhatian....perhatian......sapa-sapa yang masih di luar rumah supaya maso jo ka dalam rumah, kong tutu itu jendela deng pintu supaya ni asap nyanda maso rumah…”

Ini memang cara yang paling gampang dan kelihatan efektif untuk menghindari polusi. Tapi sebetulnya bukan itu permasalahannya. Bukan dengan berkurung diri rapat-rapat dalam rumah maka api akan padam. Masalahnya adalah bagaimana kita secara bersama-sama berusaha memadamkan api yang semakin membesar itu.

Singkat cerita, saat itu, atas inisiatif beberapa pemuda maka bergotong royonglah seberapa yang terkumpul di lokasi kebakaran itu untuk sama-sama berusaha memadamkan api. Ada yang menimba air di sumur. Ada yang mengambil air di sungai. Serta berbagai usaha dan upaya lainnya. Dengan begitu maka akhirnya api dapat dipadamkan. Ini tentu saja oleh karena ada kepedulian dan mau bekerja bersama. Tidak hanya diam berkurung diri cari selamat sendiri. Diam bersembunyi tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Nah, sebetulnya perumpamaan ini juga adalah ibaratnya berbicara tentang perjalanan hidup sebuah bangsa yang beradab. Kita tidak bisa diam saja melihat sesuatu yang sudah sementara terjadi di sekitar kita. Apapun itu. Diam tak selamanya emas. Kecenderungan nyata dari apa yang selama ini kita lakoni, termasuk berbagai macam organisasi, juga agama-agama di Indonesia yang katanya sudah sangat modern dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan, ternyata toh lebih banyak berdiam diri. Sangat jarang terdengar suara apalagi aksi mereka.

Ketika keadilan dan kejahatan kemanusiaan sementara terjadi kemana mereka? Ketika korupsi menjadi ‘pemusnah kehidupan paling mutakhir’ abad ini, dimana suara mereka? Banyak yang diam membisu seakan tak mau tau dan atau tak mau peduli. Bahasa gaul anak muda kita menyebutnya sebagai EGP (emang gue pikirin). Urusan elo ya elo urus sendiri, gue ya gue. Elo and gue end! Kan gitu. Mereka sibuk memikirkan diri sendiri dan ‘keselamatan’ mereka sendiri. Padahal kita hidup di satu atap bernama NUSANTARA. Sungguh ironis.

Terkadang pula kita berusaha memuaskan hati dan kesenangan banyak orang. Dalam hal ini, kita berusaha berkompromi dengan kejahatan maupun ketidakadilan yang sementara terjadi. Itulah resiko paling minim buat diri kita. Kita tidak bersuara. Kita tidak mengeluarkan pendapat. Kita menutup mata, atau apapun istilahnya Anda sematkan. ‘Diam adalah emas’ untuk diri dan kelompok kita sendiri. Mestinya kita itu bersuara lantang. Kita bertindak nyata menunjukkan kepedulian kita pada bangsa ini.

Kalau kita tidak berani secara jelas berdiri, berpihak, dan bersuara kepada keadilan, kepada apa yang benar, maka sebetulnya kita sementara menyerahkan 'produk' bernama keadilan dan atau kebenaran itu hanya ke tangan orang-orang tak bertanggungjawab. Ke tangan mereka-mereka para pelaku ketidakadilan. Pada mereka yang korup. Pada mereka yang tidak punya etiket baik. Ini sama saja dengan kita juga turut menyetujui, bahkan ikut memainkan peran terhadap apa yang sementara mereka mainkan selama ini.

Makanya saya tak heran bila ada ungkapan seperti ini, diambil dari sebuah pribahasa di Swedia yang kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berkata demikian, “Yang lebih berbahaya justru adalah ketika di dunia ini hidup orang-orang yang tau suatu kejahatan dan ketidakbenaran sementara terjadi di sekitarnya, namun mereka diam saja”.

Diam tidak selalu emas, kadang dalam kondisi tertentu ia menjadi racun mematikan. Kita pun suatu saat bisa dituntut oleh karena posisi kita yang ‘diam’ tersebut. Kita tidak boleh menjadi pengecut dengan banyak alasan yang dibuat-buat. Acap kali kita berbuat sebaliknya. Bukankah kesaksian hidup kita yang paling nyata adalah sikap kita terhadap kebusukan dan kebobrokan yang selalu hadir dalam hidup berbangsa ini? Seberapa berani kita menyuarakan suara kita, entah itu sekedar lewat tulisan sekalipun.

MERASA AMAN DI PIHAK “YANG BANYAK”

Merasa aman di pihak yang banyak. Ini problem sepanjang sejarah umat manusia, yang notabene memang terlihat amat manusiawi. Iya dong, kita tentu akan merasa lebih aman ketika berada di kelompok mayoritas? Dalam sebuah organisasi atau pemerintahan, maka ketika mayoritas berkorupsi ria (bukan ria jenaka), ya kita jangan utak-atik mereka. Kita harusnya sepemahaman saja, dan setuju-setuju sajalah. Oke-oke sajalah dengan perbuatan mereka. Ingat lho, ini bicara mayoritas. Artinya ada kekuatan kuantitas di sana. “Yang banyak” masak mau dilawan sih? Ah, yang bener saja!

Lalu kemudian kita berdiam diri cari aman saja. Ketika kita takut untuk berada dalam posisi minoritas. Kurang berani menghadapi tekanan mayoritas, maka yang akan terjadi kemudian adalah kita lalu berusaha “memuaskan hati banyak orang" tersebut. Kita berusaha menyenangkan mereka. Kita berusaha 'berkawan' dengan mereka ketimbang melawan mereka.

Lantas selanjutnya lahirlah sebuah pertanyaan (klasik) seperti ini: Salahkah kita memperhatikan keinginan banyak orang? Jawabnya, tentu saja tidak!

Bukankah perbedaan yang paling dasar antara "tirani" dan "demokrasi" terletak di situ. Tirani memaksakan kehendak satu orang (pemimpin yang sangat otoriter umpamanya), dan dengan begitu juga ia akan secara gampang menyepelekan aspirasi banyak orang. Akan tetapi lain halnya dengan demokrasi, ia akan sangat menghormati kepentingan banyak orang.

Namun toh urusannya tidak selesai di situ saja. Persoalan di kita yang paling utama adalah bukan lagi bicara soal banyak atau sedikit. Yang harus kita lihat dan cermati adalah masalah benar atau salah. Itu kuncinya. Walau banyak jumlahnya tetapi salah dan jahat serta korup kelakuannya umpamanya, apa masih tetap akan kita bela dan senangkan juga? Dalam kasus-kasus tertentu saya rasa semboyan Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) tidak selalu tepat. Secara filosofis kebenaran, maka suara ‘yang banyak’ belum tentu menjadi suara ‘yang benar’.

Contoh sederhana begini, (hanya contoh) bahwa dari semua anggota DPR, sebagian besar vote setuju terhadap korupsi. Perbuatan korupsi tidak salah dan UU Korupsi direvisi dengan menyatakan KORUPSI adalah perbuatan wajib bagi setiap anggota dewan. Ini suara mayoritas. Namun ada satu fraksi terdiri dari hanya segelintir orang saja (yang masih benar-benar punya integratis) menolaknya. Ketika vote dilaksanakan tentu saja yang mayoritas menang, yang minoritas kalah. Jadi yang 'benar' tidak selalu menang, dan oleh karenanya juga dengan sendirinya yang menang tidak selalu benar. Artinya yang banyak belum tentu benar.

Kita harus bersuara karena bangsa kita membutuhkan suara-suara kita. Sekecil apapun suara yang kita miliki. Sadarlah, bahwa ternyata ‘suara’ kita juga tidak hanya dibutuhkan manakala pemilu tiba. ‘Suara’ kita dibutuhkan tiap-tiap hari demi menciptakan kondisi yang lebih layak, lebih manusiawi, dan lebih adil di negeri ini. Jangan biarkan suara kita dimanipulasi dan dipalsukan. Di luar sana, suara setiap kita sangat berarti! -Mich-

“Suaramu akan selalu punya arti lebih, bila itu dilontarkan pada sesuatu yang tepat, pada kondisi yang pas, dan pada momen tak terduga…” --- Michael Sendow

“When the whole world is silent, even one voice becomes powerful” --- Malala Yousafzai

#SUARAKITA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun