Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Harus Bersuara, Diam Tak Selamanya Emas!

23 November 2015   13:36 Diperbarui: 23 November 2015   14:32 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merasa aman di pihak yang banyak. Ini problem sepanjang sejarah umat manusia, yang notabene memang terlihat amat manusiawi. Iya dong, kita tentu akan merasa lebih aman ketika berada di kelompok mayoritas? Dalam sebuah organisasi atau pemerintahan, maka ketika mayoritas berkorupsi ria (bukan ria jenaka), ya kita jangan utak-atik mereka. Kita harusnya sepemahaman saja, dan setuju-setuju sajalah. Oke-oke sajalah dengan perbuatan mereka. Ingat lho, ini bicara mayoritas. Artinya ada kekuatan kuantitas di sana. “Yang banyak” masak mau dilawan sih? Ah, yang bener saja!

Lalu kemudian kita berdiam diri cari aman saja. Ketika kita takut untuk berada dalam posisi minoritas. Kurang berani menghadapi tekanan mayoritas, maka yang akan terjadi kemudian adalah kita lalu berusaha “memuaskan hati banyak orang" tersebut. Kita berusaha menyenangkan mereka. Kita berusaha 'berkawan' dengan mereka ketimbang melawan mereka.

Lantas selanjutnya lahirlah sebuah pertanyaan (klasik) seperti ini: Salahkah kita memperhatikan keinginan banyak orang? Jawabnya, tentu saja tidak!

Bukankah perbedaan yang paling dasar antara "tirani" dan "demokrasi" terletak di situ. Tirani memaksakan kehendak satu orang (pemimpin yang sangat otoriter umpamanya), dan dengan begitu juga ia akan secara gampang menyepelekan aspirasi banyak orang. Akan tetapi lain halnya dengan demokrasi, ia akan sangat menghormati kepentingan banyak orang.

Namun toh urusannya tidak selesai di situ saja. Persoalan di kita yang paling utama adalah bukan lagi bicara soal banyak atau sedikit. Yang harus kita lihat dan cermati adalah masalah benar atau salah. Itu kuncinya. Walau banyak jumlahnya tetapi salah dan jahat serta korup kelakuannya umpamanya, apa masih tetap akan kita bela dan senangkan juga? Dalam kasus-kasus tertentu saya rasa semboyan Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) tidak selalu tepat. Secara filosofis kebenaran, maka suara ‘yang banyak’ belum tentu menjadi suara ‘yang benar’.

Contoh sederhana begini, (hanya contoh) bahwa dari semua anggota DPR, sebagian besar vote setuju terhadap korupsi. Perbuatan korupsi tidak salah dan UU Korupsi direvisi dengan menyatakan KORUPSI adalah perbuatan wajib bagi setiap anggota dewan. Ini suara mayoritas. Namun ada satu fraksi terdiri dari hanya segelintir orang saja (yang masih benar-benar punya integratis) menolaknya. Ketika vote dilaksanakan tentu saja yang mayoritas menang, yang minoritas kalah. Jadi yang 'benar' tidak selalu menang, dan oleh karenanya juga dengan sendirinya yang menang tidak selalu benar. Artinya yang banyak belum tentu benar.

Kita harus bersuara karena bangsa kita membutuhkan suara-suara kita. Sekecil apapun suara yang kita miliki. Sadarlah, bahwa ternyata ‘suara’ kita juga tidak hanya dibutuhkan manakala pemilu tiba. ‘Suara’ kita dibutuhkan tiap-tiap hari demi menciptakan kondisi yang lebih layak, lebih manusiawi, dan lebih adil di negeri ini. Jangan biarkan suara kita dimanipulasi dan dipalsukan. Di luar sana, suara setiap kita sangat berarti! -Mich-

“Suaramu akan selalu punya arti lebih, bila itu dilontarkan pada sesuatu yang tepat, pada kondisi yang pas, dan pada momen tak terduga…” --- Michael Sendow

“When the whole world is silent, even one voice becomes powerful” --- Malala Yousafzai

#SUARAKITA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun