Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Toar dan Lumimuut, Keturunan Pertama di Tanah Minahasa (IV - Terakhir)

16 Oktober 2015   10:28 Diperbarui: 16 Oktober 2015   10:30 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Konon, inilah waruga (kuburan kuno Minahasa) Toar dan Lumimuut (Pic Source: www.minahasa.go.id)"][/caption]

Pengantar: Ini adalah tuturan sebuah legenda di tanah Minahasa, yaitu Toar dan Lumimuut, manusia-manusia pertama di tanah Minahasa. Legenda ini, coba saya tuliskan kembali menurut versi, imaginasi, dan gaya saya. Karena panjang, maka tulisan ini akan tersajikan bersambung. Selamat menikmati sajian dari tanah Minahasa ini. (Namanya legenda ya tetaplah legenda. Jangan ada yang lantas mengatakan bahwa kisah ini benar-benar terjadi. Namun legenda adalah warisan budaya yang mesti juga kita hormati.) Bagian I BACA DI SINI BAGIAN II BACA DI SINI Bagian III BACA DI SINI

***

Setelah berbulan-bulan lamanya pengembaraan mereka, tanpa diduga Toar bertemu Lumimuut, ibunya, di sebuah hutan di kawasan Tingkolongan yang gelap.

Dengan hanya diterangi sinar bulan, Toar sekilas melihat wajah ibunya yang cantik rupawan itu. Lumimuut pun akhirnya bertatap pandang dengan Toar, namun saat itu ia sama sekali tidak mengenali wajah anaknya yang sudah ditumbuhi jambang dan kumis lebat. Wajah Toar juga sudah berubah warna akibat terbakar sinar matahari.

Toar kemudian bertanya, “Apakah kamu memegang tongkat yang sama dengan yang aku pegang?” Lumimuut mengangkat tongkat yang dia bawa dan ternyata tongkat mereka tidak sama panjang ukurannya. Toar pun mengajak Lumimuut untuk menikah supaya dapat menghasilkan anak cucu sesuai pesan Karema. Seketika Lumimuut sadar bahwa yang berbicara di hadapannya itu sesungguhnya adalah anaknya sendiri. Ia terpekur diam.

Lumimuut tidak langsung mengiyakan permintaan Toar, tetapi ia justru mengajak Toar untuk kembali menemui Karema supaya nanti diberikan pengertian dan pendapat mengenai apa yang harus mereka lakukan. Toar menyetujui, maka kembalilah mereka ke pegunungan Wulur Mahatus untuk meminta pendapat Karema.

Berbulan-bulan lamanya waktu kembali mereka tempuh untuk pulang menemui Karema. Setelah bertemu Karema, maka dua tongkat yang dibawa mereka itu kembali dibandingkan dan disandingkan, ternyata memang Karema dapat melihat secara jelas bahwa keduanya tidak sama panjang ukurannya.

Karema menyuruh mereka berdua untuk mendekat, lalu berkatalah Karema, “Karia u ngaran ni Wa’ilan, yah nima zei’ mo u ma’ina’ an nio” (Dengan nama Yang Maha Mulia, kamu berdua tidak lagi sebagai ibu dan anak). Karema melanjutkan, “Akaz I nania wo mange, ya Tou sana awu-mo kamu.” (Mulai sekarang dan seterusnya, kamu berdua sudah menjadi suami-istri). Karema berdoa supaya suami-istri baru ini hidup dalam kehidupan yang penuh berkat dan tetap terus dalam pengasihan Opo Wailan Wangko. Karema sebagai Pendeta dan orang dituakan yang kemudian menikahkan Toar dan Lumimuut.

Karema lantas mengajak Toar dan Lumimuut untuk pergi ke daerah di sekitar pegunungan Lolombulan dan Sinonsayang, karena di sanalah ia hendak mengadakan upacara pemberkatan pernikahan Toar dan Lumimuut. Untuk mengabadikan penyatuan sebagai suami istri antara Toar dan Lumimuut, maka Karema melukiskannya pada sebuah batu abadi, yang bernama Watu Lutau. Batu itu masih dapat disaksikan oleh keturunan-keturunan Toar Lumimuut sampai saat ini. Lukisan Karema pada batu itu adalah gambaran tentang sepasang kekasih (Toar-Lumimuut) sedang bergandengan tangan. Tempat itu kemudian menjadi desa Lutau / Tinondeyan / Tondei. Tempat yang menjadi saksi dipersatukannya Toar dan Lumimuut oleh Karema.

Karema saat itu bertindak sebagai Pendeta, ia lalu memberkati Toar dan Lumimuut, lalu kemudian ia sendiri menetapkan sebuah janji untuk hidup bersama kedua suami-istri baru ini sampai batas akhir hidup mereka. Karema adalah ibu (orang tua) dan Pendeta bagi kehidupan suami-istri baru itu. Ia terus mendampingi sampai Toar dan Lumimuut beranak-cucu.

Keturunan Toar Lumimuut bertambah-tambah banyaknya bagaikan pasir di laut, persis seperti janji Empung Wailan Wangko. Pertama-tama adalah Makarua Siouw (dua kali sembilan) anak-anak mereka, kemudian Makatelu Pitu (tiga kali tujuh) cucu-cucu mereka, begitu seterusnya mereka menurunkan buyut-buyut, cece-cece, Pasiowan Tewu (Sembilan kali tiga) dan keturunan demi keturunan itu mulai menyebar memenuhi bumi Minahasa. Dari Miangas sampai Molosipat. Dari ujung Timur sampai ujung Barat, dan dari ujung Utara sampai ujung Selatan.

Para leluhur keturunan Toar Lumimuut ini berkembang dengan pesat, dan menyebar dengan cepat pula. Tatanan peradaban dan sosial mulai terbentuk, namun ternyata di antara para leluhur keturunan pertama tersebut terjadi perselisihan dan perpecahan. Para Tona’as kemudian sepakat untuk bertemu dan membicarakan hal tersebut secara damai dengan memilih sebuah tempat netral.

Maka sesuai waktu yang sudah mereka sepakati bersama, diaturlah pertemuan di Awuan (Tonderukan Utara). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu atau Pinawetengan um-posan. Akhirnya kesepakatan pun diambil, yaitu keturunan-keturunan selanjutnya dari Toar Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok besar, Tonsea, Tombulu, dan Tontemboan. Tempat di mana mereka bertemu kemudian dinamai Watu Pinabetengan (Batu Membagi).

Toar dan Lumimuut sendiri setelah menetap cukup lama di sekitar pegunungan Wulur Mahatus, mereka kemudian bermigrasi, pindah dan menetap di daerah Likupang untuk sekian lamanya, lalu berpindah lagi ke Kanonang. Di tempat inilah Toar dan Lumimuut menghabiskan sisa hidup mereka, wafat, dan dikuburkan. Keberadaan mereka terus dikenang secara turun temurun. Toar dan Lumimuut dianggap sebagai leluhur pertama orang-orang Minahasa masa kini. (Tamat) ---Michael Sendow---

 Bacaan lain yang berkaitan: Toar Mengawini Ibunya

 [caption caption="Toar Lumimuut dijadikan ajang pemilihan Toar Lumimuut masa kini"]

[/caption]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun