[caption caption="(Pic Source: www.writinglives.com)"][/caption]Dalam buku ‘Rumah Kaca’ halaman 138, Pramoedya Ananta Toer berucap, “Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.”
Maka kemudian saya berpendapat, bahwa selanjutnya tinggal bandul tulisan itu kita mau tarik atau goyangkan untuk condong ke arah mana, apakah ke kenyataan atau lebih ke imajinasi. Penulis sendirilah yang memutuskan. Arah bandul sudah ada dalam genggamannya. Tentu saja, motivasi menulis turut menentukan arah bandul itu.
Setiap orang punya motivasi sendiri-sendiri untuk apa dia menulis. Ada yang menulis supaya dapat berbagi. Ada yang menulis supaya cepat pintar. Ada yang menulis supaya jadi kaya (menghasilkan buku dan sebagainya). Ada yang menulis untuk promosi, jualan dan sebagainya. Ada yang punya motivasi ini dan itu. Semua motivasi dibalik ‘kehebohan’ dan ‘keriaan’ seorang penulis menulis dapat tercermati lewat isi dan ungkapan kata-katanya. Bukankah ungkapan “we are what we write” itu ada benarnya? Lalu apa motivasi Anda menulis? Anda sendirilah yang tahu pasti.
Motivasi apa saja di balik kesetiaan kita menulis, di setiap saat dan waktu, maka tentu pilihan itu sudah menjadi pilihan kita masing-masing. Kalau bagi saya sendiri, sederhananya adalah bahwa menulis itu ibarat bernafas. Sebuah kemestian dan keniscayaan. Seperti tertuang pada beberapa status saya, itu adalah oleh karena dengan menulis maka saya merasa ‘hidup’ dan lebih hidup.
Penulis sejati memang harus terus menulis dan berbagi tulisan, sebab writing is breathing. Lebih jauh daripada itu saya menulis juga supaya berbuah. Menulis itu ibarat menanam. Untuk apa kita menanam kalau tidak ada buahnya sama sekali. Buah dari tulisan-tulisan saya, tentu dari lubuk hati yang paling dalam, saya kemudian berharap supaya itu semua dapat dinikmati dan dirasakan oleh orang lain yang membacanya, tidak semata hanya untuk saya sendiri. Itu egois namanya. Maka kemudian saya bertekad untuk mengisi hari-hari hidup saya juga dengan menulis dan berbagi.
Ini kemudian menjadi begitu penting dalam hidup saya, oleh karena merasalah saya, bahwa ternyata hal terpenting dalam hidup kita ini, bukan seberapa panjang umur kita, melainkan seberapa berkualitasnya hidup kita. Maka, pergunakan setiap tahun dengan sebaik-baiknya supaya terus berbuah, dan buahnya lebat-lebat.
Pergunakan kesempatan menulis yang sudah Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya, supaya kita dapat memanusiakan manusia lain lewat tulisan-tulisan kita.
Banyak tempat sudah tersedia sebagai sarana kita menulis. Gratis. Kecuali biaya pulsa, tentu harus tanggung sendiri dong yah. Media cetak dan media online pun selalu terbuka lebar untuk kita. Ada yang paling gampang yaitu lewat berbagai blog, FB pages, dan tentu saja dunia twitter (kalau di sini hanya sebatas berkicau).
Kompasiana juga sering dijadikan ajang menulis. Namun kerap kali jadi ajang pembantaian dan penjagalan. Lumrah dan wajar. Hanya saja masih tetap saja banyak yang buang ‘sampah’ sembarangan. Tinggal pilih, apakah kita akan menanam benih yang baik, atau buang hajat sembarangan. Pilihan tetap ada di tangan kita masing-masing
So, marilah menulis dan teruslah menulis. Tebarkanlah ide-idemu selama hayat masih dikandung badan. Kalau mulutmu tak lagi bisa berteriak lantang, maka biarkan tanganmu yang mengerjakan pekerjaan itu. Biarlah pena modern yang berkata-kata lewat rangkaian kata, nada, dan gaya. Menulislah terus, teruslah menulis!
Saya selalu berdoa kepada Tuhan begini, “Tuhan berikan saya kehidupan selama saya menulis, dan berikan saya tulisan selama saya hidup….Amin” ---Michael Sendow---
“There is no greater agony than bearing an untold story inside you” --- Maya Angelou (I Know Why the Caged Bird Sings).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H