[caption caption="(Pic Sourse: Kompasiana.com)"][/caption]
Ah, Anda lebay saudara! Mungkin itulah pendapat mereka-mereka yang belum menjadi kompasianer. Bisa jadi saya memang agak sedikit lebay sih, namun apa yang saya tuliskan itu semuanya benar oleh karena saya mengalaminya sendiri sejak tahun 2011 yang lalu. Motto saya ini, “Dengan menulis maka Anda akan hidup”. Di lain kesempatan saya menulis motto yang lain, “Writing is breathing…” Menulis adalah ‘nafas kehidupan’ bagi seorang penulis sejati. Ketika ia berhenti menulis itu berarti ia berhenti bernafas.
Tanggal 6 Februari 2011 saya mendaftar resmi menjadi kompasianer, anggota ‘rumah besar Kompasiana’, tentu saja saat itu di tengah hingar bingar dunia blog dan dunia kepenulisan lainnya. Jujur mesti saya akui, sepanjang hidup kepenulisan saya, di Amerika maupun di Indonesia, menulis di Kompasiana menjadikan hidup saya semakin berwarna, dan dunia menulis saya menjadi amat hidup dan berkembang. Lain daripada yang lain. Oleh karenanya di lain kesempatan saya sempat menulis supaya Kompasiana tetap berbeda. Menjadi sesuatu yang lain dan tak ditemui padanannya. http://www.kompasiana.com/michusa/kompasiana-justru-harus-berbeda-dong_5500e32ba333118d735120a0
Kompasiana adalah ladang kita menabur dan menuai. Ingatlah pepatah kuno yang berkata “Apa yang kau tabur, itulah juga yang akan kau tuai”, maka demikianlah menulis di kompasiana ini bekerja. Semakin banyak kita menabur tulisan-tulisan yang bermanfaat, maka seiring berjalan waktu maka akan banyak manfaat juga yang akan kita tuai darinya. Baik bagi diri kita sendiri sebagai penulis, maupun bagi para pembaca tulisan kita. Robert Frost membahasakannya secara unik, “No tears in the writer, no tears in the reader. No surprise in the writer, no surprise in the reader.” Buatlah kejutan-kejutan bermanfaat dalam setiap tulisanmu, niscaya engkau akan dikenyangkan oleh beragam kejutan yang senantiasa datang menghimpirimu.
Buah dari keaktifan saya menulis di Kompasiana juga sangat banyak. Di antaranya adalah saya dapat banyak teman berinteraksi. Ini adalah modal dasar tentunya….hehehe…Bukankah untuk berdagang maka kita harus punya banyak jaringan? Nah, saya sih tidak menjual barang namun menjual ide. Bagi yang menjual barang dagangan lewat komunitas ini juga kan kayaknya sah-sah saja toh. Bagi saya, dagang ide itu ternyata justru sangat mengasyikkan. Saya ketemu pengusaha, sama-sama kita berbisnis. Saya ketemu penulis buku, sama-sama kita kemudian menulis buku. Saya ketemu pemain catur, sama-sama kita main catur. Saya ketemu penikmat kopi, ya sama-sama kita minum kopi bareng. Saya ketemu pejabat, sama-sama kita diskusi politik. Saya ditawari jadi PNS eh umur saya ketuaan hahaha….Ya sudahlah….
Menulis di Kompasiana membawa banyak kesegaran baru. Kerap kita memperoleh apa yang selama ini mungkin belum pernah terbayangkan sama sekali.
Saya sudah menulis dua buku tentang Bahasa Inggris Untuk Peluat, tentu oleh karena keaktifan menulis dan merangkum tulisan-tulisan saya di Kompasiana. Saya juga ikut andil menyumbang dua tulisan dalam Buku Ahok Untuk Indonesia tentu juga adalah berkat Kompasiana. Menyumbang tulisan di buku kolaborasi Kami Tidak Lupa Indonesia adalah juga berkat Kompasiana. Ini semua tentulah adalah berkat yang tak ternilai harganya. Sama sekali melebihi nilai uang. Bahkan pun melebih nilai dollar yang seakan sudah membuat rupiah kita semaput. Melebihi semuanya itu. Oh, pokoknya tidak bisa dinilai dengan uang lah. I am proud to be a writer. I am proud to become kompasianer.
Pada suatu kesempatan lain, saya juga pernah diminta menulis tentang Indonesia oleh sebuah majalah luar, katanya oleh karena mereka sempat membaca beberapa tulisan wisata saya di Kompasiana (sudah pernah saya tuliskan di Kompasiana ini). Saya heran, ah masak sih mereka ngerti bahasa Indonesia, kan saya nulisnya pake bahasa Indonesia. Ooh jangan-jangan mereka tertarik lihat fotonya doang hahaha…Tapi kesempatan itupun saya ambil juga, yah itung-itung buat promosiin keindahan Indonesia juga bukan?
Berkat kompasiana juga saya mendapat berkat lain yaitu diundang tampil di Kompasiana TV (di Kompas TV) beberapa kali. Terakhir kemaren malam kalau nggak salah, hanya saja pas sudah siap-siap online, utak atik sana sini eh server di kantor mati tanpa sebab yang jelas. Wah, akhirnya nggak jadi on-air. Minta maaf sedalam-dalamnya buat Mas Alvin di Kompasiana TV yah karena janji saya tak bisa tertepati oleh karena server yang mogok kerja, padahal sudah saya bayar internetnya penuh buat satu bulan. Sesungguhnya topik diskusinya amat menarik: Tentang dubes-dubes saat ini yang katanya adalah bekas-bekas relawannya Jokowi. Terus kenapa? Anak-anak muda bilang: So what gitu loh!
Ada beberapa tulisan saya di Kompasiana juga yang ternyata dipakai sebagai bahan skripsi oleh mahasiswa tingkat akhir. Ada juga yang hanya sekedar mengambil kutipan-kutipan motto hidup saya. Tidak soal, yang penting kita harus terus membagi berkat kepada semakin banyak orang, selagi kita bisa. Kalau tidak bisa lewat hal-hal lain, umpamanya lewat materi dan atau harta, maka berbagilah lewat tulisan. Sesederhana itu. Write something good for your readers.
Saya juga bersyukur dapat mengenal Kang Pepih dan Mas Isjet, penemu dan motor di Kompasiana ini. Tentu juga ada Mas Nurul yang sudah pernah bertemu di acara peluncuran Buku Ahok Untuk Indonesia. Saya sudah sempat foto bareng dengan Kang Pepih dan Mas Isjet, tapi belum pernah foto sama Mas Nurul dan staf Kompasiana lainnya.