[caption caption="Masikah hukuman mati diperlukan? (Sumber gbr: www.amnesty.org)"][/caption]
Hukuman mati merupakan sisa peninggalan bangsa barbar, yang kini masih saja melekat dalam kehidupan masyarakat beradab. Diskusi tentang hukuman mati pastinya akan terus ada, selama hukuman itu masih tetap ada. Banyak pendapat menyatakan bahwa hukuman ini sebetulnya amat tidak bermoral, kendatipun masih lumayan banyak yang mendukungnya. Hukuman mati pada kenyataannya hanya akan memunculkan sebuah siklus irasional pembunuhan demi pembunuhan yang hanya dapat memuaskan dendam pribadi dari keluarga korban, tentu saja dengan tetap mengambil prinsip barbar hukuman mati.
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang ini, yang mungkin saja sudah terbukti bersalah, adalah orang-orang yang pantas dan memang harus dihukum. Putusan bersalah tidak menjadi masalah dalam perdebatan tentang hukuman mati, akan tetapi yang lantas kemudian menjadi soal adalah menghukum orang bersalah dengan cara membuatnya mati. Ini persoalannya. Padahal salah satu fungsi rumah tahanan, atau penjara adalah 'menyadarkan' dan membina pelaku kejahatan, apapun kejahatannya itu, bukan mengambil nyawanya. Mestinya bikin para penjahat ini kapok dan lalu bertobat, bukan membuatnya mati dan lalu dikuburkan.
Banyak yang mengatakan bahwa yang paling pantas dihukum mati adalah para gembong dan pengedar narkoba kelas kakap. Karena apa? Karena katanya mereka itu dapat saja mengedarkan narkoba dari bilik jeruji besi, kendatipun sudah dihukum seumur hidup. Mereka sangat berbahaya. Jadi pilihan hukuman matilah yang paling tepat. Namun tetap saja masih ada ruang perdebatan di sana. Di luar konteks agama, maka tetap patut dipertanyakan menghukum mati napi-napi 'sangat berbahaya' tersebut.
Katakanlah mereka masih bisa mengedarkan narkoba dari dalam penjara, melalui sindikat narkoba yang sangat terorganisir. Kalau mereka masih bisa seperti itu, ya bisa jadi oleh karena mereka itu 'bermain' atau kerjasama dengan polisi atau sipir penjara. Mana mungkin kalau misalnya mereka dipenjara secara ketat tanpa HP dan fasilitas apapun, terus masih tetap dapat 'bekerja' dari dalam penjara? Non sense itu. Penjarakan mereka seumur hidup dan isolasi secara ketat, maka tidak mungkin mereka berkutik di sana. Jadi dalam hal ini yang patut dipertanyakan adalah para petugas di seputaran penjara itu. Narkoba kan itu berurusan dengan 'uang gede'. Siapa yang tak terpikat bila sudah disodori di depan mata? Yang mesti diawasi dan dijaga adalah justru orang-orang di luar terali besi itu. Tanpa bantuan mereka mustahil penjahat itu berkutik dari balik sel.
Hukuman mati secara agama mungkin juga masih bisa dipelintir ke wilayah abu-abu. Tetapi satu hal yang pasti, tidak ada satu manusia yang berhak mencabut nyawa manusia lain. Ini berlaku universal dan lintas pemahaman. Hanya Tuhan Sang Pencipta dan sang pemberi nafas kehidupan itulah yang berhak mengambil nyawa seseorang, kembali kepadaNya.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan bahwa, ternyata praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Para pendukung hukuman mati menganggap kejahatan berat memang pantas dihukum mati, dengan alasan keadilan dan juga supaya menciptakan efek jera. Argumen itu juga masih belum pas, sebab rasa keadilan bisa saja terpenuhi dengan menjatuhkan hukuman penjara maksimal kepada si pelaku. Hukuman mati juga tidak menimbulkan efek jera.
Di Eropa yang tidak menerapkan hukuman mati justru terbukti tingkat kejahatannya rendah. Sebaliknya negara yang masih menerapkan hukuman mati, tingkat kejahatannya sangat tinggi, termasuk di Indonesia. Jadi tidak ada korelasi serta dampak jera yang signifikan dengan adanya penerapan hukuman mati. Kalau demikian, lalu mengapa tetap dipertahankan? Entahlah.
Banyak negara sudah melakukan abolisi atau menghapus penerapan hukuman mati. Itu betul. Oleh karena kalau penjahat-penjahat tertentu dihukum mati sementara di sisi yang lain, malah justru ada banyak penjahat yang dibebaskan bersyarat, sehingga dalam hal ini maka ruang-ruang pidana dan etalase hukum lalu kemudian menjadi nihil keadilan. Koruptor itu sangat pantas juga dihukum mati apabila penjahat tertentu lainnya dapat dihukum mati, dengan memakai alasan apapun untuk sebuah pembenaran. Ada sebuah kutipan ujar-ujar klasik yang berbunyi, "Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan."
Dunia pertama kali menentang Hukuman Mati bermula pada tahun 2003. Acara penentangan ini diprakarsai oleh “Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati”, yang mengumpulkan banyak organisasi internasional non-pemerintah (LSM), asosiasi-asosiasi, serikat pekerja dan pemerintah daerah dari berbagai belahan dunia.
Nah, pernah suatu ketika Presiden Mongolia menyatakan, "Mayoritas negara-negara di dunia telah memilih untuk menghapuskan hukuman mati. Kita harus mengikuti jalan ini ", lalu Presiden Mongolia bernama Tsakhia Elbegdorj itu pun akhirnya menolak untuk menandatangani perintah lebih lanjut dalam rangka mengeksekusi narapidana di negaranya. Sudah puluhan negara yang menghapuskan hukuman mati. Bagaimana dengan empat negara terpadat penduduknya, Cina, Amerika, India, dan Indonesia? Semakin padat sebuah negara maka akan semakin mungkin terjadi banyak kejahatan, banyak hukuman, dan bisa jadi banyak kematian.
Para pendukung hukuman mati berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati masih jauh lebih manusiawi daripada hukuman penjara seumur hidup, oleh karena katanya penjara seumur hidup itu kejam dan menyebabkan penderitaan yang tidak semestinya. Mereka berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati adalah cara tercepat dan paling efisien untuk menangani penjahat kelas berat. Benarkah demikian? Ingat, ini bicara nyawa manusia, bukan seekor kucing tua. Sungguh tidak masuk akal pendapat yang menyatakan bahwa kematian oleh listrik, suntikan, dan peluru adalah "lebih manusiawi" daripada dipenjara lama, atau seumur hidup.
Hukuman mati itu justru tidak manusiawi. Itu sama saja dengan merampas hak hidup seseorang, bilapun ia sudah bersalah dan disebut sebagai penjahat besar. Hidup dan mati seseorang tetap ada di tangan Tuhan. Hukuman mati sebenarnya adalah bentuk penyiksaan terselubung, oleh karena itu adalah instrumen untuk mencabut seseorang dari hak mereka, yaitu hak untuk hidup. Ini tentu saja akan menyiksa mereka sebelum benar-benar mati, dan juga menyiksa seluruh keluarga yang akan dia tinggalkan. Apapun alasannya, bukankah setiap orang masih tetap punya 'second chance' dan kesempatan bertobat?
Jadi, bagaimana dengan Anda? Setujukah Anda dengan hukuman mati?
“In any case, frequent punishments are a sign of weakness or slackness in the government. There is no man so bad that he cannot be made good for something. No man should be put to death, even as an example, if he can be left to live without danger to society.” ― Jean -Jacques Rousseau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H