Setelah 20 tahun perjuangannya, berkampanye, berpidato di sana sini, lalu juga usaha-usahanya membawa legislasi anti slave trade ke parlemen yang pada saat itu selalu gagal, akhirnya bill yang ia presentasikan kembali pada tahun 1807 disetujui oleh Parlemen Inggris. Keringat lelahnya terbalas sudah. Perjuangan panjangnya akhirnya menuai hasil. Bill yang menggolkan upaya menghentikan perdagangan budak di Kerajaan Inggris Raya untuk selama-lamanya akhirnya diterima parlemen. Usaha panjang dan sabar dari seorang William Wilberforce ini patut mendapat apresiasi besar. Ia adalah pahlawan. Ia adalah pahlawan anti perbudakan. Maka tidak berlebihan kalau film ini mendapat empat bintang (four stars) dari The New York Observer.
Menurut data yang dimuat di website Box Office Mojo, Amazing Grace tercatat masuk sebagai 10th-highest grossing film for the weekend, pada peluncuran perdananya. Pendapatan kotornya sebesar $21,250,683 dan itu hanya untuk Amerika Serikat saja (data Juni 2007). Lalu menjadi Worldwide box office pada August 2007 pun diraih film ini dengan meraup keuntungan $32,050,774. Angka yang sangat fantastis pada saat itu tentunya. Film itu banyak ditonton orang. Ada jutaan orang menontonnya secara bersamaan. Kenapa demikian? Tentu karena isi dari film true story ini begitu menggugah dan membuat banyak mata ingin menyaksikannya. Sama halnya dengan film yang diangkat dari kisah nyata lainnya berjudul Titanic yang sungguh luar biasa tingkat penjualannya.
Tapi saya masih tetap penasaraan, apakah yang menonton film Amazing Grace tersebut memaknai benar content yang terkandung di dalamnya? Kemudian apakah semua yang menyaksikan film ini lantas serempak mengambil hikmah sarat makna yang ada di dalamnya untuk dipraktikkan dalam hidup kesehariannya? Atau hanya sekedar menjadi tontonan biasa belaka?
Isi di sepanjang film ini menggambarkan tak habis-habisnya adegan perjuangan panjang orang-orang yang sangat menghormati arti kemanusiaan. Perjuangan yang tulus dari William dan kawan-kawannya. Bahkan kedekatannya dengan Perdana Mentri waktu itu tidak lepas dari usaha dan upaya memperjuangkan anti perbudakan dan anti perdagangan budak. Ia menjadi begitu dekat dengan perdana menteri bukan untuk tujuan pribadinya, bukan untuk kekayaan dan ketenarannya. Ia dekat dengan sang Perdana Menteri adalah demi perjuangannya bagi nilai-nilai kemanusiaan. Ia berjuang supaya perbedaan tidak dijadikan senjata untuk memberlakukan orang lain lebih rendah derajatnya.
Pernah dalam salah satu “kampanye” di atas bekas kapal bernama “Madagascar” yang waktu itu sudah menjadi tempat kunjungan turis, nah ketika para turis yang kebanyakan adalah para bangsawan sementara tertawa-tawa dan bersenda gurau di sana, tiba-tiba William muncul tepat di depan mereka. Para turis itu jadi kaget. Lalu apa yang ia katakan saat berdiri di hadapan para turis yang lagi berkunjung ke kapal bekas itu? William dengan berapi-api mengatakan bahwa “…..Remember the Madagascar, remember that God made men equal”. Ingat kapal Madagascar ini, maka ingat juga bahwa Tuhan menciptakan manusia sama (baca: setara).
Di mata Allah, semua manusia ciptaanNya adalah sama. Tidak pernah Tuhan mengatakan bahwa satu lebih mulia, dan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ia kemudian melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa di kapal tersebut pernah ada sekitar 600 orang, yaitu laki-laki, perempuan dan anak-anak yang hendak berlayar ke Australia. Lalu apa kemudian yang terjadi dengan mereka itu? Sungguh sangat disayangkan, bahwa mereka yang sampai ke tujuan ternyata hanyalah setengah dari jumlah tersebut. Setengahnya lagi mati dalam perjalanan. Baik yang mati karena sakit penyakit, pun juga yang mati oleh karena dirantai dan dipukuli secara sadis. Mereka mati karena disiksa dan dihantam secara kasar dan tak berprikemanusiaan. Juga banyak yang mati oleh sebab rasa lapar dan dahaga yang amat sangat. Selesai William berucap, terlihat para turis mendekap mulut dan hidung mereka dengan sapu tangan. Nampak jelas kesedihan mendalam di setiap wajah mereka. William langsung mengatakan begini, “Jangan! Singkirkan sapu tangan itu dari wajah kalian. Jangan tutup wajah kalian. Hiruplah udara ini. Bau kematian inilah yang seharusnya membuka mata kita, dan hati kita semua terhadap apa yang dirasakan para budak belian itu!” Orang-orang yang seharusnya tercipta equal tapi diperlakukan dan diperjual-belikan laksana hewan sembelihan. Seakan bukan manusia yang punya hati dan punya harga diri. Seolah hanya sampah belaka. Atau pun semata hanya seperti ayam potong, yang dapat dijual kapan saja sesuka hati penjualnya. Laksana sapi perah yang nilainya amat rendah. Sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Seusai William berpidato lantang, semua turis terdiam, mereka terhenyak dan sontak kaget, banyak yang meneteskan air mata tanpa henti. Mereka bersedih dengan hati miris terpukul dahsyat.