Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapal Madagascar - "Amazing Grace"

29 Juli 2015   15:33 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:20 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


"Remember the Madagascar, Remember that God made men equal" (William Wilberforce).

Kalimat itu diucapkan William dari atas bangkai kapal Madagascar. Bangkai kapal yang memuat ratusan budak untuk diperjual-belikan. Madagascar adalah kapal perbudakan (slavery ship) yang amat mengerikan. Menurut catatan historis, kapal itu suatu ketika sedang berangkat menuju Australia namun tiba-tiba hilang secara misterius. Hilang begitu saja, dan tak ditemukan jejaknya sama sekali. Tidak diketahui pasti keberadaannya. Tak tahu di mana rimbanya kapal itu berada.

 

Adalah sebuah film garapan sutradara Michael Apted (bukan Michael Sendow tentu saja) berjudul “Amazing Grace” yang begitu menyentuh dan membuat penonton tertegun lalu menjadi sedih tatkala menontonnya. Sedih oleh karena betapa tidak berharganya manusia ketika dirinya bisa diperjual-belikan sebagai budak belian. Sangat tidak manusiawi dan sungguh tidak beradab. Saya sudah menonton film itu berulangkali, tapi tak pernah bosan untuk menontonnya kembali. Film yang benar-benar menggugah hati nurani setiap kita. Hati nurani kita yang masih bernama manusia, dan bukan sebangsa hewan liar.

 

Film ini memang produksi lama ( sekitar tahun 2006) tapi kisahnya diangkat dari true story dan menurut saya tak akan pernah lekang dimakan zaman. Sebab sampai detik ini perbudakan, rasisme dan kawan-kawannya masih terus bermunculan dalam berbagai bentuk metamorfosis. Dari yang masih begitu vulgar sampai kepada yang sudah dibungkus halus. Tapi memang saat ini sudah tidak sekentara pada masa itu.

 

William Wilberforce adalah sosok yang mengagumkan. Ia selalu mengajukan pendapat-pendapatnya, buah pikiran dan ide-idenya tentang anti slavery (anti perbudakan) melalui Parlemen Inggris. Cerita nyata ini terjadi pada tahun 1780-an. William yang sangat populer di Member of Parliement (MP) selalu mengangkat isu yang sangat sensitive kala itu, yaitu perdagangan budak (slave trade). Isu tersebut selalu diangkat, disuarakan, dibawakan dalam sidang-sidang di setiap tahunnya, dan juga diperjuangkan melalui berbagai kampanye anti perbudakan. Karena itulah ia akhirnya justru berbalik menjadi tidak populer di kalangan anggota parlemen saat itu, karena ia berbeda. Ia memperjuangkan sesuatu yang di luar pandangan kebanyakan orang putih saat itu. Namun William tidak perduli apakah ia akan dibenci atau akan disukai parlemen. Itu bukan tujuan akhir yang ia perjuangkan. Ia tidak peduli ketenaran, sebab yang ia perjuangkan adalah nasib manusia yang menjadi budak belian tersebut. Nasib orang-orang yang diperlakukan setara dan tak lebih dari seekor hewan pada waktu itu. Nasib orang-orang yang harga diri mereka telah diinjak-injak dan tidak mendapat tempat lagi untuk dijuluki ‘sesama manusia’ oleh kalangan superior saat itu. Orang-orang hitam dan orang-orang kulit berwarna yang selalu menjadi budak orang kulit putih. Setiap tahun ia mengangkat isu yang sama, tapi setiap tahun pula ia gagal. Saat itu, suaranya hanya mendapat dukungan sangat sedikit. Melihat adegan itu, saya pun jadi berpikir, bahwa bukan main ironisnya, dalam urusan memperjuangkan kebaikan dan kebenaran kok bisa-bisanya selalu jadi yang minoritas dan menjadi tidak populer yah?

 

Nah, suatu ketika pada sebuah titik, dia sampai sudah pada batas frustasi yang amat sangat tak tertahankan, dan mengakibatkan ia pun jatuh sakit. Ia harus meminum obat dokter secara terus menerus dalam kurun waktu begitu lama. Ketergantungan obat menjadikan ia menderita lebih parah lagi. Rasa lelah yang luar biasa selalu menghampiri dirinya. Physically ill dengan mengidap colitis kronis menjadikan William sudah tiba diujung keputusannya. Keputusan yang bisa jadi oleh karena didorong keputusasaan yang menumpuk. Keputusan yang menyeruak muncul karena keputus-asaan yang membuncah tak terbendung, yang lantas mendorong ia untuk mundur saja dari dunia politik serta menyudahi perjuangannya melawan slave trade. Ia putus asa dan benar-benar ingin menyudahi semua perjuangannya. Ia berpikir, bahwa semua perjuangannya toh tidak akan pernah berhasil, apapun bentuk kerja keras yang selama ini sudah dia buat. Akan tetapi, setiap kali ia berusaha melupakan semua usaha dan perjuangannya, selalu saja ada mimpi buruk yang datang menghantuinya tiap malam dalam setiap tidurnya. Hingga suatu ketika bertemulah ia dengan Barbara Spooner, dan wanita itulah yang berhasil mengembalikan semangat serta kepercayaan dirinya untuk terus berjuang. Wanita yang di kemudian hari menjadi istrinya inilah yang selalu dengan setia menopang William, hingga kelak berhasil dalam upaya dan usahanya tersebut.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun