Walaupun diterpa teriknya panas mentari, mereka bekerja dengan semangat tinggi dan tanpa pamrih. Pemilik rumah atau kebun cukup menyediakan air putih dan makan siang untuk mereka. Warga terlihat bahu-membahu mencari kayu, serta bahan bangunan lainnya seperti batu dan pasir untuk membuat rumah panggung contohnya.
Hal yang sama juga terlihat ketika mereka bekerja menggarap lahan. Dengan antusiasnya secara bersama-sama mereka bahu-membahu (shoulder to shoulder) membersihkan lahan dari ilalang atau tanaman-tanaman pengganggu lainnya. Lahan yang sudah bersih kemudian dicangkuli sehingga siap untuk ditanami bibit pohon kelapa, jagung, kol, tomat, dan lain sebagainya.
Rumus wajib yang sudah membudaya dalam mapalus itu sendiri adalah bahwa setiap anggota kelompok (mapalus) tani terikat untuk saling membantu. Warga yang telah memiliki rumah atau tergarap kebunnya pada kesempatan lain wajib membantu sesama anggota lainnya yang sekiranya baru akan mulai membangun atau menggarap lahan. Nilai-nilai yang terkandung dalam kerja mapalus tersebut sudah diajarkan oleh tokoh pahlawan nasional Sam Ratulangi. Mapalus jaman modernpun rasa-rasanya masih tetap relevan dengan falsafah hidup tumou tou tersebut.
Memang sejak awal, ketika Sam Ratulangi baru akan merantau ke Jakarta di sekitar tahun 1907, falsafah yang berarti ”memanusiakan manusia” itulah sudah berulangkali disampaikan ayahnya, Jozias Ratulangi. Ayah Sam Ratulangi berpesan agar supaya dirinya harus selalu mengamalkan ilmu yang diperoleh kepada orang lain. Agar supaya memanusiakan manusia itu terwujud lewat sikap, tindak tanduk, prilaku dan perbuatan, tidak hanya terucap manis lewat perkataan semata.
Keinginannya untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sangatlah kuat. Karena keinginannya yang besar tersebut, serta rasa cinta tanah airnya yang besar mendorong beliau pulang kampung dan bekerja membesarkan kampung halaman. Tapi kenyataan di lapangan membuat Sam Ratulangi terkejut dan sedih. Ia mendapatkan kenyataan pahit bahwa sikap persaudaraan dan tolong menolong di kalangan warga Minahasa mulai mengendur akibat terkontaminasi dengan berbagai kepentingan kolonial dan beberapa gerakan nasional. Ia akhirnya menyempurnakan falsafah Tumou tou menjadi Sitou timou tumou tou. Artinya, manusia hidup untuk memuliakan (memanusiakan) manusia yang lain.
Nilai yang ditanamkan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh gubernur Sulawesi pertama itu ternyata cukup efektif mendorong perkembangan pendidikan di Sulut. Pada periode tahun 1960- 1970 Tomohon sempat menjadi pusat pendidikan dengan munculnya sekolah guru, seminari, dan perguruan tinggi, termasuk Universitas Kristen Indonesia Tomohon pada tahun 1964.
Dr. Sam Ratulangi memang seorang pahlawan nasional. Sumbangsih pemikiran dan hasil karyanya begitu dirasakan masyarakat banyak. Tidak hanya bagi Minahasa, kampung halamannya, tapi juga bagi Indonesia. Semoga nilai-nilai yang ditinggalkan beliau dapat terus diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
(Michael Sendow)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H