Menjadi Penulis Emosioner atau Misioner?
[caption id="attachment_136214" align="aligncenter" width="639" caption="Bagaimana cara Anda mempengaruhi pembaca lewat tulisan dan atau komentar Anda? (Stockphoto)"][/caption]
Ada yang mengatakan ‘menulislah selagi masih bisa’. Yang lain berujar ‘menulislah biar tak ada yang mau membacanya’. Yang lain tak mau kalah, ‘menulislah dengan hati’. Di seberang sana terdengar bisikan, ‘Ooh jangan! Jangan pakai hati tapi pakailah otakmu!’ Tapi ada pula yang bilang ‘Aah buat apa menulis kalau kau sendiri tidak tau apa yang kau tulis’. Nah, menurut Anda sendiri apakah menulis itu?
Ooh apakah menulis sekedar menuangkan ide menjadi tulisan. Merangkai kata menjadi suatu kalimat yang enak dibaca dan lezat ditelan? Ataukah menulis demi kepuasan batin semata, cukuplah menulis untuk dibaca sendiri, dikomentari sendiri dan tertawa-tawa sendiri memelototi tulisan kita sendiri? Ha ha ha kalau yang terakhir itu lucu juga sih. Tidak salah memang, tapi rada aneh dan ganjil kalau menulis di media online seperti Kompasiana ini untuk supaya ‘hanya’ buat dibaca sendiri. Lalu apa intisari menulis? Utamanya menulis di media online, media cetak, atau semua yang berbasis “untuk dibaca publik” atau “untuk dilihat umum”? Tentu semua punya persepsi masing-masing untuk hal itu. Apakah kita penulis yang gemar menabur sesuatu yang bermanfaat, menarik, inspiratif dan aktual, ataukah kegemaran menulis kita adalah untuk menyerang, meresahkan, merusak tatanan, membunuh karakter, menikam pribadi orang? Semuanya tergantung masing-masing. Tentu kita punya “freedom of choice”.
Aha, ini tentunya seru! Serunya bukan karena saya memakaikan tanda seru di situ(!), tapi ini memang seru karena berbicara mengenai karakter dan tabiat menulis yang sudah barang tentu meliputi let say ribuan atau jutaan jenis dan sifatnya. Tidak gampang diprediksi dan mengartikan isi otak, isi pikiran dan pemahaman, ide-ide dalam suatu isi tulisan yang tersaji. Satu hal yang pasti, kita tidak bisa me-rem apa anggapan orang terhadap tulisan kita, tapi kita bisa me-rem atau mengkontrol tulisan kita. Dengan sendirinya, kita bisa mengatur dan mengarahkan ke arah mana anggapan itu akan bermuara. Positifkah atau sebaliknya?
Mari kita menyelam lebih dalam lagi. Motif setiap orang untuk menulis (termasuk berkomentar) tentu berbeda-beda. Kalau boleh saya berkata agak lancang sedikit, bahwa tidak ada satu penulis pun yang menulis tanpa motif. Apapun itu. Coba, siapa diantara kita yang menulis tanpa motif, angkat kakinya hayo? Terkecuali kita sudah jadi mayat. Lalu seperti apakah kita memandang penulis dan pemberi komentar yang isinya selalu mengeritik dan mengeritik dan mengeritik terus kerjaannya, dengan lancangnya memaki kiri-kanan, menghujat, menyerang pribadi, tapi TIDAK pernah memberi solusi, jalan keluar, saran yang membangun, atau masukan-masukan? Lalu apa motifnya menulis atau memberi komentar? Demi kepuasan pribadi kah atau demi apa? Aaah tak taulah….
Penulis Solusioner dan Visoner.
Dalam menulis tentu saja memerlukan emosi. Tingkat emosi dalam membuat tulisan kita menjadi menggigit dan bernyawa tentu berbeda-beda, diksi yang dipakai pun tak selalu sama dan setara serta sebangun. Berbeda-beda. Kalau kelebihan emosi bisa jadi tulisannya bukan lagi sekedar menggigit tapi sudah ‘melukai’, giginya sudah berubah menjadi taring persis Dracula atau Vampire. Sebaliknya kalau tak menggigit sama sekali, pastilah akan persis bayi yang menyusui, giginya belum tumbuh benar. Tulisan kita hanya seperti menggelitik doang. Lha, kalau begitu bikin yang pas dong yah? Gimana caranya dong?, terserah masing-masing aja deh.
Kalau saya sih hanya punya sedikit usulan. Ini karangan saya semata, kalau tidak suka ya jangan ditelan, dikumur-kumur aja sudah lebih dari cukup. Menulis dengan emosi perlu, tapi jangan menjadi penulis emosioner (istilah saya), artinya segala sesuatu disikapi dengan emosi berlebihan. Berkomentar ini dan itu emosi, membalas komentar pun dengan emosian, bahkan bikin tulisan tandingan lebih emosi lagi dan bla..bla..bla. Tapi hendaklah kita menjadi penulis yang misioner (memiliki misi) untuk kebaikan diri kita dan juga pembaca lainnya.
[caption id="attachment_136216" align="alignright" width="300" caption="Menulis yang baik adalah manakala tulisan itu memunculkan sensasi bagi setiap pembaca. Contohnya, bukan mengatakan faktanya bagi pembaca bahwa hari ini lagi hujan, tapi bagaimana memunculkan perasaan pembaca untuk merasa seperti lagi turut mandi hujan. Mereka merasa lagi kehujanan. Itulah sensasi yang dimunculkan."][/caption] Lalu apa tanda bahwa kita adalah penulis atau kalau di sini sebagai kompasianer yang memiliki misi (misioner)? Tentu akan terlihat ketika yang kita tulis ada azas kemanfaatannya. Dalam berkomentar serta mengkritik pun terlihat solusi yang kita berikan. Menjadi kritiksioner itu gampang, yang susah adalah menjadi tukang kritik yang solusioner (pemberi solusi). Sanggup mengeritik tapi tak sanggup memberi solusi ibarat memarahi anak karena tidak tau membaca, padahal diri sendiri juga lebih tidak tau membaca. Memarahi anak memegang uang, padahal ia sendiri tidak tau apa fungsi uang. Kalau para penulis kritiksioner tapi tak mampu memberi saran, solusi dan masukan maka akhirnya hanya akan nampak sebagai sinisioner (penulis/pemberi komentar yang berlandaskan kesinisan) semata. Jadilah penulis visioner, yaitu mereka yang memiliki visi jelas. Bukan visi untuk menghancurkan tapi visi untuk memberi solusi, memberi saran, memberi masukan, menghibur, bermanfaat, memberi inspirasi, dan tentu masih banyak lagi.
Wibawa tulisan kita terletak pada sejauh mana ia membawa dampak bagi yang membacanya. Entahkah dampak negative atau positive yang (akan) bermunculan semuanya tergatung kita yang menulis. Sekali lagi, ini semua penting karena tulisan kita dibaca banyak mata, ditelan banyak mulut, didengar banyak telinga, dan dipahami banyak otak. Oleh sebab itu menjaga setiap tulisan dan atau komentar kita adalah suatu keniscayaan. Bukankah kalau kamu ingin dihargai maka hargai juga orang lain? Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan.
Lho, tapi kalau hanya menulis di diary sendiri, atau cuma menulis dalam hati doang? Hanya untuk komsumsi diri sendiri? Yah, monggo…terserah kowe lah mau nulis apa pun juga. Mau memaki-maki pun terserah, maki-makilah diri kowe sendiri. Tapi ingat, itu juga akan berdampak buruk pada kesehatan mental si penulis. Kowe sendirilah yang akan merasakannya. Jadi menulis untuk diri sendiri juga kudu hati-hati lah…Seorang kakek dari negeri Paman Sam bilang “Be Careful lah yauw.”
So, what’s next? Up to you lah….!
“Pikirkan kembali tujuan menulis untuk dibaca umum. Jangan-jangan tulisan kita ternyata bertujuan hanya untuk 'membunuh'. Menulis bisa dijadikan alat pembunuh yang efektif. Tapi menulis juga bisa dijadikan alat penumbuh cinta yang efektif.”----Michael Sendow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H