Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siap Meraih Gelar Doktor dengan Mata Yang Buta

3 Oktober 2011   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siap Meraih Gelar Doktor Dengan Mata Yang Buta.

“Dalam masyarakat majemuk terdapat tempat bukan hanya untuk orang yang sama dengan kita, melainkan untuk orang yang berbeda juga, seperti para penyandang cacat dan penyandang kelainan. Masih banyak yang menyebut mereka sebagai disabled person, yang berarti orang yang tidak sanggup. Itu keliru, karena sesungguhnya mereka bukanlah disabled tapi diffable (different ability person), yaitu orang-orang dengan kesanggupan berbeda.”

[caption id="attachment_134705" align="aligncenter" width="450" caption="Veronika Laetitia AKA Mimi. (FOTO FEDRIK TARIGAN/JPNN)"][/caption]

Terlahir dengan nama lengkap Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli, atau lebih dikenal dengan panggilan Mimi, sosok yang satu ini telah menjadi wanita yang patut ditiru dan diteladani. Ia adalah pejuang hidup yang gigih dan pantang menyerah. Kalau Anda yang belum mengenalinya dan kebetulan bertemu dengannya mungkin sekali Anda pun tidak menyangka bahwa ia sebenarnya adalah seorang tunanetra. Ia berpenampilan sebagaimana layaknya seorang wanita normal dan ketika berbicara seakan-akan ia sedang memandangi lawan bicaranya.

Wanita yang lahir 17 Desember 1962 ini sudah kehilangan penglihatannya sejak usianya baru menginjak 10 tahun, masih dibangku Sekolah Dasar, tepatnya di kelas V SD Candranaya. Kenapa ia sampai mengalami kebutaan? Menurut catatan, ia mengalamai apa yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai retinitis pigmentosa sebuah penyakit genetis, ada juga yang menyebutnya sebagai degenerasi retina. Kabarnya penyakit ini dapat menurun secara genetic. Nah, ini dapat menyebabkan degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap. Pertama-tama pandangan atau kemampuan melihat Mimi mulai mengabur, semakin lama semakin parah, hingga akhirnya pada usianya yang ke 17 ia benar-benar kehilangan indra penglihatannya. Rupa-rupanya pada saat Sweet seventeen ia malah mendapat ‘hadiah’ kehilangan indra penglihatan. Tapi yang luar biasa, semangat juang, harapan dan perjuangannya tak pernah pupus atau menjadi kendor karena kebutaannya. Ia menjalani semuanya dengan syukur dan pantang menyerah. Baginya tak ada kata kalah dan menyerah.

[caption id="attachment_134706" align="alignright" width="300" caption="Meraih gelar demi gelar kesarjanaan bukanlah kemustahilan baginya, meskipun indra penglihatannya tidak berfungsi. (Pic: www.Indonesianproud)"][/caption] Lihatlah, betapa keadaan cacat tubuh yang dideritanya, kebutaannya tidak pernah menyurutkan niatnya untuk menimba ilmu dan menggapai sukses demi sukses.Setelah menyelesaikan pendidikan setara SMP di Malang pada tahun 1982, Mimi melanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985). Gelar sarjana pun akhirnya diperoleh empat tahun kemudian di IKIP Sanata Dharma, Jogya. Masih belum cukup, ia pun mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia dan lulus tahun 1997. Sekarang ia mengejar gelar Doktor di Faculty of Earth and Life Science, Vrije Universiteit, Amsterdam. Luar biasa.

Keseriusannya bersekolah membuat Mimi pernah memperoleh beasiswa dari British Council ketika hendak menyelesaikan studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris. Setelah itu ia juga sempat menjadi satu-satunya dosen tunanetra di Universitas Atmajaya, Jakarta. Karirnya di dunia pendidikan tidak pernah surut dan terhenti. Ia merasa sangat prihatin dengan terhadap tunanetra dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak dapat berbuat apa-apa. Karena berawal dari rasa keprihatinannya itulah Mimi berinisiatif mendirikan sebuah tempat konseling yang ia namai Mimi Institute, yang diberi tagline: Mainstreaming Disability for Better Life.

Lembaga yang ia dirikan sejak tahun 2009 yang lalu itu bertujuan membiasakan atau memperkenalkan anak-anak cacat dan isu kecacatan itu kepada dunia sekitar. Agar supaya lingkungan lebih ramah dan mengerti serta terbiasa terhadap para ABK. Memperkenalkan kepada masyarakat luas agar supaya lebih mengetahui dan memahami bahwa anak-anak cacat ini butuh perhatian dan bukan penghindaran. Bahwa kepercayaan diri dari anak-anak inilah yang harus terus diperjuangkan, bukan malah menumbuhkan perasaan malu dan perasaan bahwa diri mereka berbeda dalam artian negatif.

Menurut data dari Perserikatan Bangsa Bangsa, satu dari rata-rata enam penduduk di hampir tiap negara adalah penyandang cacat atau penyandang kelainan bawaan. Kita mungkin tidak pernah tahu bahwa jumlah penyandang cacat itu sebenarnya begitu banyak, sebab ada kecenderungan bahwa mereka tidak tampil di depan umum. Bahkanada keluarga yang menyembunyikan anaknya yang cacat untuk melindungi dia dari rasa malu. Akibatnya malah anak-anak tersebut betul-betul menjadi malu dan hilang percaya diri.

Padahal banyak data dan fakta juga membuktikan bahwa kesanggupan orang-orang yang cacat ini melebihi kita yang normal pada bidang-bidang tertentu. Mereka bukanlah tidak sanggup, tapi memiliki kesanggupan yang lain. Masih banyak mereka yang duduk di kursi roda lebih pandai dan genius daripada mereka yang berjalan normal, yang tidak memiliki tangan ternyata sangat hebat melukis dengan mulutnya, yang buta sangat brilian menelorkan ide-ide cemerlang yang tak terpikirkan oleh kita, indera mereka terkadang lebih peka dari kita, dan sebagainya. Mereka berbeda dengan kesanggupan yang berbeda pula. Harusnya anak-anak yang tergolong ABK ini dihindarkan dari perasaan rendah diri, justru mereka harus diajarkan untuk tampil percaya diri di depan umum.

Keterbatasan Mimi justru membuat dirinya memiliki banyak teman. Ia terkenal paling rajin dan memiliki kemampuan mengingat (memori) yang sangat tinggi. Sering ia dimintai saran untuk mengerjakan tugas. Tapi Mimi juga tentu saja memperoleh manfaat atas banyak pertemanan yang dimilikinya. Sebab bagaimanapun ia tentu memerlukan juga pertolongan teman-temannya dalam beberapa hal. Pada saat mengerjakan tugas, Mimi harus bekerja tiga kali. Pertama, ia meminta temannya membacakan buku untuknya. Kedua, ia membuat jawaban melalui huruf Braille. Terakhir, ia minta tolong temannya untuk menerjemahkan jawabannya ke huruf Latin.

[caption id="attachment_134707" align="alignleft" width="300" caption="Dengan matanya yang buta ia tetap mampu menatap masa depan yang cemerlang. Kebutaannya tidak menjadi penghalang untuk maju dan terus berkarya. (Pic:www.Indonesianproud.)"][/caption] Nah, ada begitu banyak harapan-harapan besar seorang Mimi. Pendidik dan motivator yang sudah membuka mata banyak orang, termasuk mata kita bahwa menjadi cacat bukanlah keinginan dan harapan setiap insan, tapi cacat juga bukanlah halangan atau rintangan menggapai setiap mimpi dan impian kita. Bagi kita yang sudah diberikan Tuhan tubuh yang normal, katakanlah sempurna untuk ukuran kita, tentu ini menjadi pemicu semangat juang kita. Mimi mengajarkan lewat perjuangannya, bahwa lewat keterbatasan yang ia miliki justru ia sudah melewati ujian demi ujian yang menghadangnya sejak kelas V SD.

Impiannya yang lain adalah supaya pembelajaran cara bersikap kepada ABK tidak hanya berhenti sampai sebatas orang tua. Ia berharap perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa juga bisa mengetahuinya. Misalnya, hotel pada saat menghadapi tamu ABK harus tahu betul bahwa orang tuli butuh senyuman, sedangkan orang buta butuh suara. Jangan perlakukan sebaliknya.

Sosok yang seperti inilah yang patut diteladani. Memang terkadang mereka yang matanya buta cenderung lebih jeli dan peka melebihi yang memiliki mata normal. Ia yang matanya buta memiliki hati yang tidak buta, sehingga perjuangannya demi anak-anak cacat tersebut sangatlah dalam dan penuh kesungguhan. Tentu saja ia menjadi lebih peka, karena ia mengalami dan merasakan sendiri bagaimana menjadi orang yang berbeda, bagaimana menjadi penyandang cacat.

Impian besar Mimi lainnya adalah membuka jurusan disability di universitas. Paling tidak diawali dulu dengan diploma 2 atau 3 seperti yang sudah diterapkan beberapa universitas di Luar Negeri. Akankah itu mewujud? Semoga!

Sumber: Manado Post, United Nations of. Site, www.retinitis-pigmentosa.in, Penyandang Cacat by Dr. Andar Ismail.

Michael Sendow.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun