Polemik Plagiasi Esek-esek Jembatan Ambruk dan Runtuh
[caption id="attachment_146972" align="aligncenter" width="601" caption="Jembatan baru di atas jembatan ambruk. Jangan hancurkan jembatan persahabatan kita, hanya karena berbeda persepsi. (Pic:igougo,com"][/caption]
Hari ini udara yang panas dan cenat-cenut ternyata disambangi angin dan hujan setempat. Di lokasi peristirahatan saya, nampak jelas butir-butir hujan itu merembes jatuh menembus dedaunan dan ranting-ranting pohon rambutan milik tetangga sebelah. Langit sudah tak berawan, terlihat jelas seiring malam yang telah tiba, dan langit di atas sana dipenuhi entah berapa banyak bintang, dan benda-benda langit lainnya. Jutaan? Milyar? Atau pun triliunan? Suat gambaran betapa maha agung dan maha dahsyat Sang Khalik pencipta alam semesta itu. Di saat-saat mengagumi alam semesta ini, serempak saya mengagumi berbagai fenomena yang mengemuka di rumah saya yang lain. Kompasiana.
Pembahasan di Kompasiana satu dua hari terakhir ini luar biasa hangat, dan juga “Hot”. Jelas ada tiga topik hangat yang membuat urat leher penulis maupun yang memberi komentar sepertinya mau putus. Untuk itu, habis membalas komentar, sangat dianjurkan untuk segera tensi darahnya naik seberapa pesat. Nah, utamanya ada dua topik hangat yaitu (lagi-lagi) masalah plagiasi, dan kali ini menimpa seorang kawan kita Kimi Raikko. Kemudian Surat Kepada Admin-nya Mbak Siti yang mempertanyakan dan mempersoalkan (lagi-lagi) masalah esek-esek. Lalu apa hubungannya dengan jembatan runtuh? Sabar dikit napa sih…Hubungannya jelas ada. Dan teramat jelas. Tapi nanti.
Plagiasi yang ditudingkan ke salah satu artikel Kimi Raikko sebenarnya bukan terletak apakah ia melakukan copy paste atau bukan. Jelas-jelas artikelnya berbeda dengan artikal yang serupa di media lain. Jadi bukan copy-paste. Mungkin saja ia melakukan duplikasi content (content duplication?) Bisa ya bisa tidak, tapi ia sudah memberikan atau mencantumkan sumbernya yaitu di-link keReuters. Pertanyaan yang kemudian muncul: Apakah ia sudah mendapat izin dari pihak Reuters (yang katanya mesti dibayar itu)? Secara eksplisit Mas Kimi memberitahu bahwa cara ia mendapatkan sumber informasi itu adalah bukan dari Media Indonesia (MI), ia melihat dari Youtube, kemudian memberikan link Reuters sebagai pembanding semata. Tentu itu sah-sah saja.
Kemudian lagi, konon, bahwa satu-satunya Media Indonesia yang punya license untuk menerbitkan rilisan berita dari Reuters. Kalaupun itu benar, bagaimana kalau kita membaca berita langsung dari Reuters, atau media luar lainnya? Apakah mesti juga minta ijin dan berurusan dengan MI? Lucu dan tidak masuk akal tentunya. Saya banyak menjumpai koran-koran lokal menuliskan sumber berita mereka Ap, CNN, Reuters, dll. Jadi nyatanya mereka tidak mencantumkan MI sebagai sumber berita mereka. Jadi? Yah, tergantung persepsi masing-masinglah, apakah Kimi memplagiasi, menduplikasi, atau mengolah berita dari berbagai sumber. Yang menggelitik adalah, apakah memang hanya Reuters satu-satunya sumber tunggal di seluruh jagat raya ini yang tau berita Blackberry itu? Tapi satu hal yang sangat elegan bagi Kimi, ia memaklumi semua kritikan yang masuk, dan bahkan sampai menghapus tulisannya itu, lalu menulis artikel pernyataan dan tanggapan.
Masalah esek-esek? Asoooooy-nya minta ampun deh!
“Wah, saya paling benci semua hal yang berbau esek-esek! Najis betul semua tulisan-tulisan seputaran selangkangan itu. Yang ada melulu sekwilda dan bupati. SEKitar WIlayah Dada dan BUka Paha TInggi-tinggi.” Kawan saya ngomel tak karu-karuan. Apa pasal? Ia membaca beberapa tulisan di Kompasiana. Saya bilang, “Oh ya?” Dia jawab lagi “He eh!”
Bukankah dari zamannya Adam dan Hawa masalah seks juga sudah lahir dan bertumbuh kembang, bahkan jauh lebih vulgar. Mereka berdua diciptakan telanjang bulat. Dan tanpa sex, tidak mungkin akan hadir keturunan demi keturunan dan manusia bertambah banyak hingga sampai kepada kita saat ini di sini. Apa ada sesuatu yang salah dan keliru dengan seks? Sama sekali tidak. Pendidikan seks sejak dini justru diharuskan supaya anak-anak remaja bisa lebih mengerti. Jadi sebetulnya topik seks bukan sesuatu yang tabu. Penyalahgunaan topik dan objek tentang seks ini mungkin yang sering dan selalu dipertanyakan.
Yang kemudian dipertanyakan Mbak Siti, adalah ketika itu dilempar ke ruang publik dengan bahasa-bahasa yang vulgar,itu menjadi sangat tidak elok, dan dapat merusak akhlak banyak orang. Ia lalu menyertakan beberapa link rujukan. Saya mencoba membaca, memperhatikan, sebenarnya tulisan pada link-link yang diberikan, memang mungkin HOT dari segi judul, tapi isinya tidak ada unsur vulgarisme. Maaf, mungkin persepsi dan batasan vulgar atau tidak itu di setiap batok kepala manusia adalah berbeda-beda. Apakah mungkin maksud Mbak Siti adalah komentar-komentar yang masuk? Sebab dilihat dari segi content tulisan, sepertinya biasa-biasa saja, tidak ada vulgarisme yang mesti diberangus dan dipenjarakan.
Tentu kita tidak boleh menilai sebuah budaya dan atau cara pikir seseorang dengan memakai ukuran tunggal. Dengan memakai ukuran “Apa Yang saya Yakini Baik Menurut Saya.” Tiap pandangan dan cara pikir setiap orang pasti berbeda-beda, bahkan mungkin sangat berbeda. Namun bagaimanapun besar perbedaannya, mereka semua sama seperti kita, yaitu manusia. Mereka adalah sesama manusia, mereka pun membutuhkan perasaan aman untuk berekspresi, diterima dan dihargai. Sesama manusia dan sesama penulis bukanlah (dan tidak harus) orang yang memiliki persepsi dan isi otak yang sama dengan kita. Sederhananya, mereka tidak harus sama dan sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Kompasiana adalah sebuah rumah yang dihuni oleh beragam penulis dengan berbagai latar belakang dan buah pikiran yang berbeda. Hakikat dari rumah ini menjadi sehat, justru bukan terletak pada ketika kita hendak melakukan penyeragaman, tapi manakala kita sanggup dan menghargai perbedaan yang ada. Berbeda itu indah, seberapa besar pun rasa tidak suka kita.
Asal saja bukan tulisan SARA, menurut saya jangan pernah ‘ruang ekspresi’ itu dipasung. Apa jadinya juga kalau ada yang menilai bahwa tulisan politik itu haram jadah, dan ia menuntut keadilan seadil-adilnya supaya Admin meniadakan tulisan-tulisan berbau politik. Langsung hapus. Tombol delete siap-siap ditekan setiap ada tulisan politik yang masuk. Lho, itu persepsi dia, mau apa kita? Jadi kalau kita tidak menyukai tulisan (yang katanya) esek-esek itu. Itu persepsi kita, tidak mesti rasa tidak suka kita paksakan menjadi rasa tidak suka orang lain juga. Masing-masing tentu punya rasa suka dan tidak suka terhadap jenis dan tipe tulisan. Amini saja itu sebagai ‘wilayah internal’ dia sendiri tanpa harus masuk ke wilayah internal penulis atau pembaca lain. Saya kira itu wujud saling memahami perbedaan.
Lalu mana hubungan dengan jembatan runtuhnya? Nah, ini dia. Mungkin semua kita sudah membaca polemik ambruknya jembatan terpanjang di Indonesia itu. Segala macam orang memberi pendapat kenapa jembatan yang baru berusia 10 tahun itu bisa ambruk? Ada yang bilang karena korupsi, ada yang bilang karena ini dan itu, banyak sekali pendapat beredar. Apapun yang mau dibahas, yang jelas satu fakta sudah tak bisa diubah: Jembatan itu sudah ambruk.
Hubungan kita antar penulis dan sebagai sesama kompasianer, sebetulnya tak kurang, adalah sama dengan sebuah jembatan itu. Jangan sampai berbagai polemik dan perbedaan itu akhirnya meruntuhkan jembatan persaudaraan dan pertemanan yang sudah terjalin dan terbentuk. Lebih baik mencegah ambruknya sebuah jembatan, daripada membuat jembatan baru setelah jembatannya duluan ambruk. Sebab faktanya sudah tercatat dalam sejarah. Persahabatan dan pertemanan kita di Kompasiana adalah sebuah jembatan silahturahmi dan saling menerima. Jembatan ini menghubungkan pribadi-pribadi yang berbeda. Betapa menyesalnya kita kalau jembatan itu mesti ambruk ‘hanya’ gara-gara perbedaan persepsi. Semoga tidak.
Salam Hangat,
Michael Sendow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H