Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Validitas Media, Apakah Kompasiana Valid Untuk Rujukan?

25 November 2011   05:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya memiliki pertanyaan besar yang masih membayang-bayangi saya sampai detik ini. Pertanyaan sederhana itu terkadang masih muncul juga. Apakah Kompasiana layak (baca: pantas) untuk dirujuk? Pertanyaan selanjutnya, kalau ia pantas apakah kemudian dengan serta merta ia valid untuk di rujuk? Lalu kalau ia valid untuk dirujuk apakah kevalidan-nya dengan serta merta membeberkan kebenaran fakta dan bukan data palsu?

Beberapa hari yang lalu saya mendapati pengalaman lucu, aneh, unik, mengherankan, menggelikan, dan membuat saya tersenyum masam. Memangnya ada apa? Begini, waktu itu saya mencoba menautkan sebuah pemberitaan hangat di Kompasiana ke Kaskus (bukan kakus yah!) sebanyak dua kali. Yang pertama ditolak, saya coba pada kesempatan lain, eh hasilnya sama, ditolak lagi. Penasaran saya jadinya. Jangan-jangan artikelnya emang tidak layak muat barangkali? Tapi begitu saya lihat pesan di email yang masuk, baru saya sadar bahwa yang tidak layak dan tidak valid (berarti invalid dong yah?) adalah sumbernya. Di sana tertulis kurang lebih…mari kita ciptakan budaya menulis yang kompeten, kredibel dan bla..bla..bla. Sebuah ajakan yang luar biasa positif tentunya. Yang menarik adalah kalimat berikutnya yang menjelaskan kenapa pihak mereka tidak memuat tulisan tersebut. Kalimat itu antara lain berbunyi--- Maaf, tulisan Anda tidak bisa dipublish karena sumbernya tidak valid: Kompasiana.

Pertanyaan saya: Benarkah Kompasiana tidak valid?

Tentu kita tidak bisa menjawabnya semudah membalik telapak tangan. Mestinya harus memunculkan sebuah pertanyaan kritis ini: Apa standart sebuah tulisan valid atau tidak? Bagaimana kita bisa 100% yakin bahwa sebuah sumber tersebut valid atau tidak? Di dunia penerbitan pun pasti pada kenyataannya ada yang sangat valid, setengah valid, dan tidak valid sama sekali. Tapi siapa penilainya? Contoh sederhana, ketika koran-koran lokal mengutip Kompas, lalu Kompas mengutip Antara, kemudian ternyata Antara hanya mengutip dari berita CNN dan kemudian setelah penelusuran lebih lanjut, ternyata CNN mendapatkan sumber beritanya langsung dari seseorang nara sumber di pinggir jalan, berita akhirnya lalu naik tayang. Memunculkan kegemparan dan keheboan. Menjadi berita yang luar biasa aktual. Selidik punya selidik nara sumber tersebut ternyata hanyalah seorang kurang waras (alias orang gila) yang lepas dari RSJ. Ia gila, tapi cerdas dan pintar. Bicaranya seperti orang waras, tapi informasi yang ia berikan ngawur tak karu-karuan. Nah, siapa yang dikemudian hari akan dicap sebagai sumber “TIDAK VALID”? Mungkin setiap orang akan menunjuk hidung si nara sumber pertama (orang gila itu). Lha, kalau menurut saya, emang ia kurang waras mau apa lagi? Yang bego pastinya adalah semua yang melansir pemberitaan tersebut tanpa menelusuri kebenarannya dong yah. Hanya kutip-mengutip dan menaruh kepercayaan 100% terhadap apa yang merka kutip.

Kenyataannya saat ini baik media cetak maupun media online setiap memberitakan sesuatu, mengambil jalan pintas. Kutip mengutip. Walau menuliskan sumber tulisannya diambil dari mana, apakah yang mengutip tersebut yakin seyakin-yakinnya bahwa isi berita tersebut adalah benar-benar fakta di lapangan? Belum tentu!

Kembali ke masalah Kaskus tadi, yang menggelikan dan lucu adalah bahwa mereka mengatakan sumber Kompasiana tidak valid. Tapi di lain kesempatan secara serempak mereka membiarkan pemuatan tulisan copy paste dari Kompasiana secara telanjang bulat tapi tanpa mencantumkan sumber. Bahkan waktu itu ada sebuah tulisan copian dari seorang kompasianer yang menuai puluhan ribu pembaca dan lebih dari 300-an komentar, dibiarkan terpajang di sana. Kenapa sampai demikian? Rasa-rasanya bukan valid tidak validnya maka tulisan yang ada tautannya ke Kompasiana tidak dimuat mereka. Tapi lebih kepada “persaingan bisnis”, dalam artian walaupun secara Ranking Alexa terlihat Kaskus masih lebih unggul dari Kompasiana, tapi tetaplah Kompasiana dianggap sebagai ‘saingan yang bakal menyulitkan’.

Sekarang mari kita menyelam lebih dalam lagi. Apa sebenarnya tulisan yang valid itu? Apakah yang memenuhi unsur 4W+1H atau 5W+1H atau bahkan 6W+1H? Benar sekali, kalau itu reportase berita. Sekarang, kalau reportase wisata, perlukah rumus tersebut diberlakukan? Reportase perjalanan wisata tetaplah adalah sebuah bentuk reportase. Dan tentu tidak membutuhkan rumus W+H tersebut. Artinya kita mereport perjalanan kita. Maka janganlah tutup pemahaman kita secara sempit. Lalu sebuah tulisan opini, tentu saja tidak memerlukan W+H tersebut dan masih boleh untuk tetap dikatakan valid.

Bagaimana dengan Kompasiana? Content di sini tidak semuanya reportase berita, tentu kadar kevalidan tulisan-tulisan yang bukan berita itu adalah tergantung pada sebab-sebab lain. Misalnya saja kompetensi, kepakaran penulis dalam hal apa yang ia tulis, referensi-referensi tulisan, dan masih banyak lagi. Tulisan seorang dokter kandungan tentang bagaimana melahirkan yang baik tentu saja dapat dikatakan valid. Tulisan seorang ahli hukum tentang hukum tindak pidana tentu dengan sendirinya valid (berdasarkan kompetensi penulis). Tulisan seorang guru bahasa tentang bagaimana berbahasa yang baik dan benar tentunya akan lebih valid daripada ketika hal itu ditulis seorang nelayan. Lalu tulisan seorang koruptor tentang “bagaimana berkorupsi yang aman dan jeli” tentu juga biasa saja valid berdasarkan pertimbangan tertentu hehehe…(Pertimbangan keahlian dia korupsi bertahun-tahun tanpa diketahui.)

Pada tataran yang lebih luas lagi maka sebuah argumen dinyatakan valid jika dan hanya jika kebenaran alasan-alasan yang memerlukan kebenaran dari kesimpulan. Dan dengan sendirinya akan menjadi kontradiksi bila kita berusaha menegaskan alasan-alasan dan serempak menyangkal kesimpulan. Susah dimengerti? Sederhananya adalah dengan memakai silogisme seperti ini (contoh doang):

Semua manusia adalah tidak sempurna.

Admin adalah manusia,

Karena itu maka Admin adalah juga tidak sempurna.

Apa yang membuat argumen di atas itu valid? Sama sekali bukan karena ia memiliki alasan (bahan acuan) serta kesimpulan yang benar. Tapi karena logika yang terkandung di dalamnya. Alasan dan kesimpulan dapat dibuat palsu, tapi logikanya bisa saja tetap valid. Tidak percaya? Ini contohnya:

Semua patung adalah berwarna sawo matang.

Admin adalah patung,

Oleh karenanya maka Admin berwarna sawo matang.

Argumen di atas itu sama logisnya dengan contoh pertama, tapi dengan alasan/acuan dan kesimpulan palsu (alias tidak benar). Kenapa palsu? Sebab, memang bisa jadi semua patung berwarna sawo matang, tapi Admin itu manusia bukanlah patung. Penjelasannya boleh saja logis, masuk akal dan valid------tapi acuan dan data yang tersaji adalah palsu, keliru, serta tidak benar.

Jadi? Yang valid pun bisa saja berdasar acuan palsu. Yang dianggap valid sekalipun bisa saja sesuatu yang tidak benar secara fakta. Lalu kalau begitu, apakah Kompasiana itu valid (menurut pandangan pihak luar) atau tidak? Tidak penting lagi, yang terpenting apakah ia menyuarakan yang benar, memberitakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan dan membawa perbaikan atau tidak. Apakah ia memberi manfaat sehingga orang yang membuka dan membacanya mendapatkan manfaat atau tidak? Apakah ia membawa kebaikan atau perpecahan? For the sake of us, don’t worry if they (whoever they’re) say that your writing is not valid (invalid). Just keep on writing. Tentu, valid tidak validnya hanyalah berdasarkan kaca mata si penilai. Yang penting menulislah dengan jujur dan terbuka.

Seorang peneliti sekaligus penulis bernama Wilson (1983) pernah menulis ini dalam sebuah makalahnya tentang validitas informasi, “….However, monitoring daily events through the media does not necessarily mean blind faith in these sources because they may be biased and more or less intentionally misleading.” Jadi menurut dia walaupun kita melakukan pemantauan kejadian sehari-hari melalui media tidak berarti kita mesti menerimanya secara membabi-buta (mentah-mentah) pada apa yang kita baca, karena mungkin saja tulisan mereka sudah menjadi bias dan kurang lebih (akan) sengaja atau tidak sengaja menyesatkan. Ia kemudian melanjutkan “Thus, ideally, the reflective information seeker should constantly question the ultimate cognitive authority of such sources.” Jadi, menurut Wilson, idealnya para pencari informasilah yang (harus) terus mempertanyakan otoritas kognitif akhir dari sumber-sumber tersebut. Sebagaimana pun valid dan terkenalnya sumber-sumber itu. Istilah saya begini: Jangan pernah puas dan menganggap sumber-sumber se-hebat apapun atau se-valid apapun adalah jawaban satu-satunya. Gali terus. Cari terus. Dan belajar terus, niscaya apa yang kita cari akan kita peroleh dengan lebih baik.

Catatan: Kompasiana juga sepertinya memang harus terus berbenah diri, apalagi dalam hal menyeimbangkan berita. Apalagi setelah terkuaknya berita HOAX bayi yang meninggal itu.

Tulisan Terkait:

Kompasiana Memang Harus Berbeda!

Fenomenalnya Rumah Itu.

Michael Sendow.

#validitastulisan, #tulisanvalid, #tulisanfakta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun