Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tulisan Esek-esek Dibenci dan Dirindu, Kompasiana Lahan Empuk?

17 November 2011   07:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan Esek-esek Dibenci dan Dirindu, Kompasiana Lahan Empuk.

Bombastis, fantastis, faktual, dan berimbang. Itu adalah sebuah kalimat andalan Tukul Arwana dan Marcella Lumowa dalam sebuah segmen di acara Bukan Empat Mata. Bombastis memang iya. Faktualnya apa saya kurang paham. Berimbangnya di mana saya masih nggak yakin. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa rating acara itu tinggi, tidaklah semata-mata karena kepiawaian si Tukul, tapi juga karena ada wanita-wanita cantik di lingkup acara itu. Badan yang seksi dan tubuh yang bohay tentu merupakan daya tarik tersendiri. “Aroma sex ” untuk menarik pengunjung secara halus sudah terlihat, walau tak begitu kentara.

Nah, lalu apa hubungannya dengan pembahasan kita kali ini? Saya membaca sebuah tulisan Mbahwo di sini, yang intinya mengatakan bahwa sepertinya Kompasiana lebih mementingkan traffic daripada idealisme. Mbahwo secara lugas memaparkan pendapatnya tersebut. Yang pada satu sisi memang layak diperhatikan karena ia sudah bergelut di dunia Internet dan Blogging begitu lama, serta mempunyai pemahaman dan kemampuan mumpuni (kalau tidak mau disebut di atas rata-rata kompasianer lain). Mungkin dalam urusan lacak-melacak traffic, mengurusi blog (lebih susah dari urus anak yah?), “bekerja” di dunia blogging, beberapa Kompasianer memiliki “nafas keahlian” yang sama dengan Mbahwo. Sebut saja diantaranya: Gusti Bob, Suka Ngeblog, Valentino, dan Kimi Raikko.

Content Idealism memang sering dipasang di wilayah abu-abu yang sungguh berbau dan tersamar. Betul sekali, ia berbau ketidakjelasan dan tersamar oleh penerapan Term and Condition yang tidak berimbang dan merata. Lain cerita kalau memang tujuannya untuk traffic semata seperti yang disinyalir Mbahwo, yah kita tentu harus maklum. Loloskan saja apapun yang ditulis. Di Kompasiana terlihat masih dipasang pada wilayah abu-abu tersebut (grey area).  Menurut Wikipedia, Grey area or gray areais a concept or topic that is unclear. Sederhananya, ngejar trafik ya iya, bertahan pada Idialisme juga ya iya. Kenapa?

Lihat saja aturan main tentang pemuatan artikel berbau agama, seks, dan penyerangan pribadi seseorang yang penerapannya masih tebang pilih. Sejatinya, kalau ada artikel menyangkut SARA dan Porno langsung ditindaki. Bukan begitu? Kenyataannya kan banyak yang terbiarkan atau dibiarkan. Memang komposisi dan kuantitas Admin masih terbatas, tak mungkin sepenuhnya menguasai medan dari menit ke menit. Katakanlah Kompasiana ini rumah besar yang memiliki ribuan kamar, dan setiap kamar setiap harinya mengeluarkan satu sampai dua tulisan, bayangkan saja berapa banyak tulisan yang harus mereka pelototin. Mereka juga perlu makan, minum, tidur, bercengkrama dengan keluarga, pergi ke mall, jalan-jalan ke Pulau Komodo, dan sebagainya. That’s human. And of course nothing’s wrong with it. Tapi bukankah kalau mau serius menjadi sebesar (atau bahkan melebihi) Kompas.com, masalah-masalah teknis seperti itu mesti mampu diatasi (atau diakali) dengan baik.

Seorang Kompasiner senior bahkan belum lama ini mengirimi ‘surat cinta’ yang begitu tegas, keras, dan kelihatan tanpa tendeng aling-aling menyatakan kekesalannya terhadap ‘produk esek-esek’ yang menghujam Kompasiana tak terbendung, dan tak terhentikan. Seakan-akan lahan Kompasiana begitu empuk untuk ditanami tanaman jenis apapun, termasuk yang esek-esek sekalipun. Toh, pemilik lahan membiarkan bahkan mungkin saja menikmatinya (hasilnya) juga. Lalu kenapa Mbak Linda begitu gusar? Silahkan intip dalam postingannya, ia dengan lugas sudah memberi jawab atas pertanyaan itu. Boleh intip di sini….

Bagi saya pribadi, sex, cewek cantik, dan pembicaraan seputar dunia esek-esek bukan sesuatu yang tabu lagi saat ini. Juga bukan sesuatu yang masih tertutup rapat. Di dunia bisnis, itu adalah senjata. Di dunia politik, itu adalah ancaman, Dan di dunia hiburan, itu adalah uang. Jangan heran banyak perusahaan memandangnya sebagai kewajaran yang mengasyikkan, banyak politikus jatuh karenanya, dan dunia hiburan berjaya karenanya. Ia akan menjadi wajar dan menguntungkan kalau ditempatkan pada aras yang tepat, serta kondisi yang memadai. Mbahwo malahan mengatakan bahwa di muka bumi ini, cara paling instant dan paling hebat untuk menarik traffic adalah dengan segala sesuatu yang berbau sex. Tentu saja ini berlaku hanya bagi mereka yang mementingkan traffic. Saya mengistilahkannya sebagai, memutlakkan traffic serempak menisbikan idealisme.

Mungkin kritikan Mbak Linda untuk tataran Kompasiana, adalah karena banjir artikel dan foto vermak yang menjurus ke soft porn itu tidak membawa hikmah dan manfaat apa-apa. Dan sasaran tembaknya sudah jelas adalah Admin, bukan si pemosting. Sampai-sampai beliau membanding-bandingkan antara Admin yang lama dengan yang baru. Yang baru katanya bukan berlatar jurnalis Kompas tetapi hanya karena direkrut oleh Kompasiana. Apakah untuk membidani dan ‘menjaga’ Kompasiana harus perlu memakai orang dalam? Entahlah. Ini mungkin bagi saya justru menjadi relevan atas fenomena artikel-artikel Hoax. Misalnya kebenaran dan kesahihan berita-berita yang ditulis Mbak Titi contohnya.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada beberapa penulis, saya justru menempatkan rasa khawatir dan cemas bukan pada artikel esek-esek (sebab terkadang masih ada positifnya), tapi pada artikel-artikel yang memecah-belah, menyerang kelompok atau agama tertentu, saling hujat menghujat, rasis dan diskriminatif. Itu potensi atau dampak negatif-nya sangat jelas. Pernah saya baca sebuah tulisan di mana si penulis terlalu membatasi verba yang ia pakai pada tulisannya, dan menekan sekolah swasta tertentu dengan memakai ukuran tunggul. Ukuran kebenaran berdasarkan otak sempitnya semata. Dan tulisannya menjadi sarapan publik, bahkan dibagikan dengan gratis ke jejaring sosial lainnya.

Tidak sedikit juga yang mengkritik dan melemahkan pribadi penulis tertentu, tanpa mengerti betul apa maksud dan isi hati si penulis. Bahkan dengan menyebut nama dan menyerang latar pemikirannya. Adalah sangat baik kalau yang dibahas dan dibabat bukan pribadinya, tapi isi tulisannya. Pembaca harus memiliki kematangan untuk menerima orang lain. Kalau kita peduli berarti kita menerima orang itu sebagaimana dia adanya, bukan sebagaimana yang kita inginkan. Misalnya saja yang suka menulis esek-esek, apa yang mereka tuliskan adalah bentuk kreativitas menurut mereka. Sah dan wajar-wajar saja. Adminlah yang akan menyensor, dan kalau dirasa tidak pantas ‘go public’, ya jangan. Lalu kalau begitu apakah Admin belum bekerja maksimal? Mungkin saja sudah maksimal, tapi seperti yang saya bilang tadi, mereka tetap masih manusia biasa. Bagaimana? Ada solusi? Tambah tenaga Admin, merubah teknis untuk mempublish tulisan, review tulisan, atau lainnya? Merekalah yang lebih tahu.

Melihat jumlah hits dan peratingan di tulisan bertema esek-esek ini memang cukup fantastis. Ini merupakan salah satu tanda bahwa memang banyak yang membenci tema ini, tapi di ujung dunia yang lain, tetap masih banyak yang mencintai dan merindukan tema-tema seperti ini. Ia memang dibenci tapi ia juga dirindu. Bahkan, bukan mustahil ada yang membencinya dengan lantang, tapi sering sekali mengklik tulisan-tulisan mereka.

Apapun itu, ada beberapa tulisan dan kritik yang harus dicermati, digaris bawahi, dan ditanggapi para Admin. Seperti tulisannya Mbak Linda, Mbahwo, dan Suka Ngeblog. Walalupun Kompasiana belum (bukan) sepenuhnya media jurnalis warga seperti tulisan saya di sini: Kompasiana Media Sosial atau Media Jurnalis Warga? Tapi tetap saja menurut hemat saya, pendapat-pendapat mereka mesti disikapi dan diseriusi.

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun