Keragaman Budaya Potensi Tanpa Akhir
[caption id="attachment_103982" align="alignright" width="605" caption="Tarian Cakalele. Tarian Perang."][/caption]
***
Ada beberapa patung ukiran wanita bertelanjang dada di rumah saya, termasuk di dalam kamar saya. Saya kebetulan menyukai estetika seni ukiran Bali, baik yang naturalis maupun semi-abstrak. Patung itu pernah membuat seorang teman terkejut. Sambil tersenyum sinis ia berkata, “Lho, kamu kok suka patung porno?”
Apa yang menyebabkan teman tadi menganggap patung itu porno? Etnosentrisme. Ia memakai budaya sendiri sebagai ukuran untuk menilai budaya lain. Dalam budaya Jakarta mungkin memang kurang sopan bagi wanita untuk bertelanjang dada di depan umum. Tetapi dalam budaya Bali hal itu sama sekali bukan persoalan. Tidak ada wanita yang merasa terhina dan tidak ada lelaki yang merasa “terganggu”. Semua biasa-biasa saja.
***
Sebagai buah dari enkulturasi, maka kita menjadi orang yang berbudaya. Hal itu tentu saja baik, namun serempak ada bahayanya bahwa kita hanya mengenal budaya kita sendiri dan buta terhadap budaya lain. Akibatnya yang kita anggap benar hanyalah budaya kita sendiri, sedangkan budaya lain kita anggap aneh, asing, bahkan keliru. Itulah yang disebut etnosentrisme, yaitu sikap menganggap budaya sendiri benar dan unggul, sedangkan budaya lain dianggap salah dan rendah.
Apa yang “Paling Indonesia” di bumi pertiwi ini kalau bukan keragaman budayanya. Jumlah suku bangsa yang kita miliki saja sudah lebih dari 700, maka tentu ada ratusan budaya traditional di dalamnya. Multikultural adalah berkat buat bangsa ini yang seharusnya patut disyukuri. Keragaman budaya atau “cultural diversity” di Indonesia adalah suatu kenyataan. Memang pada satu sisi kenyataan itu bisa menjadi potensi yang teramat bagus. Potensi yang tidak berkesudahan kalau kita mampu mengelolanya, tapi di sisi lain dapat memunculkan konflik. Kalau kita tidak mampu mengatur dan saling menghargai keberagaman budaya yang ada, dapat saja memicu suatu konflik. Kita harus memiliki apa yang saya istilahkan sebagai “multicultural management”.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Dapat dipastikan juga bahwa tingkat peradaban kelompok-kelompok suku-bangsa dan masyarakat itu berbeda-beda. Maka tidaklah berlebihan untuk menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tertinggi.
Bahkan menurut catatan historis, keragaman budaya yang kita miliki sudah menjada daya tarik dan daya pikat tersendiri bagi bangsa-bangsa lain. Mungkin tidak semua kita kenal dengan Cheng Ho. Cheng Ho telah menempuh tujuh ekspedisi maritim untuk menemukan benua-benua. Kebanyakan buku sejarah hanya hanya mencatat nama penjelajah lain semisal Christopher Colombus dan Vasco da Gama. Padahal Cheng Ho satu abad lebih dulu dari Colombus. Kapal Cheng Ho sepuluh kali lebih panjang dari kapal Colombus. Armada Cheng Ho seratus kali lebih besar dari armada Colombus. Dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Ekspedisi Cheng Ho berbuah persahabatan dan pertukaran ilmu pengetahuan, sedangkan ekspedisi Colombus menularkan penyakit dan menimbulkan penjajahan.
***
Cheng Ho adalah pemuda Tiongkok yang lahir di pegunungan provinsi Yunan jauh dari pantai. Ia beragama Islam. Kemudian ia dibawa ke ibu kota Nanjing dan menjadi pelayan istana. Kinerjanya yang bermutu, wajah yang tampan dan tinggi tubuh 198 Cm menjadikan dia naik pangkat untuk menjabat posisi kepala urusan rumah tangga istana. Atas perintah kaisar maka berangkatlah ekspedisi pertama Cheng Ho. Ada 300 kapal dalam armada itu. Jumlah awaknya ada 28 ribu orang terdiri dari ratusan penerjemah dan pakar di bidang pengobatan, pertanian, peternakan, sejarah, sastra, arsitektur dan sebagainya. Kapal-kapal itu pun mengangkut ratusan ton keramik, obat, sutera, tekstil, rempah-rempah, furnitur dan banyak lagi untuk dihadiahkan kepada raja-raja.
Armada Cheng Ho berlayar dari ibu kota Nanjing ke Vietnam, lalu ke Surabaya, Semarang, Palembang, Malaka, Banda Aceh, Kolombo, Kalkuta, Iran, Yaman, Arab, Kenya dan Tanzania. Apa tujuan ekspedisi Cheng Ho? Ada ambisi niaga, ekspansi diplomasi politik dan kebanggaan teknologi Tiongkok di bidang maritim, kedokteran, farmasi, pangan, tekstil dan keramik. Tetapi sebenarnya tujuan utama Cheng Ho adalah “bangsa-bangsa lain kami temui” seperti yang tertulis di atas prasastinya. Juga, “Budaya-budaya bangsa lain kami pelajari”.
***
Tujuh kali Cheng Ho berlayar bolak-balik dalam kurun waktu 1405-1432. Di tiap negeri ia mempelajari seluk-beluk budaya setempat. Menurut catatan hariannya di Semarang ia terpesona menonton wayang kulit namun terkejut melihat keris di pinggang para pria. Di Surabaya ia terheran-heran melihat burung yang berbicara seperti manusia. Di Palembang dan Banda Aceh ia juga mendapatkan pengalaman budaya yang unik bagi dirinya. Ia juga mengamati kehidupan agama. Ia memperkenalkan agama Islam, namun toleran terhadap agama lain. Di berbagai tempat ia membangun rumah ibadah untuk agama-agama lain. Di Sri Lanka terdapat prasasti doa Cheng Ho yang lintas agama. Data Ekspedisi Cheng Ho antara lain ada di buku setebal lima ratus halaman berjudul 1421—The Year China Discovered the World tulisan Gavin Menzies, seorang kapten kapal Inggris.
***
Dalam konteks masa kini, menurut saya ada tiga hal yang perlu kita ketahui sebagai wujud nyata dari kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau bangunan. Contoh: Produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai dan kepercayaan, rumah adat dan sebagainya.
***
Mari dengar cerita saya……
Alangkah asyiknya saya ketika pergi ke Sumatera Barat dan langsung disambut Rumah Gadang, mampir ke Aceh ada Rumoh Aceh. Sebelum pergi ke Sumatera Selatan untuk menginap di Rumah Limas, saya sempatkan diri bermalam di Tongkonangnya Sulawesi Selatan. Pagi-pagi, di depan pintu sudah ada surat undangan teman mengajak saya mengunjugi Joglo di Jawa dan Honai di Papua. Tapi tunggu dulu, saya baru sadar, sudah begitu jauhnya saya berkeliling tapi saya ternyata belum menyempatkan diri untuk sekedar menengok Rumah Panggung di kampung halaman saya Minahasa. Setelahnya, saya sudah punya ancar-ancar untuk mengambil gambar di Rumah Betang Kalimantar Barat, Lopo di NTT, Balieu di Maluku dan aaahhhh, masih banyak lagi. Saya hanya bisa kagum. Ya! Kagum.
***
Belum lagi kekaguman saya terhadap rumah-rumah adat yang kita miliki berakhir, saya sudah disuguhi dengan berbagai tarian daerah.Kelompok tari dari Batak Toba dan Suku Simalungun itu begitu mempesona dengan Tarian Tor-Tor mereka, disusul ibu-ibu Minahasa Sulawesi Utara dengan Tarian Maengket yang sudah mendunia itu. Tarian ini begitu banyak ditarikan di Jepang, Belanda dan Amerika Serikat. Maengket dan Katrili bahkan pernah mendapat sambutan sangat luar biasa disuatu pementasan khusus untuk orang-orang Amerika di sekitar New Jersey dan New York. “Amazing” kata mereka. Ketika disuatu kesempatan lain mereka juga dibuat heran menyaksikan “kayu bernada”. Kayu bernada menurut istilah mereka ternyata Musik Kolintang. Kayu yang digetok-getok itu menghasilkan musik yang indah. Bukan hanya untuk telinga kita, tapi juga telinga orang-orang Eropa dan Amerika itu.
***
Apa lagi yang kita punya……..?
Oh iya, masih banyak lagi…jangan takut, kita masih punya segudang penuh! Ini dia: Dari daerah NTT kita disajikan antara lain Tarian Likurai, Bidu, Tebe, Bonet, meluncur jauh ke Sulawesi Selatan kita disambut Tari Pakkarena, Anging Mamiri. Mari kita maju agak sedikit ke tengah, sedikit lagi, ya stop di situ. Di Sulawesi Tengah ini ada Tari Dero. Agak jauh ke bawah ada Tari Saronde, Elengge, Polopalo dari Gorontalo. Sudah puaaaassss? Beluuuuummm serentak kita berteriak. Memang belum puas kan? Kalau begitu mari kita lanjut. Siapa mau berJaipongan ikut saya ayo! Jaipong asal Jawa Barat ini memang asyik banget. Masih ada lagi Rentak Bulian, Serampang Dua Belas dari Riau, jangan dilupakan juga Famaena dari Nias. Setelah itu istirahat dulu yah, capek terus-terusan menari.
[caption id="attachment_103992" align="aligncenter" width="696" caption="Tarian Kecak dibawakan oleh Persatuan Mahasiswa/i Indonesia Amerika Serikat (Permias). Tarian ini dipersembahkan pada acara yang diselenggarakan oleh Kerukunan Keluarga Nusantara USA di NJ."][/caption]
-----------0OO0-----------
Kita istirahat sambil dengar lagu daerah dulu yah…Kebetulan ada choir yang sudah saya datangkan khusus. Nah, choir ini membuka konser mereka dengan Kicir-Kicir disusul Jali-Jali dan Keroncong Kemayoran dari Jakarta. Lalu berturut-turut: Ayo mama, Buka Pintu, Ole Sioh (Maluku). Dari Aceh, mereka dengan gagahnya membawakan lagu Bungong Jeumpa, Lembah Alas dan Piso Surit. Ampar-Ampar Pisang, Saputangan Bapuncu dari Kalimantan Selatan, sedangkan Sumatera Utara menghadirkan Butet, Dago Inang Sarge dan Lisoi. Tetangganya yaitu Sumatera Barat dengan Dayung Palinggan dan Kampuang Nan Jauh Di Mato. Jambi seakan tak mau kalah dengan lagu terkenalnya Soleram dan Batanghari. Jawa Barat cukup puas dengan dua lagu yaitu Bubuy Bulan dan Es Lilin. Panas-panas begini dengar lagu Es Lilin bikin haus tambah haus. Kalimantan Barat berCik-Cik Periuk di atas panggung selama 10 Menit. Penampilan akhirnya disudahi dengan lagu penutup dari Kalimantan Timur yang berjudul Indung-Indung.
***
Budaya kita memang sangat kaya. Adalah suatu kebodohan apabila kekayaan kita bukannya menjadikan kita negara yang kaya. Negara yang sangat berpotensi dan sumber daya alam dan ‘sumber daya multikultural’. Tarian dan Lagu serta Rumah Adat belum seberapa. Masih begitu banyak keragaman budaya yang kita miliki, sebut saja diantaranya alat-alat musik seperti Gamelan, Sasando, Gong, Gendang Bali, Gendang Simalungun, gendang Tabuik, Kolintang, Talempong, Tifa, Saluang, Rebana, Bende, Kenong, Keroncong, Serunai, Jidor, Suling Lembang, Suling Sunda, Kecapi, Gong Kemada, Gong Lambus, Rebab, Taggetong dan masih banyak lagi. Kita kaya. Bahkan sangat kaya, sebab masih banyak keragaman budaya yang tidak mungkin saya rangkum dalam tulisan ini mengingat banyaknya jumlahnya.
***
Menurut hemat saya pemerintah (harus) punya andil dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan. Dan andil pemerintah itu sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Tapi pemerintah sepertinya kurang menjalankan fungsinya itu. Apakah pemerintah masih memandang sebelah mata potensi keragaman budaya yang kita miliki? Entahlah. Contoh lain yang cukup menonjol adalah juga bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (dimulai sejak masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara alami.
***
Kembali ke masalah etnosentrisme. Kita harus berusaha untuk mempelajari dan menghargai keragaman budaya kita. Menghargainya dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”. Bila kita sempat atau pernah bertempat tinggal beberapa tahun di tengah budaya lain di bumi pertiwi ini dan mengalami pengalaman hidup lintas budaya, maka sikap kita terhadap budaya lain menjadi terbuka dan kita mulai belajar menghargai budaya lain. Pengalaman dan pengetahuan itu akan membuka wawasan kita dan membuat kita kagum bahwa bangsa kita bersifat multikultural atau majemuk dalam budaya. Dengan demikian kita tidak lagi menilai budaya lain dengan ukuran kita sendiri.
***
Negara kita ini mempunyai banyak etnik dan budaya. Ada ratusan budaya yang memperkaya negara kita. Ada budaya yang membakar jenazah, ada yang mengawetkan jenazah di gua. Ada yang mempelainya minum arak, ada pula yang minum tuak. Ada yang rujaknya diberi cingur, ada yang diberi kencur. Ada yang bermalam tahun baru dengan makan daging rusa, ada yang dengan makan daging kuda.
***
Mana yang benar? Tidak ada yang salah! Karena tiap budaya bebas untuk berada sebagaimana adanya. Secara alamiah. Tidak perlu diseragamkan. Ini disebut relativisme kultural (cultural relativism), artinya budaya selalu bersifat relatif, sehingga tidak boleh diukur dengan ukuran tunggal. Menyangkal kemajemukan budaya adalah menyangkal hakikat bangsa kita. Menyangkal hakikat manusia, karena pada dasarnya kita memang adalah majemuk. Berbeda-beda tapi satu.
-----------00OO00-----------
Salam Budaya dan Selamat Berbudaya.
Michael Sendow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H