Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Langsung Menulis Ide? Yes Way! Langsung Publish? No Way!

23 Juni 2011   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langsung Menulis Ide? Yes Way! Langsung Publish? No Way!

[caption id="attachment_115708" align="aligncenter" width="545" caption="Come on bro...You can do it!"][/caption]

Banyak penulis artikel yang sudah menyarankan supaya kalau suatu ketika kita mendapat ide, langsunglah tulis ide itu sebelum ia terbang dibawa angin atau hilang ditelan bumi. Kalau kita tidak mampu menyimpan ide-ide yang berseliweran itu dalam otak kita (apalagi dalam hati kita) maka catatlah itu pada secarik kertas atau di notes kita. Benar sekali apa yang mereka katakan. Itu perlu! Supaya apa? Ya supaya ide itu tidak hilang. Just as simple as that.

Kemudian apa yang perlu dilakukan? Rangkailah dan terjemahkan ide-ide itu ke dalam suatu bentuk tulisan utuh. Milikilah kreatifitas ketika menerjemahkan ide. Pernah ada penelitian dari New York University yang mengatakan bahwa dalam proses kreativitas menulis, maka peran otak kanan manusialah yang lebih diperlukan. Artinya otak kanan lebih mendominasi kerja daripada otak kiri kita. Kita perlu kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat yang tidak perlu menggunakan otak kiri selagi merangkai kata membungkus makna dalam menulis. Kalau boleh saya tambahkan kebebasan memakai gaya tulisan, kebebasan berbahasa seperti yang juga dapat dibaca di sini: Menulis berbeda.

Memang kelihatan masih banyak yang sulit menerimanya, apalagi bagi mereka yang well known as educated people. Orang-orang pintar, master, doktor, dan sebagainya itu. Mereka pasti sudah lama sekali “hanya” menggunakan otak kiri dalam menulis. Menggunakan logika. Makanya mereka akan merasa sangat kesulitan kalau disuruh membuat tulisan super kreatif atau penuh imajinasi atau bahkan tulisan fiksi yang nyata-nyata lebih dominan menggunakan otak kanan.

Bukan berarti ketika kita mengimplementasikan ide ke dalam bentuk tulisan tidak perlu lagi menggunakan kerja otak kiri. Sama sekali tidak. Kerja otak kanan yang dominan iya. Tapi menulis bebas dan kreatif juga seperti menulis fiksi butuh panduan otak kanan. Nah, itu akan terasa sangat berfungsi manakala pertama kali kita baru mulai mengolah dan menerjemahkan ide-ide yang masih berbentuk “bahan baku” dalam otak kita ke dalam bentuk tulisan. Perlu logika. Perlu common sense. Lalu setelah pokok-pokok ide tertuang secara jernih, mulailah kita berkreasi. Tapi juga menggali ide dan mengejahwantahkan ide itu tidak boleh dibatasi dengan logika. Jika logika sudah membatasi ide, tamatlah riwayat kreatifitas menulis kita. Di situlah salah satu letak susahnya menulis fiksi. Ketika logika menguasai jalannya penulisan fiksi. Yang jadi malah tulisan kaku tanpa nafas. Bukannya kita membaca tulisan yang “hidup” tapi malah melihat huruf-huruf yang “mati”.

Terus setelah ide-ide ditulis dan sudah diterjemahkan menjadi suatu tulisan utuh, selanjutnya apa? Yah pergi tidur sana! Atau makan, jalan-jalan, yang hobby ngompasiana, balas-balas dulu komentar teman gih! Lho emangnya kenapa? Kenapa tidak langsung mempublish tulisannya? Kan lagi hangat-hangatnya nih? Eiiits, tunggu dulu! Justru di situlah letak kesalahan penulis-penulis pemula, bahkan yang professional sekalipun. Apa sih kesalahan tersebut? Terlalu cepat memencet tombol publish! Mengabaikan pentingnya tombol EDIT. Dalam arti sederhana: Manfaatkan kekuatan dan pentingnya mengedit tulisan kita sendiri. Kita harus mampu mengritisi tulisan kita sebelum dikirim atau dipublish menjadi tontonan umum. Tulisan yang sudah dipendam, dibaca ulang, diperiksa kembali rasa-rasanya akan semakin elok tatkala kita mempublishnya. Tidak percaya? Coba lihat kalimat ini (yang saya ambil dalam salah satu artikel di Kompasiana)

Ini kalimat yang belum di-edit: Makan petani itu pergi menghadapk kepala kampung , ia dengan tegass meminta gnanti rugi. Kepala kampung mengatakan ia bias mendapatkan ganti rugi itu , asal ia bersabar.

Terus terang minat saya membaca tulisan sebagus apa pun akan menurun drastis kalau mata sudah terlanjur sakit dengan kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi itu. Asalkan kita mau mencoba, pasti bisa. Kemauan untuk mengedit tulisan dulu yang harus ditumbuh-kembangkan.

Sekarang lebih elok mana kalimat tadi sebelum di-edit dengan yang sesudah di-edit ini: Maka petani itu pergi menghadap kepala kampung, ia dengan tegas meminta ganti rugi. Kepala kampung mengatakan ia bisa mendapatkan ganti rugi itu, asalkan ia mau bersabar.

Mengedit adalah “roh” dalam memantapkan tulisan, sebab dengan begitu kita membaca kembali sambil menemukan kesalahan-kesalahan redaksional sebuah tulisan. Kegiatan edit-mengedit memang terlihat sepele oleh karenanya sangat sering tahap ini sering sekali terabaikan. Padahal, pengalaman hampir semua penulis besar memperlihatkan bahwa proses editing adalah sebuah tahapan menulis yang menjadi salah satu kunci sukses mereka menjadi penulis ternama.

Seorang penulis ternama Sidney Sheldon pernah mengatakan bahwa sewaktu baru mulai menulis pun hingga saat ini, ia mengedit tulisannya minimal 3 kali.

Saya mengedit tulisan sampai beberapa kali. Itu pun setelah dipublish masih ada saja kesalahan satu dua yang merusak pemandangan. Bagaimana kalu tidak saya edit? Mungkin yang baca bakalan sakit gigi.

Saya melihat di beberapa tulisan selain menempatkan tanda baca yang tidak melekat pada kata yang mendahuluinya, juga kesalahan penulisan kata. Karena kita menggunakan MS.World, maka ada beberapa kata yang dekat dengan kata bahasa Inggris akan secara otomatis terganti. Ini beberapa contohnya: Bisa sering langsung tergantikan menjadi bias. Sayang menjadi saying. Hukum menjadi hokum. Angin menjadi angina. Dan masih banyak contoh lainnya. Periksa kembali kata-kata yang kita ketik sehabis jari-jemari kita “bermesraan” dengan keyboard atau tuts di depan kita.

Ada juga kata-kata yang hampir sama tapi justru berbeda arti. Bedanya bagai langit dan bumi. Seperti contoh kalimat tadi, maka menjadi makan. Atau ada juga makan menjadi makam. Menganggap menjadi mengangap. Memang menjadi menang. Tetapi menjadi tetap dan masih banyak lagi. Coba bayangkan kalau kesalahan ada dalam kalimat seperti ini: Saya akan memberi kamu makan, menjadi saya akan memberi kamu makam! Wah, menyumpahi mati yah? Mengedit tulisan kita memang penting. Sebuah kasus lucu pernah terjadi, kala itu ada pertikaian antar warga yang sedang terjadi. Singkat cerita, ada sepasang suami istri muda yang akhirnya terpisah jarak. Sang suami mengungsi ke Jakarta, sang istri tetap di desa. Suatu pagi sang suami menerima email pendek dari kawan akrabnya di desa. Di akhir tulisan yang acak-acakan itu ada kalimat ini “Tenang aja Don…..saya akan meniduri istrimu!” Wah, langsung gila pemuda ini dibuatnya. Ternyata maksud kawannya adalah, “Tenang aja Don…..saya akan melindungi Widuri istrimu!” Entah kenapa, mungkin karena pikiran yang kacau dan otak kanannya yang lebih dominan ketika menulis email itu, ia menyingkat-nyingkat kalimat dan tertulis seperti itu. Mengedit tulisan memang penting dan perlu. Sebelum terlanjur dikirim atau dipublish.

Jadi, memang sangat perlu untuk langsung menuliskan ide-ide yang berhasil kita tangkap. Ide-ide yang begitu banyak terbang di sekitar kita. tidak bakalan habis, ia selalu ada di mana saja dan kapan pun. Lalu setelah ide itu menjelma menjadi tulisan utuh, maka perlu langkah selanjutnya. Langkah yang bagi sebagian orang buang-buang waktu. Tapi bagi mereka yang punya mimpi jadi penulis hebat, penulis buku, penulis yang digandrungi, langkah ini terasa amat mesti. Ia tidak boleh diabaikan begitu saja. Ia bagaikan istri atau suami kita dalam menyempurnakan tulisan. Ya! Suami kita dalam menyempurnakan tulisan itu bernama Edit”. Kalau ia menjadi istri, bolehlah kita menamainya dengan “Edity”, Wah….wah…wah…what a name! Nama yang cantik bukan?

Note: Tulisan ini turut disponsori oleh Shampoo Anti Ketombe! Yang ketombean silahkan manfaatkan sebaik-baiknya. "Anti Dandruff" memang oke! Kenapa oke? Turut membersihkan kepala dan otak Anda supaya ide-ide dalam menulis tidak dimakan ketombe lapar.

Cheers…

Baca Juga:

Menarik nih…

Baca dengan hati

Salah eja

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun