Wajar saja kalau Kompasiana memang memposisikan diri sebagai citizen journalism (CJ) atau jurnalis warga dalam bahasa kita. Wajar karena media ini adalah derivative dari sang induk. Kompas dan Kompas.com. Wajar karena dengan demikian akan semakin banyak “berita pelosok daerah” yang dapat diketahui secara cepat oleh pembaca kapan pun dan dari mana pun.
Tapi menelisik keberadaan Kompasiana saat ini, tidaklah tepat kalau kita menyebut media ini sudah murni atau 100 persen berbasis CJ. Lihatlah banyaknya tulisan (bahkan paling banyak) FIKSI, kemudian Humor dan Catatan. Ada juga rubrik-rubrik yang sarat dengan opini penulis semata tentang sesuatu hal yang ia pahami. Nah, mungkin Kompasiana lebih tepat disebut Media Sosial Jurnalis Warga (MSJW)? Sebab kandungan isinya bila dipilah-pilah mungkin 50 persen condong ke CJ dan 50 persen condong ke Social Media (SM).
Lalu masalah tulisan reportase yang layak masuk Head Lines. Kalau Kompasiana “harus” mengikuti syarat dan prasyarat tulisan reportase yang sesuai pakem-pakem juga format standart umum mereka (mainstream media), maka dipastikan there’s no way bakalan ada tulisan reportase yang dapat disebut “layak” jadi HL. Tengoklah Kompas atau Kompas.com lalu bandingkanlah sendiri. Oleh karenanya sudah seharusnya Kompasiana memang berbeda. Tidak perlu memakai sepatu sang induk, atau memakai celana sang induk. Mandiri dalam content dan gaya adalah keniscayaan supaya tetap menarik dan dilirik.
Tidak percaya? Mari kita teguk beer pengetahuan ini lebih lanjut. Tidak perlu banyak-banyak supaya tidak mabuk.
Menurut Wikipedia Citizen Journalism yang juga dikenal sebagai “umum”, “partisipasi”, “demokrasi”, “bawah tanah”, atau juga “jurnalisme jalanan” adalah suatu konsep di mana masyarakat umum dan mungkin awam “memegang peranan aktif dalam suatu proses collecting, reporting, analyzing dan disseminating berita-berita serta informasi”.
Menurut sebuah laporan pada tahun 2003 ada tulisan ini We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information.Penulisnya si Authors Bowman dan Willis mengatakan: "The intent of this participation is to provide independent, reliable, accurate, wide-ranging and relevant information that a democracy requires."
Lha, kita jurnalis warga di Kompasiana ini apa sudah melakukan itu? Antara lain mengoleksi data-data, artinya turun ke lapangan langsung, kemudian mengolahnya sedemikian rupa dan menganalisanya? Atau Cuma menulis dari apa yang kita baca dan pencet tombol publish? Belum lagi masalah tetek bengek, kesalahan kata, tanda baca, penggunaan eufimisme, personifikasi dan seterusnya yang sangat tidak mudah dikatakan layak oleh mainstream media. [caption id="attachment_113824" align="aligncenter" width="550" caption="Mainstream Media @www.futureexploration.net"][/caption]
Nah, melihat berbagai perkembangan yang ada, kalau kita menulis entahlah itu opini atau berita, tajuk rencana, editorial dan apapun yang hendak kita tulis di Kompasiana harusnya tidak perlu membebek pakem-pakem standar dari mainstream media. Kalau kita terlalu terpaku meniru-niru mereka, baik gayanya, modelnya, sampai tata bahasanya siapa yang mau baca? Orang akan lebih memilih untuk membaca Kompas cetak dan Kompas.com dong. Kecuali kita berbeda barulah kita dilirik. Untuk itu menulis reportase pun seharusnya bisa dengan cara kreatif. Kenapa misalnya kita tidak boleh menggunakan bahasa lisan (bahasa tutur) dan harus bahasa tulis melulu dalam artikel kita? Bukankah semakin menarik tulisan kita akan semakin dilirik. Lain dari pada yang lain. Bukankah tujuan Kompasiana sebagai SM plus CJ tidak sama atau tidak harus sama dengan mainstream media? Therefore, wahai kawan, Kompasiana harus “memilih” yang kreatif lebih dari yang “formal”, lebih dari sekedar yang “bikin ngantuk” dan “bikin ogah” itu. Kompasiana is Kompasiana. Bukan Kompas atau Kompas.com.
Maka apa yang mau ditulis? Wah, banyak nian kawan! Hanya saja hindarilah menulis yang klise, tulislah tulisan yang bersifat analitis menarik, ketimbang yang deskriptif dan sudah usang. Yang ideal semisal hal baru, gagasan baru, teori baru, perspektif baru. Biasanya memang apa yang ideal itu susah dijangkau. Sebab itulah perspektif baru harus terus dikemukakan ketika kita menulis. Teori, gagasan, kejadian boleh sudah lama tetapi perspektifnya harus baru. Misalkan saja kita menulis tentang Soeharto, itu sudah usang tapi kalau kita membahasnya dari perspektif baru dan bukan dari apa yang sudah pernah dibahas tentu tetap menarik dibaca.
Biasanya juga media mainstream sudah punya stok orang-orang tertentu yang ahli di bidangnya dalam mengulas-upas dan mengupas-ulas suatu tema. Kalau kompasiana “memaksa” penulis mengikuti yang begitu-itu tentu tulisan di sini nggak bakalan dilirik pembaca tamu atau pembaca luar. Paling hanya kita-kitalah, dagang di rumah sendiri. Tema yang diambil itu harus dibuat sedemikian rupa supaya menarik dibaca. Juga tak kalah penting adalah gaya bahasa penulisan, pengambilan sudut pandang dan kreatifitas. Itu sangat penting. Menulis artikel ilmiah, reportase, editorial, tetap memerlukan “bangunan” diksi yang baik walaupun bangunannya tidak harus semegah ketika menulis fiksi.
Mempertahankan sesuatu yang unik atau khas itu penting. Pertanyakanlah apa kira-kira keunikan Kompasiana dibanding mainstream media? Itu yang harus dipertahankan dan ditonjolkan. Memang dalam dunia jurnalistik “menghormati pakem” itu penting dan perlu. Tapi dalam dunia jurnalistik “creativity” juga bukanlah barang tabu. Menulis reportase atau artikel apapun semenarik mungkin adalah keharusan kalau kita ingin dilirik. Istilah kasarnya kalau di mainstream media kita selalu berlaku formal maka di sinilah tempatnya kita berlaku non-formal. Bisanya kita makan pakai sendok, saatnya di sini kita pakai tangan tanpa sendok. Bisanya kita mandi kunci pintu, di sini bolehlah kita buka sedikit pintunya, biar yang lihat (baca-red) terkesima, melotot lalu jatuh hati. Mereka akan bilang “Wow, tubuhmu aduhai banget!”
Di sini tempatnya tulisan ringan jadi berbobot. Ringan tidak sama dengan dangkal. Tulisan berat dibikin mengalir lancar bagai air sungai, diiringi gaya bahasa sebagai seni pikatan. Gaya bertutur tersampaikan dengan bebas. Tulisan argumentatif konyol pun sama nilainya di mata pembaca hal mana tidak bakalan nampak di mainstream media.
Tulisan yang berbobot tidak hanya dalam uraian dan sudut pandangnya, tetapi juga dalam cara penyajiannya. Dengan digitalisasi hampir semua surat kabar dan majalah di Indonesia maka menulis dengan komputer merupakan sebuah kemestian. Banyaknya salah ketik, salah eja atau grammatical error, salah penempatan tanda baca masih merupakan tantangan tersendiri bagi kita bukan? Kalau kita kirim artikel yang salah-salah itu ke mainstream media, editor biasanya langsung tahu seberapa rendah tingkat kesungguhan kita menulis. Nggak pernah edit tulisan sendiri adalah kefatalan bagi penulis yang mengirim artikelnya ke mainstream media, sebab tulisannya bisa saja dalam hitungan menit sudah masuk tong sampah. Di sini seberapa banyak pun writing mistakes yang kita lakukan, tulisan tetap terpublish. Asyik juga kan? Belajar dan belajar terus. Setelah di-publish pun ada tombol edit, artinya ketika melihat ada kesalahan-kesalahan kita boleh memperbaikinya kapanpun kita suka.
Akhirnya, semoga Kompasiana semakin menampakkan keunikan dan kekhasannya tanpa perlu membebek dengan mainstream media manapun. Tetap memelihara kreatifitas isi tulisan dan gaya menulis, supaya ada “shifting paradigm” yang justru boleh ditelurkan Kompasiana. Dan ketika menetas, sodorkan itu kedepan hidungnya mainstream media supaya mereka terpikat dan bisa jadi mencontohi Kompasiana kedepannya. Siapa tahu! Jadilah pelopor bahwa menulis indah itu perlu dan gampang asal ada kemauan.
Peace and Cheers,
Michael Sendow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H