Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Setuju Tidak Setuju terhadap Hukuman Mati bagi para Koruptor: UU Bakal Direvisi Pemerintah?

28 Maret 2011   04:27 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 2941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_97278" align="aligncenter" width="490" caption="www.corruption.com"][/caption]

Korupsi adalah ancaman bagi suatu bangsa. Korupsi bukan saja telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa di negeri ini. Ia bahkan telah merusak banyak pilar penopang bangsa ini. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan atas peradaban, baik secara individu maupun kolektif.

Ancaman hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia, kelihatannya bakal dihapus. Soalnya pemerintah rupa-rupanya sementara menggodok Revisi Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Gerak-gerik akan adanya penghilangan ancaman hukuman mati yang diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) pun akhirnya angkat suara. Mereka menyesalkan kalau seandainya hal itu terjadi. Seperti dilansir Harian Komentar hari ini 28 Maret 2011. ICW ngotot supaya ancaman Hukuman Mati tetap dipertahankan sebagai UU. Walaupun pada kenyataannya belum ada satu kasus korupsipun yang oleh hakim dijerat dan dikenai hukuman mati. Tapi ICW mengatakan bahwa itu penting sebagai alat control untuk menekan tingkat korupsi.

Pertanyaannya efektifkah langkah-langkah tersebut ?

Menurut saya pribadi, sebagai satu diantara yang menentang adanya hukuman mati dalam bentuk apapun, ingin melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Dan berusaha menempatkannya dalam porsi yang seadil-adilnya.

Saya tidak meyakini tindakan hukuman mati dari segi apapun yang boleh dengan gampangnya untuk dibenarkan dan diterapkan. Bagi saya tidak ada satu manusiapun yang berhak mencabut nyawa seseorang. Belum ada yang layak mengakhiri nafas hidup seseorang, sebab hanya TUHAN sang pemberi hidup yang berhak atas nyawa seseorang.

Ada ujar-ujar yang berkata bahwa hukuman mati adalah pantas bagi mereka yang harus menerimanya. Benarkah itu ? Belum tentu benar. Sebab ada ujar-ujar lain yang bilang lebih baik kita membebaskan seorang terpidana daripada kita menghukum mati orang yang belum tentu bersalah. Sebab akan ada pertanyaan lanjutan, yakinkah kita bahwa seseorang itu pantas dihukum mati dan kita punya hak istimewa untuk mencabut nyawa orang tersebut? Kalau demikian, berarti kita mau berdiri sendiri diatas kebenaran dan menafikan bahwa hanya DIA, Tuhan diatas segala yang dipertuhankan manusialah yg paling benar, dan olehkarenanya hanya Dialah yang berhak atas hidup seseorang.

Lalu, apakah kita berarti dengan mudahnya menyetujui atas rencana pemerintah merivisi UU tentang korupsi itu? Sama sekali tidak. Saya mengajak kita menyimak beberapa hal yang patut digarisbawahi.

Ada beberapa kelemahan menurut pemberitaan beberapa media, dan tembusan dari ICW, mengenai isi revisi pemerintah tersebut dan diantaranya sangat krusial dalam upaya pemberantasan korupsi, diantara adalah:

Pemerintah rupanya juga berencana untuk menghapus ‘ancaman hukuman minimal’ dalam tujuh jenis korupsi seperti penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberian gratifikasi dan pelaporang yang tidak benar tentang harta kekayaan.

Kemudian ancaman hukuman minimal dipukul rata satu tahun saja. Pada point-point tertentu inilah yang oleh ICW dinilai sebagai paradigma kompromistis dan tidak konsisten, serta tidak sejalan dengan usaha pemberantasan korupsi secara komprehensif.

Kelemahan yang lain adalah, yang bagi saya lucu, tidak masuk akal (baca: gila), adalah bahwa dalam revisi itu juga berisi pembebasan tertuduh korupsi yang nilainya kurang dari 25 juta. Sederhananya, kalau saya korupsi tidak lebih dari 25 juta maka saya akan dibebaskan dari jerat hukum. Enak ya? Kalau begitu akan saya kumpulkan sekitar 75 orang saudara, ponakan, tante, om dan semua kakak, adik saya untuk korupsi, jumlahnya kan bisa ratusan juta….wow. Gimana pemerintah ?

Kalau korupsi kecil-kecilan dibiarkan bertumbuh dan berkembang karena tidak bisa di jerat hukum, bagaimana dengan yang di daerah pedesaan, dimana 25 juta itu sudah sangat besar bagi mereka?. Di Jakarta mungkin 1 Milyar is nothing, tapi di desa kecil, 25 juta itu sangat besar. Perevisian ini bisa saja dijadikan jalan masuk bari para aparat, termasuk lurah, kepala desa untuk lebih giat berkorupsi. Apa maksud semua revisi UU Tipikor ini saya juga sangat tidak paham. Revisi ini bagi saya adalah blunder pemerintah. Tindakan bodoh yang bisa jadi senjata makan tuan.

Apakah pemerintah memang bermaksud menumbuh kembangkan, menyuburkan budaya korupsi di negeri ini ?

Revisi ini sangat aneh bagi saya, dan akan terlihat punya tendensi tertentu apabila pemerintah tidak bisa menjelaskannya secara gamblang ke masyarakat luas. Ini akan dianggap sebagai upaya pemerintah melanggengkan korupsi.

Lihat saja keanehan lain dalam isi revisi tersebut, pemerintah berencana menghapus unsur “merugikan keuangan Negara”, padahal disisi lain Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) justru memperluas definisi “merugikan keuangan Negara” itu menjadi “merugikan keuangan publik”. Kenapa pemerintah kita malah akan menghilangkan unsur tersebut ? Ada apa ya ?

Kalau unsur tersebut dihilangkan, sementara di KPK sendiri ada sekitar 42 orang yang terjerat oleh KPK dengan menggunakan pasal tersebut. Nah, kalau pasal itu dihilangkan, mereka bakalan bebas begitu saja dong ? Ini adalah kemunduran Indonesia dari segi pemberantasan korupsi. Kita sudah melihat sendiri bahwa di negeri ini justru korupsi terbesar adalah berupa perampokan asset Negara! Tapi kenapa pasal itu yang dihilangkan?

Kalau saya pribadi menghendaki para koruptor dihukum dengan seberat-beratnya. Sebab mereka (para koruptor) sudah menjadi musuh kemanusiaan dan musuh peradaban. Mau di bawah kemana negeri ini kalau korupsi, bukannya diberantas, malah kelihatannya mau dikembang-biakkan persis ikan Lele!

Saya memang tidak setuju adanya hukuman mati bagi para koruptor, tapi saya setuju seperti yang diterapkan oleh pemerintahan China. Koruptor dipotong jarinya. Itu juga merupakan tanda keseriusan pemerintah. Supaya juga nantinya kita bisa lihat kalau ada pejabat yang jarinya buntung, mungkin saja dia itu koruptor.

Hukuman seumur hidup juga kayaknya pantas buat mereka. Mereka yang telah menggerogoti warisan anak cucu kita, warisan yang seharusnya dinikmati anak cucu kita, entah 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun kedepan.

Semoga pemerintah bisa lebih bijak dalam mengeluarkan dan atau merevisi UU Tipikor. Karena ini berhubungan erat dengan rakyat banyak. Jangan biarkan orang-orang itu mencuri isi belanga kita demi memenuhi dapur mereka sendiri !!

(Michael Sendow)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun