Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Marah-marah dan Gebrak Meja, Itulah Ahok. Pertahankan!

23 Mei 2014   00:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:13 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marah-marah dan Gebrak Meja, Itulah Ahok. Pertahankan!

"Mikir!" (Sumber gambar: Ahok gebrak meja --- www.article.wn.com)

Dalam beberapa kesempatan, saya selalu bicara dan menulis tentang “style” Ahok yang di luar pakem itu. Saya bilang bahwa Ahok sebaiknya tidak mengubah gayanya itu. Ini jelas. Sebab kalau nggak marah-marah dan gebrak meja ya bukan Ahok namanya. Bukankah karena gayanya ini, maka ia terasa begitu serasi dengan Jokowi? Perpaduan yang sungguh harmonis. Dua karakter yang saling mengisi dan melengkapi. Setelah Soekarno – Hatta rasa-rasanya belum pernah ada lagi duet yang seterkenal dan sefenomenal itu. Apalagi dalam kelas gub-wagub. Kenangan Soekarno – Hatta mungkin hanya bisa didekati oleh duet Jokowi – Ahok. Siapa yang tidak tahu dan kenal Jokowi – Ahok. Duet ini akan dikenang dalam sejarah pemimpin Jakarta.

Marah itu perlu. Bicara lantang itu perlu. Berteriak dan gebrak meja itu pun sangat diperlukan. Toh belum pernah ada yang mati atau terluka akibat dimarahi Ahok. Dan, belum ada meja yang rusak akibat digebraki Ahok. Semuanya masih aman dan terkendali. Lantas kemudian apa pasal saya bilang Ahok mesti mempertahankan gayanya itu? Tanpa gayanya itu, bisa jadi Ahok sudah “digilas” oleh kelakuan para birokrat kotor dan korup di Jakarta yang ganas ini. Tanpa gayanya itu, Ahok mungkin saja tidak akan menjadi seperti apa adanya dia saat ini.

Jakarta ini sudah terlalu lama dibelenggu oleh kekakuan dan kebuntuan komunikasi antara atasan dan bawahan. Bahkan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Antara penegak konstitusi dan konstituennya. Kebuntuan dan kekauan ini salah satunya adalah olehkarena komunikasi satu arah peninggalan orde baru. Setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin kala itu laksana titah, jangan pernah dibahas, jangan pernah dibantah. Antara rakyat dan pemimpin juga terpampang jarak yang amat sangat tinggi, luas, dan tebal.

Jokowi dan Ahok membongkar semua “kasta kepemimpinan” dan memberi ruang komunikasi menjadi semakin dalam. Antara pemimpin dan yang dipimpin bagaikan tak berjarak lagi. Nah, ada dua cara membongkar kebuntuan itu. Yaitu dengan cara Jokowi, turun ke bawah dan berkomunikasi dua arah langsung di lapangan. Cara kedua, adalah dengan cara Ahok, yaitu marah dan menggebrak meja ketika tidak memperoleh jawaban yang jelas, dipermainkan bawahan, dan dibodoh-bodohi bawahan. Dua cara itu sangat benar dan baik. Mereka yang terkesan dan juga yang terusik dengan cara Jokowi – Ahok ini menandakan bahwa ada dampak yang ditimbulkan. Ini penting dan perlu dalam sebuah komunikasi.

Sekarang saya akan coba untuk fokus saja pada gaya ahok. Membahas tentang gaya Ahok tersebut dari perspektif positif. Tidak bermaksud apa-apa, tapi memang gaya Ahok marah-marah dan gebrak meja itu memang enak untuk diulas, “dikulum”, dan “ditelan.” Enaaaaak rasanya…..

Bukankah marah adalah salah satu faktor terpenting dalam diri siapapun. Bahkan marah juga adalah penentu penting dalam kestabilan emosi manusia. Manusia yang tidak pernah marah patut dipertanyakan kemanusiaannya. Anger is an essential human emotion. Bayangkan saja, saking pentingnya subjek tentang MARAH ini, sampai-sampai ada pelajaran atau studi khusus untuk membahas hal itu. Ini salah satu dari mereka yang mempelajari tentang marah itu adalah Doktor Aaron. Nah, Dr. Aaron Sell ini adalah salah seorang peneliti tentang amarah (anger researcher) di University of California, Santa Barbara's Center for Evolutionary Psychology. Doktor ini pernah mengatakan seperti ini, "We evolved an anger system to protect and enforce our own interests against those of other people."Jadi ternyata setiap kemarahan kita sesungguhnya bisa dijadikan semacam proteksi bagi diri kita, bagi kepentingan kita, dan hal-hal yang baik lainnya yang kita inginkan.

What would the world be like, if this anger system never existed? Actually, a complete mess. Apa jadinya dunia ini jika semua orang tidak pernah marah? Bayangkan saja dunia yang dipenuhi orang-orang yang tidak pernah marah? Kedengarannya very good? No way! Justru sebaliknya, dunia akan dipenuhi ketidakbecusan dan ketidakbenaran. Orang yang bikin salah tidak diamarahi. Pencuri dan pencopet tidak dimarahi. Pelaku kejahatan tidak dimarahi. Koruptor kita senyumi. Pembunuh kita jabat erat. Anak-anak nakal tidak dimarahi, dan seterusnya.

Marahlah Selagi Masih Bisa Marah

Seorang filsuf paling terkenal sepanjang masa, Aristotle, dalam sebuah tulisan “Nicomachean Ethics” beranggapan bahwa marah itu sebetulnya baik bagi seseorang. Tulisnya, "The man who is angry at the right things and with the right people, and further, as he ought, when he ought, and as long as he ought, is praised." Memarahi orang yang tepat, tentang satu hal yang tepat, dan pada waktu yang tepat, juga demi tujuan yang tepat, adalah baik adanya. Bahkan marah untuk tujuan demikian sangat diharuskan, sebab memang Anda harus marah bila itu harus, jangan tinggal diam membisu atau menerima keadaannya begitu saja. Ahok sudah melakukannya, dan rupanya masih jarang ada yang seperti dia itu, makanya selain pujian dan sanjungan, cibiran dan makian pun tertuju pada dirinya.

Pengamat politik, peneliti, penulis buku, dan ‘mantan’ calon Presiden Independen yaitu Muhammad FadjroelRachman dalam acara peluncuran (launching) buku Ahok Untuk Indonesia di toko buku Kinokuniya Plaza Senayan, tadi malam pun sempat mengatakan kesetujuannya dengan gaya Ahok tersebut. Gaya komunikasi Ahok yang super lugas dan terbuka seperti itu harusnya tetap dipertahankan. Masih menurut Bang Fadjroel, warga DKI Jakarta yang “keras” ini siap dengan kelugasan dan keterbukaan Ahok. “Saya rasa warga Jakarta sudah siap, dan biasa dengan komunikasi keras dan lugas tersebut”. Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan gaya marah-marah dan gebrak mejanya Ahok itu.

Kawan saya di Amerika mengirim pesan pendek kepada saya dan berkata, Wakil Gubernur kamu memang ‘gila’ ya? Kerjaannya marah-marah terus. Saya bilang, ‘iya’ emangnya kenapa? Dia memang seperti orang ‘gila’, namun kegilaannya itu adalah demi kebaikan banyak orang. Dan lagi, kalau dia terlihat seperti orang ‘gila’ yang marah-marah terus, tentu ada alasan dan peyebabnya. Dan alasannya sudah pasti karena ada yang membuat dia marah-marah. Itu alasan dan penyebabnya. Silakan simak dan lihat di Youtube dan cari tahu di berbagai media yang ada.

Bagi saya, Ahok sebetulnya tidak marah-marah setiap saat kok. Dia marah kalau memang ada yang wajib dimarahi. Buktinya pada banyak kesempatan dia bahkan tertawa lepas, tersenyum lebar, dan dengan ramahnya menyapa orang-orang. Di acara Tatap Mata, sebuah program TV yang dibuat agak kocak, pada suatu episode kita dapat melihat bagaimana Ahok memadukan kejenakaan dengan marah-marahnya. Ketika diundang ke acara itu, ia ternyata bisa tampil lucu juga, mengimbangi Rosi, Vincent Rompis, dan Akbar. Jadi siapa bilang kerjaannya marah-marah melulu? Dia marah karena ada yang bikin dia marah. Sesederhana itu. Toh dia marah-marah dan gebrak meja juga adalah demi kepentingan orang banyak. Anggaran berlebihan dipotong. Birokrat yang tidak jujur, tidak capable, dan menyusahkan rakyat pasti dibentak dan dilabrak habis-habisan, kalau tetap tidak becus, siap-siap untuk diganti. Jadi kita seharusnya marah juga bersama dengannya. Kita wajib memarahi orang-orang yang dimarahi Ahok itu, karena sebetulnya dalam hal ini yang peduli dengan keadaan kita itu bukan mereka namun Ahok. Makanya jangan hanya kritik marah-marahnya Ahok semata, tetapi telisiklah sebab-sebab kemarahan Ahok itu apa.

Banyak di antara kita yang mungkin masih memandang bahwa marah itu adalah emosi negatif dalam diri kita yang tidak memiliki efek baik, dan tujuan baik apapun. Seperti juga yang nampak pada sebuah survei dimana tercatat sekitar kurang dari 30-an persen dari total responden yang disurvei tersebut mengatakan bahwa ketika mereka marah, maka itu sebetulnya sangat tidak bagus, karena marah itu tak ada guna dan manfaatnya, dan pada umumnya hanya akan mengakibatkan kerusakan saja. (Beberapa bahan bacaan yang patut kita telaah dapat diintip di sini: Weber).

Aristotle pun bisa jadi benar, bahwa marah itu memang sangat diperlukan dan baik adanya. Marah justru bisa melindungi kita, hubungan kita, dan cara pandang kita dalam melihat kebenaran suatu hal atau peristiwa. Dalam sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang jahat. Antara kebaikan dan keburukan. Kebenaran dan ketidakbenaraan. Maka marah itu sangat berguna dan diperlukan.

Kespontanitasan diri kita marah ketika kita melihat atau mencium sesuatu saya salah dan tidak beres, ternyata dapat membantu kita memosisikan diri sebagai lebih sedikit di atas orang atau sesuatu yang salah itu. Lihatlah wajah-wajah yang tertunduk menghadapi kemarahan Ahok. Tentu, kita kemudian akan bertanya apakah pantas Ahok untuk marah? Menurut saya sangat pantas, sebab kalau tidak marah maka dialah yang akan dimarahi rakyat. Dia juga tentu tidak mungkin marah kalau tidak menemukan berbagai kesalahan dan ketidakbecusan. The bodily effects of anger are meant to tell us that something is wrong, or something evil is happening. Maka marahlah dan jangan hanya diam saja!

Bahkan menurut Prof. Silvyana Murni, Deputi Pariwisata dan Kebudayaan pemerintah DKI Jakarta, yang hadir menggantikan Ahok pada acara peluncuran Buku Ahok Untuk Indonesia tadi malam, bahwa ia menerima sepenuhnya gaya Ahok yang lugas dan ceplas-ceplos, berikut gaya marah-marahnya itu. Ia mengatakan bahwa selalu enjoy saja dengan pekerjaannya, dan menjalaninya secara professional tanpa embel-embel apapun. Ia merasa tidak ada jarak pemisah antara ia dan atasannya itu. Dan lagi, menurutnya, ia suka dengan kepemimpinan Ahok. “Mendapatkan pimpinan seperti Pak Ahok itu luar biasa, tidak hanya untuk Jakarta namun juga untuk Indonesia.”

Masih menurut Prof. Silvyana, yang penting kita tahu cara berkomunikasi dengan Pak Ahok. Kalau dia lagi marah, ya didengerin saja, jangan beradu argumen saat itu juga. Nah, ketika ia sudah cooling down beberapa saat kemudian, barulah argumen-argumen yang kita rasa benar disampaikan ke Pak Ahok. Itulah cara para bawahan Ahok (yang sudah sangat memahami) lakukan setiap kali Ahok marah karena suatu hal.

Kemarahan Ahok Beralasan

Saya pikir, semua kemarahan Ahok tentu ada alasan yang melatarbelakanginya. Tidak pernah mungkin ia marah tanpa alasan. Hanya manusia kurang waras yang marah setiap saat tanpa alasan apapun. Dan Ahok itu tidak marah setiap saat, itu dapat dipastikan. Dia akan menjadi sangat marah bila dijumpai kebusukan dan ketidakberesan di birokrasi serta dalam birokrat yang dipimpinnya.

Yang terkini adalah ketika ia sempat naik pitam dan menggebrak meja saat rapat dengan Dinas Kebersihan dan operator kebersihan, Kamis 8 Mei 2014 yang lalu. Amarahnya menyeruak muncul karena beberapa hal. Menurut catatan Liputan6.com, Ahok marah karena mengetahui jumlah pegawai honorer Dinas Kebersihan DKI melonjak dari 3.500 pekerja menjadi 10.721 orang. Kepala Dinas Kebersihan DKI Saptastri Ediningtyas pun terkesan menjadi sasaran tembak kemarahan Ahok sampai menggebrak meja itu.

Padahal menurut Ahok, ia sebenarnya tidak memarahi Kadis kebersihan itu. Yang ia marahi adalah Kepala Bidang Pengendalian Sampah, Made Indrayasa yang menurut Ahok telah menyewakan truk sampah dan melarang sistem angkut sampah per sekali jalan. "Sebenarnya sih saya nggak marahin dia. Saya marahin si Made. Sampah numpuk atau sewa truk sembarangan kamu bisa hitung nggak? Kan konyol tuh, saya nggak mau lagi pakai sistem hitungan absen, saya maunya per wilayah," kata Ahok kala itu (Liputan6.com). Masih menurut Ahok, Made Indrayasa dan pegawai Dinas Kebersihan lainnya memang sengaja mempersulit proses perhitungan jumlah pegawai honorer dinasnya. Bahkan, ia menuding mereka sengaja ingin menipu Kadis kebersihan (Saptastri Ediningtyas) yang baru menjabat selama dua bulan itu.

Dalam rapat evaluasi kontrak Dinas Kebersihan dan usulan kontrak berbasis kinerja bersama para operator kebersihan Kamis 8 Mei 2014 itu, Ahok mendapat laporan bahwa jumlah petugas kebersihan di Jakarta berjumlah 10.721 orang. Padahal, pada masa kepala dinas sebelumnya, jumlah petugas hanya 3.500 orang. Karena itu Ahok menilai jumlah yang tiba-tiba membludak itu patut diduga ada permainan yang dilakukan Dinas Kebersihan dan perusahaan swasta dalam pengangkutan sampah.

Salah seorang perwakilan swasta mengaku untuk satu kota hanya butuh sekitar 834 orang petugas. Nah, perwakilan swasta ini juga mengaku pegawainya tidak diterima oleh Dinas Kebersihan padahal sudah 30 tahun bekerja. Ini jelas berbau sesuatu yang tidak beres. Maka wajar Ahok marah. Apakah Ahok harusnya diam seribu bahasa saja dan tidak perlu marah? Akumulasi ketidakberesan tersebut jelas-jelas membuat kemarahan Ahok memuncak. Ahok spontan menggebrak meja di hadapan para peserta rapat. "Bapak salah ini! Ada permainan ini. Saya minta data ini ada nama orang yang dicoret. Coret semua orang yang baru masuk," tegas Ahok tanpa tendeng aling-aling. Itu adalah kemarahan yang tidak ditutup-tutupi.

Ahok meminta Dinas Kebersihan melengkapi data 10.721 petugas kebersihan dengan nama, alamat, dan nama jalan yang menjadi tanggung jawab petugas itu. Ahok memberi waktu 2 minggu ke depan untuk melengkapi data itu. Jika tidak, Ahok mengancam akan memutasi 90% pejabat di Dinas Kebersihan. Wajarkah Ahok marah dalam hal ini? Sangat wajar tentunya.

Contoh lainnya. Saat menggelar rapat dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta, Ahok meminta anggaran dipangkas 25 persen. Ahok bahkan mengultimatum, bahwa jika jajaran Dinas PU DKI Jakarta tidak sanggup memotong anggaran 25 persen, maka dia sendiri yang akan membangun proyek-proyek infrastruktur dengan dana operasional yang dimilikinya. Tantangan ini ditujukan langsung ke Dinas PU.

"Itu hitungan kami, ada dasarnya, dipotong 25 persen uang itu masih banyak ruang gerak, tidak apa-apa, jadi kalau bapak dan ibu tidak mau lakukan, dua pilihan, saya bangun kasih contoh, kita ambil 100 persen dari hitungan bapak, kita akan proses habis, kita bukan ngancam. "Atau cara kedua, kita tunda, tapi sampai eselon III kita copot. Terbuka, kita perang terbuka kami tidak ada pilihan, yang jelas PU harus potong anggaran. Kita potong 25 persen," demikianlah Ahok ‘bersabda’. Salahkah dia? Tentu tidak.


William Arthur Ward mengatakan, “It is wise to direct your anger towards problems -- not people; to focus your energies on answers -- not excuses.” Arahkan kemarahan Anda pada masalah yang dituju. Pada persoalan yang hendak diselesaikan. Fokuskan seluruh energi Anda pada jawaban, bukan berkutat pada alasan demi alasan tak jelas. Kemarahan yang terarah dan tertuju itu layak diberi sambutan positif. Kemarahan yang muncul demi kebaikan itu patut pula kita apresiasi. Saya membahasakannya sebagai, “marah yang bertanggungjawab”. Kemarahan yang dapat dijelaskan serta dibuktikan kenapa harus muncul ke permukaan.

Menurut James Russell Lowell bahwa, “Usually when people are sad, they don't do anything. They just cry over their condition. But when they get angry, they bring about a change.”Orang yang sedih tidak akan berbuat apa-apa, kecuali meneteskan air mata pada kondisi yang sementara dihadapinya. Namun, orang yang marah justru akan sanggup membuat sebuah perubahan.

Ahok tidak akan bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan birokrat atau bawahan yang malas, penuh tipu daya, koruptor, dan lain sebagainya itu, hanya dengan duduk manis dan duduk diam serta dengan mulut yang terkatup rapat-rapat. Umpamanya hanya dengan bersedih hati dan apalagi menangis. Ia harus marah. Kalau perlu, ya dengan menggebrak meja. Itupun rasa-rasanya belum cukup, tindak lanjuti saja dengan surat peringatan, dan adakan tindakan pencopotan kalau memang tetap tidak mau berubah. Ingat, Jakarta ini sangat keras, bung!

Mengakhiri tulisan ini, saya kembali hendak menyitir apa yang dikatakan oleh Aristotle tentang MARAH itu. Anyone can become angry - that is easy, but to be angry with the right person at the right time, and for the right purpose and in the right way - that is not within everyone's power and that is not easy.” Maka itu, menjadi seorang Ahok memang tidaklah mudah. ---Michael Sendow---

#gebrakmeja

Sumber data: Kompas.com, Liputan6.com, Kompasiana.com, Acara launching buku Ahok Untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun