Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Jokowi dan Objektivitas Semu

4 Juli 2014   06:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:33 3175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di dunia ini, apapun pilihan kita, pasti akan selalu berujung pada sebuah pemihakan. Sesungguhnya, di bawah kolong langit ini tidak akan pernah ada yang murni benar-benar objektif (netral), setidaknya dalam alam pemikiran setiap individu. Objektivitas adalah barang langka yang amat pelik untuk dibahas tuntas dalam waktu singkat. Dalam ilmu psikologi, kita dapat belajar tetang bagaimana dan betapa susahnya seseorang itu bersikap objektif, dalam banyak hal. Lantas apakah bertindak subjektif itu salah? Tidak juga. Apalagi dalam hal memilih satu di antara dua, yang pada akhirnya kita memang harus memilih salah satu diantaranya. Maka ujung-ujungnya orientasi pemilihan kita seobjektif apapun itu pasti ada unsur subjektif di situ. Tanpa kita sangkal pun, ini amat wajar dan lumrah.

Menurut pendapat BusinessDictionary.com, maka secara umum objectivitas itu dikatakan sebagai, “Striving (as far as possible or practicable) to reduce or eliminate biases, prejudices, or subjective evaluations by relying on verifiable data.”Jadi dalam dunia bisnis pun mengenal istilah ini. Penitikberatannya ada pada mengeliminasi bias dan evaluasi yang subjektif. Yang terpenting adalah berdasarkan data-data yang dapat diverifikasi, bukan berdasarkan praduga dan imaginasi belaka.

Dari apa yang pernah saya pelajari, objektivitas itu sesungguhnya adalah pusat dari konsep ilmu filsafat sehubungan dengan realitas dan suatu kebenaran (truth). Kalau kita coba mencari tahu apa sebenarnya terjemahan paling tepat dari objektivitas, maka dalam banyak kamus akan tetap berujung pada pemahaman yang hampir selalu sama. Secara umum, “Objectivity means the state or quality of being true even outside of a subject's individual biases, interpretations, feelings, and imaginings. A proposition is generally considered objectively true (to have objective truth) when its truth conditions are met and are "bias-free"; that is, existing without biases caused by, feelings, ideas, etc. of a sentient subject.” Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar bisa berlaku objektif dalam semua hal seperti itu? Dalam hal apapun? I don’t think so.

Banyak hal yang bisa kita angkat ke permukaan mengenai betapa tidak objektifnya kita sesungguhnya dalam pilpres kali ini. Anda tidak percaya? Mari kita kupas beberapa hal, dengan tetap mengkondisikan pada pemahan dasar objektivitas itu sendiri.

Dalam konteks objektivitas di dunia jurnalistik, objektivitas sering dipahami sebagai netralitas. Bersikap dan bertindak netral dalam meliput, memberitakan, pun menyuarakan. Ini tentu agak berbeda dengan maksud objektivitas dalam pemahaman dunia filsafat seperti di atas tadi.

Objektivitas Semu

Nah, mengenai dunia jurnalistik. Media. Adakah media yang benar-benar objektif selama pilpres ini? Jawabannya, tentu tidak ada. Tidak pernah ada media yang murni menjalankan teguh prinsip objektivitas ini, kalau sekedar mendekati mungkin sih iya. Namun belum pernah ukuran absolute objectivity dipenuhi sebuah media, yang bisa dijadikan sebagai acuan pembenaran bahwa media tersebut sudah benar-benar berlaku objektif. Ini tentu terjadi oleh karena ada begitu banyak faktor yang memengaruhinya, yang kemudian menjadikan media-media ini acap kali lalai atau melalaikan diri dari prinsip objektivitas. Kenapa? Ya karena itulah hidup, itulah bisnis, itulah kita. Dan itulah yang sementara terjadi seberapa kuat pun kita coba menyangkalnya. Inilah yang sesungguhnya nyata dimana-mana. Selalu saja ada pemihakan. Selalu saja ada subjektifitas. There is no such thing called objectivity. Selama masih ada kepentingan pemegang saham, kepentingan pemilik media, kepentingan jurnalis penulis, kepentingan pemasang iklan, kepentingan pemasaran, kepentingan bisnis, kepentingan kelompok-kelompok tertentu, kepentingan ini dan itu, ya mana bisa media tersebut dapat berlaku objektif? Sangat kecil kemungkinannya -- kalau kita tidak mau mengatakan tidak mungkin --.

Kalau memang media mau jujur bersikap objektif, maka tidak mungkin misalnya TV One dihujat begitu banyak orang, tidak mungkin juga Metro TV dihujat banyak orang. Kalau objektif maka berita yang tertampilkan haruslah berisi 50%-50% dari kedua capres. Bobot pemberitaan harus sama. Nara sumber yang diundang harus berimbang dan netral. Ini dan itu harus berimbang. Semua aspek objectivitas ini harus terpenuhi, kalau belum berarti kita tidak objektif.

Ini realitas yang memang harus kita amini, tanpa perlu mengikarinya dan bertengkar panjang, bahwa kita memang tidak pernah objektif. Ini fakta. Yang ada adalah persepsi kita tentang objektivitas. Kita mempersepsikan diri bahwa kita sudah objektif, tapi sebetulnya tidak. Apapun persepsi Anda dan saya pasti dipengaruhi oleh banyak hal. Umpamanya oleh berita, media, lingkungan keluarga, bisikan teman, bisikan kawan, bisikan kolega, bisikan partner, bisikan lingkungan sekitar.

Saya setuju dengan apa yang ditulis oleh Rene Suhardono pada halaman karier di Kompas tanggal 28 Juni 2014. Dia menulis, There is no objectivity, there is only a perception of objectivity. Anda tidak obyektif. Saya tidak obyektif. Tidak ada yang obyektif di kolong langit ini selain persepsi soal obyektivitas itu sendiri. Apapun yang Anda yakini dan percayai adalah refleksi dari keluarga, lingkungan, pendidikan, suku, lingkup pertemanan, perjalanan, dan seluruh rangkaian hidup yang telah Anda lalui…”

Untuk itulah maka dalam pilpres ini, sangat tidak mungkin kita bersikap objektif 100%. Kita semua tidak mungkin objektif 100%, yang membedakan kita hanyalah bobot mendekati objektif itu. Seberapa obejktifkah kita dalam menilai dan memilih calon kita? Seberapa objektifkah kita memperlakukan kubu lawan kita dalam setiap tutur kata maupun tulisan kita? Hanya itu yang membedakan kita. Makanya saya pernah menulis seperti ini: Kampanye hitam mesti dilawan dan oleh sebagian orang masih dikatakan tidak objektif, karena katanya ada kecenderungan saya ke Jokowi-JK. Ya jelaslah dalam hal harus memilih, maka saya akan memilih satu diantara dua. Saya dan Anda tidak akan pernah mungkin bersikap netral atau objektif dalam hal ini. Kalaupun Anda tidak mau memilih (golput) padahal punya hak pilih, itu juga bukan karena Anda netral atau objektif, Anda tidak memilih itu karena subjektivitas pandangan, bahwa keduanya itu (capres) tidak ada yang baik. Mungkin saja menurut Anda bahwa dua-duanya itu sama jeleknya, sesuai persepsi Anda tentang apa itu baik dan jelek tentu saja.

Bersikap Rasional

Oleh sebab itulah, pada pilpres ini saya berusaha bersikap rasional. Supaya saya bisa menerjemahkan bahasa hati saya yang paling dalam, ditunjang apapun yang saya lihat di lapangan. Menggunakan rasionalitas dalam menilai kedua capres ini. Siapa sih yang paling masuk akal, dan paling rasional untuk dipilih. Tentu saya kemudian akan dan harus membandingkan keduanya secara rasional. Seperti apa yang Bung Anies Baswedan pernah bilang. Bahwa jangan kita membandingkan Jokowi dengan kesempurnaan, Anda akan kecewa. Bandingkan Jokowi dengan lawannya (Prabowo), sebab yang maju ke pilpres bukan Jokowi dan kesempurnaan, yang maju adalah Jokowi dan lawannya. Misalnya dari segi menjalankan sholat, bandingkan antara keduanya. Dalam hal menjadi imam, bandingkan antara keduanya. Bagaimana kepiawaian memimpin masyarakat, ya bandingkan juga keduanya. Apapun yang hendak Anda uji, maka bandingkanlah antara kedua capres ini.

Sama halnya juga dengan Prabowo. Jangan membandingkan Prabowo dengan kesempurnaan. Bandingkan Prabowo dengan lawannya. Masalah ketegasan, bandingkanlah Prabowo dengan lawannya. Masalah kemampuan memimpin, ya bandingkanlah ia dengan Jokowi. Dan begitu seterusnya. Karena ada dua yang maju, maka membandingkan keduanya untuk mencari yang terbaik dari yang baik adalah mutlak harus. Bukan membandingkan keduanya dengan kesempurnaan. Sebab kita tidak sedang mencari pemimpin yang sempurna. Nobody is perfect. Bukan pula berlomba-lomba berkampanye hitam untuk menjatuhkan mereka.

Dalam lingkup keluarga saya misalnya. Tidak sedikit dari saudara-saudara dan keluarga saya yang memilih Prabowo. Tapi banyak juga yang memilih Jokowi. Saya punya prinsip dan selalu akan berpikir rasional. Saya akui bahwa pastilah akan memiliki subjektivitas. namun saya berusaha serasional mungkin, dengan penilaian saya, pemikiran saya, dan hati nurani saya. Oleh karenanya saya paling tidak suka kalau ada yang kemudian “memaksa” saya dengan cara apapun untuk melakukan apa yang saya tidak suka, termasuk dalam hal memilih capres.

Ini masalah prinsip dan keyakinan. Hak untuk berbeda adalah hak paling hakiki oleh setiap anak manusia. Makanya saya juga tidak pernah mengatakan yeng berbeda dengan saya itu ‘bodoh’, ‘sinting’, atau dengan sebutan kasar apapun, karena saya juga tidak mau dikatakan demikian. Biarlah kita berbeda, dan perbedaan itu jangan membuat kita bermusuhan, saling cakar, saling ‘bunuh’. Tidak perlu.

Saya berusaha memilih serasional mungkin. Di lingkungan dekat saya, termasuk saudara-saudara saya memilih Prabowo karena katanya ada hubungan kedekatan. Mama Prabowo orang Minahasa asli, Ibu Dora Sigar namanya, tepatnya wanita asal Langowan, sebuah kampung di Minahasa. Tidak mengapa, itu hak masing-masing orang. Saya bilang ke mereka, iya betul, siapa sih yang tidak senang punya Presiden karena kedekatan emosional dan kedekatan demografis kampung halaman seperti itu. Malahan Prabowo itu katanya masih saudara jauh istri saya, nenek dari istri saya itu bermarga Sigar juga. Ibunya dan juga ibu saya, dapat saya katakan adalah “pendukung berat Prabowo”. Namun ini masalah pilihan, dan kita mesti tetap menyukuri perbedaan itu. Bukankah di sinilah juga kesempatan kita untuk belajar berdemokrasi. Anda harus siap berbeda bila memang harus berbeda. Makanya saya bilang ke mereka, “Saya akan berusaha menghindari memilih pemimpin negeri ini ‘hanya’ berdasarkan preferensi kepentingan dan kedekatan suku dan ras.Saya akan memilih berdasarkan banyak hal yang tentu sudah saya pelajari secara mendalam, dan pikirkan serasional mungkin, menurut saya.“ Dan dengan segala subjektivitas saya yang paling rasional, saya akhirnya memilih Jokowi.

Lalu apakah karena pilihan saya itu, dan pilihan saudara-saudara saya yang berbeda itu lantas ketika duduk di meja makan, kita harus (akan) saling lempar piring, gelas, dan sendok. Keluarga saya memilih untuk tidak sampai hal itu terjadi. Saudara-saudara saya pun memilih untuk tidak harus seperti itu. Kawan-kawan terdekat saya pun sama, supaya tidak usah berkelahi karena perbedaan keyakinan dalam memilih.Menghargai perbedaan itu sesungguhnya sangatlah mulia.

Saya masih akan terus menjabat erat tangan kawan-kawan saya. Masih akan tetap memeluk dan bersenda gurau dengan saudara-saudara saya. Dan masih akan tetap mengasihi mereka dengan kasih yang sama. Seberapa berbedapun saya dengan mereka dalam hal keyakinan memilih Presiden. Usai tanggal 9 Juli, siapapun Presiden yang terpilih ia akan menjadi Presiden saya dan juga Presiden mereka. Siapapun yang nantinya jadi Presiden di republik ini. Dan bagi saya, tentu saja, tidak akan kemudian saya berkata, “Saya tidak akan memajang foto Presiden itu karena saya tidak suka dia…!” Selamat memilih. Dan selamat tetap menjadi saudara dan kawan yang saling mengasihi.---Michael Sendow---

#pilihantepat

Twitter: @michusa2000

Note: [Sociologist Michael Schudson: "the belief in objectivity is a faith in 'facts,' a distrust in 'values,' and a commitment to their segregation."It does not refer to the prevailing ideology of newsgathering and reporting that emphasizes eyewitness accounts of events, corroboration of facts with multiple sources and balance of viewpoints. It also implies an institutional role for journalists as a fourth estate, a body that exists apart from government and large interest groups.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun