[Jerman mengangkat Piala Dunia, yang akan dibawa mereka ke kampung halaman. Pic: Kompas.com/
Setelah tim kesayangan saya yang pertama, Brazil, dilumat habis oleh tim kesayangan saya lainnya, Jerman, dengan skor yang amat memalukan untuk ukuran Piala Dunia yaitu 7 - 1, maka kemudian menyisahkan Jerman saja yang selalu ada di dalam hati dan di benak saya. Brazil akhirnya memang harus mengaku kalah secara jantan, ketika masih saja dilibas Belanda 3 – 0 dalam perebutan tempat ke-3. Saya sedari awal memang menghendaki Brazil untuk ketemu Jerman di final, tapi ternyata undian grup mengharuskan mereka, seandainya lolos, untuk berhadap-hadapan di semifinal. Dan Brazil telah gugur, Jerman masih melaju pasti.
Nah, tadi malam menjelang subuh, walau tak bisa hadir secara langsung di stadion yang sangat megah dan canggih Maracana di kota Rio de Janeiro, saya kembali bermaksud hendak memastikan apakah Jerman mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai salah satu tim terkuat dunia. Ini adalah untuk meyakinkan diri saya sendiri, bahwa Jerman akan sanggup mengalahkan Argentina yang juga punya pretasi tak buruk-buruk amat selama piala dunia 2014 ini, apalagi dengan tampilnya andalan Argentina, salah satu pemain terbaik dunia, Lionel Messi.
Prediksi saya yang juga sudah saya twitkan di #TebakSkor sebelumnya, yaitu 2 – 1 untuk kemenangan Jerman,. Ternyata mereka menang tipis 1 – 0, oleh sebuah golden goal dari kaki Gotze, ya hitungannya bisa jadi sama saja. Dan, gol semata wayang Jerman itu adalah pemutusan ‘kutukan’ negara-negara Eropa yang katanya tak akan pernah bisa juara di benua Amerika. Gol Gotze menghantarkan Jerman menjadi negara Eropa pertama kali yang menjadi juara di benua Amerika.
Pertandingan tadi malam luar biasa seru. Argentina, bersama seluruh fansnya sudah menanti tak kurang dari 24 tahun untuk dapat kembali memegang World Cup, namun akhirnya mesti kandas setelah lesakkan gol dari kaki pemain pengganti itu. Para pendukung Argentina yang baru berusia 24 tahun ke bawah tentu belum pernah menyaksikan Argentina menjuarai ajang piala dunia, makanya final ini, Argentina sangat diharapkan mengulangi sukses mereka 24 tahun lalu.
Apa yang saya amati tadi malam, adalah bahwa secara keseluruhan Jerman memang menguasai laga maut tersebut. Penguasaan bola Jerman bisa dibilang berkisar 60-70% dibanding Argentina yang hanya berkisar 30-40 %. Ini sama juga, sewaktu melawan Belanda, ball possession Argentina hanya berkisar 40-an % saja, walaupun akhirnya mereka memang menang lewat adu pinalti. Kurangnya menguasai lapangan menjadikan Messi agak terlihat ‘tumpul’ di depan. Hampir tidak banyak peluang yang dapat tercipta bagi Messi sebagai ujung tombak. Tak jarang pula ia harus turun setengah lapangan untuk menjemput bola.
Saya benar-benar mengagumi gaya bermain Jerman dari sejak dulu. Berbeda dengan Brazil yang ‘hobby’ bermain cepat dan punya ‘gaya’ menari-nari di lapangan dengan kemampuan skill individu di atas rata-rata, apalagi di masa jayanya Romario, Ronaldo Luis Da Lima, Ronaldhino, pemain-pemain yang luar biasa mengesankan itu, maka Jerman tampil sebagai tim yang luar biasa sabar, stabil, dan penuh percaya diri tinggi. Mereka tidak terburu-buru. Irama permainan mereka yang atur. Semalam mereka itu mainnya luar biasa sabar, menunggu waktu yang pas untuk merengsek masuk ke wilayah pertahanan Argentina.
Jerman Juara, Argentina Kalah Terhormat
Kalau dicermati, Argentina sebenarnya bermain dengan gaya bertahan dan mengandalkan serangan balik sekali-sekali.Melihat Argentina tadi malam, tak ubahnya melihat gaya Italy bermain, gaya bertahan. Entah kenapa strategi itu yang dipakai. Banyak pemain yang berjejer di lini belakang dan sebagian di lapangan tengah untuk menghalau serbuan Jerman. Mereka seakan lupa untuk menyerang. Padahal setahu saya, Argentina adalah salah satu kesebelasan yang menganut motto, pertahanan yang terbaik adalah dengan menyerang, apalagi di masanya Mario Kempes dan Diego Maradona. Namun pelatih Jerman rupanya tak kalah pintar, ia menyiasati itu dengan mempertajam kemampuan Jerman bermain bola-bola panjang. Open passing atau menciptakan gol lewat open play adalah salah satu andalan Jerman. Saya jadi membayangkan timnas kita, kelak dapat mengoper bola dengan jitu dan akurat dari satu ujung ke ujung yang lain, dari satu kaki ke kaki yang lain, seperti Jerman ini. Entah kapan.
Koleksi 17 gol oleh tim Jerman sampai babak semifinal lalu, secara terbuka telah menunjukkan kepada kita betapa ampuhnya daya gedor tim panzer ini. Bayangkan saja, 11 gol di antara 17 gol yang tercipta oleh Phillipp Lahm dan kawan-kawan itu lahir dari open play. Jerman memang adalah raja possession dan passing. Tak pelak, kuncian Argentina dengan pertahanan sangat rapat pun masih sanggup dibobol oleh Jerman. Bermain taktis dengan operan-operan panjang baik ke sayap kiri maupun kanan, akhirnya membuahkan gol di babak perpanjangan waktu 15 menit kedua. Sekitar 7 menit yang tersisa tak sanggup dimaksimalkan oleh Messi dan kawan-kawan untuk menyamakan kedudukan. Jerman akhirnya membawa pulang piala dunia ini, untuk ke empat kalinya, menyamai rekor Italy.
Philipp Lahm, Mats Hummels, Bastian Schweinsteiger, Toni Kroos, dan Miroslav Klose, serta pemain-pemain Jerman lainnya, telah menunjukkan kehebatan mereka di lapangan hijau. Meskipun Bastian harus menderita luka di wajahnya, hingga pelipis dan jidatnya bercucuran darah akibat diganjal tangan pemain Argentina, ia tetap tampil prima. Ada juga dua pemain Jerman dan Argentina yang sampai tergeletak di lapangan karena rupa-rupanya bukan bola yang mereka tanduk, tetapi kepala sama kepala yang beradu di udara.
Apapun hasilnya, bagi saya kedua tim ini sudah bermain baik dan bagus. Yang kalah pun, kalahnya secara terhormat. Tentu ada yang lebih baik dari yang baik. Argentina pun dapat tetap berbesar hati, karena untuk pemain terbaik piala dunia kali ini, ternyata jatuh ke tangan Lionel Messi. Ia menjadi bintang lapangan selama piala dunia ini. Messi terpilih sebagai pemain terbaik Piala Dunia dan berhak membawa pulang Golden Ball 2014. Lionel Messi terpilih sebagai pemain terbaik oleh karena penampilannya yang memang sangat luar biasa menyokong Argentina dapat melaju sampai final. Pemain berusia 27 tahun ini mencetak empat gol dan satu assist dalam tujuh penampilannya. Pada Piala Dunia empat tahun lalu, pemain Jerman Thomas Mueller terpilih sebagai pemain terbaik. Di Piala Dunia 2014 ini, Mueller berada di posisi kedua di bawah Messi, ia pun berhak membawa pulang Silver Ball.
Messi merupakan tipikal pemain yang tak mengenal takut. Ia sering bermain ketat di wilayah pertahanan lawan, beradu dengan bek lawan pun akan dilakoninya, lantas kemudian pada saat yang tepat ia bermanuver menghindar meliuk-liuk dengan gesitnya untuk membobol gawang lawan. Jerman tentu mengetahui kecepatan dan kegesitan Messi bermanuver. Karena itulah pada pertandingan tadi malam terlihat jelas pelatih tim Jerman Joachim Loew sepertinya sedikit mengubah taktik bermain timnya. Kalau biasanya mereka membuka ruang sangat lebar di lini belakang, yang sering menyebabkan garis pertahanan terlihat kosong, kali ini ada tiga pemain yang mengunci pergerakan seorang Messi. Dan itu terbukti cukup efektif.
Kekalahan Argentina ini tentu mengingatkan kita pada beberapa sejarah laga final piala dunia yang amat dramatis dan menegangkan. Betapa menit-menit terakhir itu dapat saja berubah menjadi ‘neraka’, bagi tim yang kalah, dan tentu saja ‘sorga’ bagi tim yang menang. Masih kental dalam ingatan kita tangis yang menetes para fans dan pemain-pemain Swiss, pada saat tim Swiss melawan Argentina di sebuah pertandingan yang luar biasa mendebarkan, hingga mencapai penghujung menit-menit terakhir. Kesunyian sontak muncul dan kesedihan menampak di raut wajah mereka yang mendukung Swiss kala itu, ketika di menit ke 118, Angel di Maria berhasil membobol gawang Swiss. Lionel Messi dan Angel di Maria mengandaskan harapan Swiss pada menit-menit terakhir.
Sejarah yang sama kembali berulang. Tujuh menit sebelum pertandingan perpanjangan waktu usai, harapan menjadi juara pun pupus. Namun kali ini hal itu terjadi pada timnya Di Maria dan Messi, Argentina. Gotze, si pemain pengganti itu berhasil mengoyak-ngoyak harapan Argentina untuk memboyong piala dunia, setelah mereka menanti 24 tahun lamanya. Di layar TV, saya melihat wajah-wajah pendukung Argentina yang tertunduk lesu. Ada air mata yang tak kuasa mereka tahan untuk tidak menetes. Kalau mungkin tidak ada gol Gotze di menit-menit terakhir, tentu sejarah bisa saja lain. Tetapi, inilah sepak bola. Pertandingan pada laga final memang mesti ada yang menang, dan harus ada yang mengaku kalah.
Sportifitas dalam sebuah pertandingan final dan akbar sudah ditunjukkan oleh Brazil pada laga semifinal. Dihantam Jerman 7 – 1 di kandang sendiri, dan dihadapan ratusan ribu pendukung mereka, tidak membuat mereka marah dan bertindak tidak sportif. Kekalahan diterima dengan tegar dan lapang dada. Menjadi satu-satunya kesebelasan yang pernah menjuarai piala dunia 5 kali (kini ada Jerman) mungkin menjadi alasan mental mereka begitu kuat dan sportif. Tidak ada rekayasa hasil dan kemenangan. Tidak pula ada sakit hati berlebihan.
Subuh tadi juga, Argentina sudah menunjukkan kelas mereka sebagai tim dunia. Menerima kekalahan dengan tegar dan sportif. Mereka sudah melakukan segalanya demi sebuah kemenangan. Memberikan yang terbaik yang mereka bisa supaya menang, namun akhirnya mereka harus kalah. Kalah secara terhormat, ketika mereka dapat menerima kekalahan dengan rela dan legowo. Memampukan mereka melangkahkan kaki keluar dari lapangan hijau itu, dengan wajah yang tegap dan perasaan lepas.
--Michael Sendow--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H