Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berkawan dengan Penyakit Mental

19 Februari 2021   00:23 Diperbarui: 19 Februari 2021   00:34 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya akui kesalahan self diagnosed ADHD saya, dengan polosnya mengikuti test online dan menyamakan dengan diagnosa. 

Tahun lalu, saya terkejut sekaligus merasa keren dengan istilah yang tertera di kertas rujukan BPJS ke poli jiwa, Bipolar Affective Disorder. Sebelumnya, saya konsultasi online dengan kemungkinan kepribadian Borderline. 

Bahasanya keren, tapi saya juga menyadari pengalamannya tidak sekeren namanya. Serasa digodok dan suara-suara di dalam kepala semakin berisik seolah semua karakter ciptaan (yang baru saya tahu istilahnya alter ego) merespons, yang terdalam saya bisa melihat suami saya yang mungkin juga banyak tanda tanya meskipun dengan rela beberapa kali rutin antar saya ke poli jiwa. 

Saya bertekad memang ke psikiater, merasa ke psikolog gonta ganti tidak menemukan jawaban mengapa emosi rasanya seperti berada di atas roller coaster. Orang-orang hanya bilang dan mencap saya galauan. Saya temperamen, pemalas, dan di beberapa tempat kerja saya dikenal rajin, bahkan rela lembur bergadang. Saya belum tahu apa itu manik, apa itu depresi. Bahkan satu hari suasana jati bisa berubah dengan cepat. 

Tapi yang paling tidak saya tahan adalah mengontrol pikiran untuk menyiksa diri jika panik, gelisah yang tidak tahu sebabnya. Saya memilih psikiater karena sejak melahirkan, anak yang begitu saya kasihi dan tunggu kelahirannya berubah ingin saya sakiti

Saya mengingat ke belakang, mengapa saya yang paling rentan sejak remaja yang suka menyakiti diri, bermain dengan dunia sendiri, berteman dengan banyak alter ego. Mengapa saya yang kesulitan mengontrol luapan emosi di dua titik yang sering berlarian dan melonjak tiba-tiba. Di saat masalah bertubi-tubi saya yang tidak bisa mlengontrol tawa dan emosi, lalu lalu kehilangan beberapa memori.

Saya ingin tahu banyak, berkomunitas dengan sesama penyintas. Mereka tampak rentan, tapi punya kelebihan. Kreativitas seni. 

Mereka tampak rentan tapi saling bertukar pikiran dan pengalaman. Mereka, saya, bukan buangan, kami punya tujuan dan impian. 

Di fase depresi saya hanya butuh pertolongan dan pengertian, di fase manik saya butuh dukungan dan pemakluman. 

Saya bersyukur, mencapai beberapa prestasi. 

Saya bersyukur atas segala kelemahan, karena itu saya jelas sadar diri butuh bantuan, apalagi dariNya yang empunya kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun