Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku dan Kebaya, Identitas Perempuan Indonesia

24 Juli 2019   22:45 Diperbarui: 24 Juli 2019   22:59 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (tengah) dan teman-teman mendampingi rombongan siswa berkeliling Kota Tua Jakarta dengan berkebaya | dokpri

#Selasaberkebaya, hashtag yang akhir-akhir ini mondar - mandir di sosial media. Dalam hati saya merasa bangga menjadi bagiannya, senyum-senyum sendiri menyadari kini langkah perempuan-perempuan sok pede berkebaya hari ginii, melawan arus jaman now akhirnya maju beberapa langkah untuk menebarkan virus berkebaya.

Saya mulai ikut sok pede berkebaya sejak 2016. Awal mulanya karena seorang teman dari komunitas Perempuan Berkebaya (PB) ikut blusukan bareng ke Cirebon, ya kami dari komunitas online Indonesia Djaman Kepungkur. Duh, cantiknya ibu itu berkebaya, padahal ini kan perlu jalan kaki naik turun kendaraan, naik turun di Goa Sunyaragi juga.

Dari awal perkenalan itu, akhirnya saya mau ikut kegiatan PB di akhir tahun. Saya bongkar lemari cari kebaya, ya koleksi kebaya seragam nikahan keluarga, dan merasa senang koleksi kain lawas dari mbah-mbah dan punya mama bisa saya ambil juga. Langsung mix and match.

Ternyata di PB hanya boleh panggil 'mbak', bukan ibu, oma, atau tante. Duh, PR nih, lirak lirik malah saya yang paling imut (muda). Alasannya, karena kami semua perempuan berhenti di usia 35 tahun, jadi muda terus. Di sana saya bertemu dengan beberapa mbak-mbak dari pelbagai latar belakang, dan salah satu pendiri PB yang saat ini juga mengelola komunitas serupa tapi dengan fokus kegiatan literasi dan budaya, bernama Chattra Kebaya, dan saya pun ambil bagian di sini.

Seru-seru jika kami bercerita tentang pengalaman berkebaya sehari-hari. Bahkan dua teman kami sudah menuangkannya dalam buku tentang pengalaman berkebaya, dan salah satunya juga menulis buku tentang sejarah kebaya.

Kok bisa ada PB ya? Sebenarnya para pencetus komunitas ini adalah jurnalis-jurnalis perempuan yang suka beli kain saat tugas liputan. Karena sayang dijadikan koleksi akhirnya mereka tercetus ide untuk pakai saat pertemuan-pertemuan. Nah, akhirnya merembet lah pakai kebaya dong.

Mereka itu ya, bahkan naik gunung pun pakai kebaya lengkap dengan kainnya, travelling ke luar negeri juga gak malu berkebaya, sekalian jadi duta kebaya kan. Nah, yang bikin malu itu ternyata orang luar sana tidak paham itu pakaian nasional Indonesia. Nyesek kan!! Eh terus sepatunya? Lho, senyamannya saja, pakai sneakers juga tidak apa-apa, bawa ransel masih tetap cantik dilihat. Masing-masing punya style.

Adapun teman saya seorang biker tetap berkebaya naik motor kemana-mana, bawa ransel, pakai kets. Kemana-mananya itu jarak jauh, Jakarta-Bandung, Jawa Tengah -- Surabaya lalu ke Jakarta lagi. Bersepeda pun juga dia kebayaan. Cari sensasi? Enggak, emang hobi aja dan ternyata nemu satu komunitas yang punya hobi sama. Beberapa mbak-mbak itu aslinya tomboy, jadi pas teman-teman lama melihat mereka, melongolah.. kok jadi anggun?!

Kalau pengalaman saya sendiri? Saat itu saya mempunyai usaha kecil perjalanan wisata sendiri, sekaligus saya menjadi penulis travel untuk website pemerintah. Jadi, saya semakin pede pakai kebaya untuk antar tamu, untuk liputan, ke tempat ibadah, bahkan saya dan teman-teman komunitas pernah memakainya saat lomba keliling museum di TMII.

Ada kendala berkebaya? Ada saja sih yang menganggap, "eh kamu kan masih muda, pakai baju kayak gini sih?" Ya, sampai tukang jahit langganan menatap kebaya saya terus, "Duh, jadi ingat nenekku.." Dari mama, mantan pacar yang jadi suami hmmm, itu mereka yang cukup sering protes. Win-win solution lha akhirnya, kalau sama dia saya tidak berkebaya, tapi di kegiatan lain bersama komunitas maupun pekerjaan saya berusaha untuk tetap berkebaya. Minimal atasannya, karena tempat saya mengajar dulu mewajibkan guru memakai celana panjang.

Sukacitanya, tentu banyak. Salah satunya saya diliput salah satu program TV, karena teman komunitas yang mengenalkan saya kepada mereka sebagai anggota termuda. Sebenarnya, kalau di Chattra Kebaya yang sekarang saya aktif di sini, di Yogyakarta katanya banyak yang seusia SMA. Nah ini karena di Jakarta saja kali yaa, jadinya sayalah yang diliput.

Jika ada pertanyaan-pertanyaan, karena saya masih sok pede :D silakan di kolom komentar. Kok pede? Iya pede saja, karena setiap kami bergerak dengan kebaya untuk kegiatan sehari-hari bukan saat kondangan ya, banyak yang melirik dan tanya-tanya.

Semoga, berkebaya bukan menjadi tren sementara tapi benar-benar jadi keseharian seperti layaknya yukata, kimono, atau sari di daerah asalnya dan menjadi identitas milik perempuan bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun