Ini judulnya terkesan nyuruh atau perintah, atau saran ya? >.< Tergantung dari sisi mana kamu membaca :D Pemuda itu termasuk pemudi ya, jadi tentunya bukan hanya untuk kalangan laki-laki saja, perempuan juga.
Saya bahas ini setelah membaca setengah halaman dari buku Merayakan Guru Bangsa, dari Kemendikbud. Tentunya, sambil berharap ada tindakan perubahan dalam cara mengajar dan membuat kurikulum.
Juga, saya teringat akan teman-teman saya yang perantauan setelah sekolah eh pada maunya balik lagi ke kota? Trus saya tanya, "kenapa, gak kerja di desa?" Beragam jawaban tapi serupa, " sedikit peluang..", "gak hasilin duit..", dan lain sejenisnya.
Di dalam buku saya baca, serupa dengan pemikiran (abstrak) saya sebelumnya, mempertanyakan mengapa pelajar itu orientasinya ke kota, meninggalkan desanya?
Faktornya banyak hal, tapi yang terutama adalah pola pendidikan yang mengarahkan kehidupan ke kota, modernitas, dan sebagainya itu lebih baik. Semakin tinggi jenjang pendidikan malah dirasa semakin ingin pelajar itu pergi mencari kehidupan lebih baik ke kota. Lalu, adakah yang kembali ke kampung untuk melestarikan/ membangunnya?
Nah, setiap ada lulusan baru, bersiaplah kota menimbun banyak pekerja-pekerja baru, bahkan pengangguran. Bukan hanya soal kota, tetapi pedesaan dipaksakan untuk menjadi sebuah kota yang dikatakan itu "modern", atau desa berpotensi untuk dieksploitasi besar-besaran dan menghancurkan kekayaan alam juga tradisi budaya yang ada. Salah satu contohnya adalah dengan tanah asal mama Aleta Baun di Molo, Nusa Tenggara Timur, ia menentang eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar karena merusak kekayaan turun menurun, bukan hanya lingkungan tapi juga tradisi budaya.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Kenalilah potensi kampung kita. Mau itu setandus apapun tanah kelahiran, kiranya pendidikan dan asuhan orangtua mengajarkan bahwa ada potensi yang menjadi tradisi, dan itulah kekayaan unik dari tempat asal.
Pasti ada, dari pertanian, dari hasil perikanan, atau kadang hal yang tidak terduga dapat kita dapatkan yang itu bisa membangun desa juga. Salah satu contoh dari tanah kelahiran Mama Aleta Baun adalah  bahwa alam tempatnya memberikan kehidupan, dari makanan, hingga pekerjaan untuk menghasilkan kain tenunan yang indah.
Tidak ada salahnya memanggil orang-orang ahli untuk menggali apa yang perlu dilakukan bagi kemajuan desa. Atau, jangan-jangan kitalah sang ahli tersebut, dan bentuklah kerjasama tim sesuai dengan talenta masing-masing. Lho, itu kan fungsinya kita bersekolah atau mengenyam pendidikan?
Menurut feeling so sotoy saya, ke depan Indonesia tidak akan lagi kebanjiran pengangguran, atau pun sulit mencari lahan pekerjaan. Semua sama rata untuk membangun daerah masing-masing.
Lestarikan Kekayaan Tradisi.Tentu ini masih merupakan satu kesatuan dari poin di atas. Keunikan tradisi, keseimbangan dengan alam, itu yang harus dijaga. Pakailah ide kreatif kita untuk membangun tanpa harus ketinggalan jaman. Lagipula, jangan malu atau merasa tidak kekinian jika kamu hidup di desa, atau jika kamu mengurusi hal-hal yang tidak dilakukan orang kota. Eh, siapa bilang orang desa itu norak,coba deh orang kota ke desa, pasti gak kalah norak.
Sebenarnya, saya pun juga begitu. Norak kalau di desa. Saya merasa perlu untuk membangun desa, meskipun itu bukan desa saya. Tapi, jujur kan bingung apa yang harus dilakukan. Ya, saya berharap ada keberanian soal itu, seberapa beraninya saya dengan tantangan, tidak tahu potensi, harus tahu dengan lingkungan sekitar, apa yang harus saya lakukan bukan hanya bagi keluarga saya kelak, tapi juga untuk orang-orang sekampung. Tentu, ya tentu bukan hanya saya saja yang berdiri sendiri, melainkan perlu tangan-tangan orang lain dan dukungan orang terdekat.
Nah, sama-sama yuk, mari berani membangun desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H