Mohon tunggu...
Michelle Gabriella Lastri
Michelle Gabriella Lastri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STT Satyabhakti Malang - Bendahara BEM 2023/2024 - Anggota Permasti Malang

Saya seseorang yang mandiri dan ceria. Hobi saya adalah berolahraga dan juga membaca novel, saya menyukai hal-hal yang ekstrim karena merasa bahagia dan bangga ketika melakukannya. Saya berusaha untuk menulis setiap hal-hal indah dan bermakna dengan harapan bisa menolong siapa saja yang membacanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pernikahan vs Perceraian

14 Juli 2024   19:29 Diperbarui: 14 Juli 2024   20:00 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN


Pendahuluan

Setiap orang percaya memiliki tanggung jawab untuk menjadi berkat di mana pun dia berada,[1] perkataan yang sangat mudah untuk dikatakan namun pada faktanya sangat sulit untuk dilakukan.  Perkataan tersebut sangat menarik karena dapat menggambarkan situasi yang berada pada jemaat di Korintus.  Korintus menjadi sangat menarik untuk dibahas karena di dalam konteks agama dan sastra, kota ini memainkan peran yang krusial, terutama dalam perjalanan perkembangan agama Kristen awal.  Jemaat di Korintus adalah jemaat yang kaya akan karunia-karunia Rohnya, bahkan Korintus menjadi salah satu tempat yang didatangi banyak rasul untuk mengajar mereka.[2] 

Pemilihan topik penelitian tentang Korintus, selain untuk memenuhi nilai kelulusan, penulis juga merasa senang karena relevansi dari kota Korintus dalam memahami perkembangan manusia secara lebih luas di jaman itu.  Dalam penelitian ini, fokus kami adalah untuk menggali lebih dalam tentang kota Korintus sebagai simbol keberagaman, dinamika sosial, dan keagungan peradaban kuno.[3]  Ada beberapa alasan mengapa kami memilih kota Korintus.  Pertama, Korintus telah menjadi panggung bagi berbagai peristiwa penting, dengan demikian, penelitian tentang kota Korintus dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang perkembangan sejarah, politik, ekonomi, dan sosial dimasa itu.  Kedua, peran kota Korintus dalam sejarah Kristen awal sangat signifikan sehingga kota ini menjadi salah satu dari sedikit tempat di mana rasul Paulus mendirikan jemaat Kristen dan menulis surat-suratnya yang berpengaruh.  Kemudian yang terakhir kami ingin mendalami cara berpikir Paulus untuk menyelesaikan setiap permasalahan di Korintus, lebih tepatnya dalam ayat Korintus 7:1-40 mengenai perkawinan.

 

Konteks Historis

Korintus adalah sebuah kota yang legendaris dalam sejarah Yunani kuno, sampai-sampai menjadi pusat perhatian karena terletak di perbatasan antara daratan Yunani utara dan Peloponnesos selatan, Korintus bukan hanya menjadi pusat perdagangan yang penting, tetapi juga tempat di mana berbagai budaya bertemu dan berpadu.[4]  Sebagai Kota yang terkemuka yang telah dibangun kembali oleh orang Roma di bawah pimpinan Yulius Caesar tahun 49 SM, Korintus memiliki hal-hal yang bersifat positif dan negatif sebagai kota maju saat itu[5],  hal negatif kota tersebut terkenal dengan kebobrokannya sebagai kota yang penuh dengan kejahatan dan percabulan, ada sebuah kuil, kuil itu terkenal karena terdapat salah satu dewi kasih Yunani yang bernama Aphrodite.  Di tempat itulah banyak pelacur-pelacur yang mengabdikan dirinya untuk dipersembahkan kepada dewi tersebut, yang biasa kita kenal dengan sebutan pelacur bakti.[6]

Kitab Korintus ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus ketika dia berada di Efesus (1 Kor 16:8).[7]  Keaslian ini didukung oleh Klemen dari Roma sekitar tahun 95 M, bahkan menjadi kutipan paling awal di mana penulis kitab Perjanjian Baru (Korintus salah satunya) disebutkan nama penulisnya[8]  dan surat ini ditujukan langsung kepada jemaat di Korintus untuk memberikan solusi dari setiap pertanyaan-pertanyaan jemaat di sana mengenai perkawinan dan perceraian,[9] perkawinan yang dimaksud tidak seperti pada umumnya, melainkan hubungan yang menjurus kepada perzinahan,[10] karena mereka bergesekan dengan budaya dan berbagai pandangan sehingga orang Kristen di sana menjadi terpengaruh oleh penyesat-penyesat dari kepercayaan lain.[11]

 

Konteks Sastra

Konteks Jauh

Di dalam pasal yang ke 6, Paulus sedang membahas isu mengenai percabulan karena permasalahan itu menempati posisi pertama di dalam dosa seksual (Porneia),[12] karena Paulus mengarahkan perhatiannya kepada kelemahan moral, Paulus membukanya dengan mengutip semboyan yang digunakan jemaat Korintus untuk membenarkan praktik seksual mereka, setelah itu Paulus menegaskan keberatannya dan memberikan tegurannya dengan menggunakan pertanyaan retoris "Tidak tahukah kamu."[13] Paulus berkata di antara semua dosa, dosa perzinahan adalah dosa yang tidak hanya menghina tetapi juga merusak tubuhnya,[14] maka dari itu Paulus memberitahukan kepada mereka, walaupun segala sesuatu diperbolehkan tetapi Paulus tidak akan membiarkan dirinya untuk diperhamba oleh apapun.[15] 

Konteks Dekat

Perikop ini membicarakan mengenai pernikahan dan seksualitas yang disinggung juga oleh Paulus ketika ia membicarakan mengenai pernikahan baik sesama orang percaya maupun yang kawin campur,[16] terdapat pembagian tiga kelompok yang berbeda,[17] kelompok yang tidak kawin atau para janda, yang kedua kelompok yang sudah menikah dan Paulus memberikan saran untuk tidak boleh bercerai, dan kelompok yang terakhir adalah perkawinan antara orang beriman dan tidak beriman.[18]  Jemaat di Korintus sedang menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan tentang bagaimana menjadi seorang Kristen yang benar dan mereka seringkali memiliki prinsip yang bertentangan dengan ajaran Kristiani.[19]  Harus di ingat dengan baik Rasul Paulus menulis surat ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu dan bukan mengajarkan suatu teologi pernikahan yang lengkap didalam pasal ini.[20]   

Eksegesis

Ayat 10-11      Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.  Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya.  Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.

Dalam ayat ini Paulus ingin agar orang yang perkawinan harus setia dan saling menghormati.[21]  Paulus bahkan mengatakan bahwa seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya dan itu didasarkan oleh firman Tuhan.  Pendekatan Yesus atas persoalan ini terdapat dalam Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12.  Dimana Yesus mengatakan bahwa seorang percaya tidak boleh bercerai kecuali karena zinah.  Perzinahan ini berasal dari kata porneia yang berarti kebejatan atau percabulan dari terjemahan Yunani klasik. 

Dalam literatur Yunani sekitar waktu yang sama dengan Perjanjian Baru, porneia digunakan untuk merujuk pada percabulan, prostitusi, inses, dan penyembahan berhala.  Arti porneia dalam Perjanjian Baru tampaknya merupakan konsep umum tentang penyimpangan seksual.  Kata-kata Yunani lainnya digunakan untuk merujuk pada bentuk-bentuk penyimpangan seksual tertentu, seperti perzinahan.[22]  Maka apabila hal-hal yang melanggar moral seperti keterangan di atas dilakukan oleh salah satu pasangan maka diperbolehkan untuk bercerai.

Tidak hanya sampai di situ, bila memang pernikahan mengalami perceraian yang tidak dibenarkan maka kedua pihak hendaklah hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya (bentuk waktu aoris yang menekankan peristiwa sekali-untuk selamanya, tanpa ada perceraian lagi sesudahnya).[23]  Ini menunjukkan bahwa baik pernikahan ataupun perceraian memiliki nilai yang saklar yang tidak bisa diputuskan menurut keinginan semata tetapi harus diputuskan dengan penuh pertimbangan yang mengarah kepada masa depan.

 

Ayat 12-14      Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan,  katakan : kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak  kudus.

Dalam ayat yang ke 12-14  kata "tidak beriman" dalam bahasa Yunani apioton (apistos) memiliki arti yang tidak dapat dipercaya atau mustahil atau yang tidak percaya; yang tidak beriman.[24]  Namun dalam ayat ini ditujukan kepada orang yang tidak percaya atau yang tidak beriman, kata tidak percaya merujuk kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan kepercayaannya kepada hal-hal lain atau dapat  dikatakan bahwa ia bukan orang Kristen, terlebih  jikalau mereka bukan orang yang percaya maka sangat sulit untuk diandalkan dalam beberapa hal sebab bisa saja mereka berkhianat. 

Ayat ini membahas tentang terjadinya suatu pernikahan antara dua pasangan yang di mana memiliki keyakinan atau memiliki iman yang berbeda, dan pada masa itu menurut orang Yahudi mengharuskan penyingkiran orang yang tidak percaya[25] pada masa itu, sesuai dengan pengajaran dan kepercayaan orang-orang Yahudi bahwa tidak boleh terjadi pernikahan antara dua orang yang dimana salah satunya bukan orang kristen namun jika hal itu terjadi maka mereka boleh berpisah.  Atas hal ini, Paulus harus memberikan keputusannya sendiri, karena tidak ada perintah yang pasti dari Yesus yang dapat ditunjukkan oleh Paulus kepada mereka sebagai acuan[26]. 

Paulus mengatakan pendapatnya dalam ayat ini bahwa jika pasangan tidak beriman ini hendak bercerai maka itu diperbolehkan dan salah satu pasangannya yang adalah orang percaya tidak menanggung dosa perceraian tersebut.  Tetapi jikalau mereka berdua tidak ingin bercerai maka janganlah bercerai sebab salah satu dari pasangan yang percaya akan menguduskan yang tidak percaya.

Kata dikuduskan dalam bahasa Yunani giaotai (hagiazo), yang berarti menguduskan; mentahbiskan; menghormati sebagai yang kudus[27]  yang dimaksudkan oleh Paulus di dalam ayat ini ialah hubungan perkawinan dikuduskan oleh salah seorang yang percaya dan itu tidak berarti bahwa suami itu dikuduskan oleh istrinya atau istri itu dikuduskan oleh suaminya, tidak berarti bahwa pihak yang tidak percaya diselamatkan oleh pihak yang percaya namun hubungan mereka yang dikuduskan dan bukan keselamatannya,[28] maka di dalam hubungan pernikahan yang seperti ini hubungan pernikahan mereka dikuduskan oleh Allah dan bukan tentang keselamatannya. 

Suami atau istri yang tidak percaya dan anak-anak dari pernikahan campuran dikuduskan ini tidak berarti bahwa seorang anak yang lahir dalam keluarga di mana hanya salah satu orang tua saja yang percaya yang  dilahirkan menjadi anggota keluarga Kristus,[29] maka artinya pernikahan campuran itu tetap dikuduskan namun bukan berarti bahwa hanya pasangan yang tidak beriman itu saja yang dikuduskan melainkan anaknya juga berhak mendapatkannya dan anaknya itu sendiri juga menjadi anggota keluarga Kristus.  Dan selama pasangan yang tidak beriman mempunyai toleransi terhadap iman pasangannya yang beriman, persatuan perkawinan tetap ada[30] maka itu berarti bahwa mereka akan tetap di satukan dalam pernikahan itu meskipun mereka tidak beriman. 

Ayat 15-16      Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat.  Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.  Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?

 Seperti yang telah diutarakan dalam eksegesis ayat sebelumnya, bahwa jika salah satu dari pasangan yang tidak beriman hendak bercerai maka dengan hal itu salah satu pasangan yang percaya itu tidak terikat.  Namun Paulus menekankan bahwa bukan itu yang dikehendaki oleh Tuhan, melainkan hidup dalam damai sejahtera.  Oleh sebab itu betapa pentingnya mempertahankan ikatan karena Allah memanggil umat-Nya untuk hidup dalam damai sejahtera.  Maka dalam kasus perceraian Paulus mengizinkannya dengan tujuan agar terpelihara keadaan yang damai (bila pihak yang ingin bercerai tidak diizinkan maka akan terjadi perang).[31]

Tuhan menghendaki pernikahan hidup dalam damai sebagaimana seperti kedua pasangan memilih untuk hidup bersama.  Melalui hubungan yang tidak seiman ini, Tuhan ingin memakai pihak yang percaya untuk menjadi alat Tuhan menyelamatkan pihak yang tidak percaya.  Menyelamatkan dalam bahasa Yunaninya sesuai dengan penulisan asli dari ayat ini ialah sozo yang berarti "menyelamatkan," "membantu," dan "membebaskan."[32]  Maka ini akan berlaku terhadap ikatan perkawinan campuran bila keduanya tetap ingin bersatu dalam ikatan.  

Tuhan ingin bahwa kedudukan sosial seharusnya tidak menjadi alasan dalam ikatan pernikahan untuk terjadinya perceraian.  Memang dalam hukum Yahudi seorang wanita diperbolehkan menceraikan suaminya karena yang bertanggung jawab atas janji perkawinan adalah suami.  Namun hukum ini ditentang karena tidak sesuai dengan firman Tuhan.  Baik istri maupun suami harus bersama-sama menjaga ikatan perkawinannya agar tetap berjalan dengan damai terlebih bila kedua pasangan tersebut merupakan orang percaya.

 

Eksposisi

Pembahasan Paulus mengenai pernikahan dan perceraian terjadi karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh para pemimpin di Korintus melalui penulisan suratnya kepada Paulus agar dia memberikan jawaban atas delapan persoalan yang diajukan kepadanya, delapan persoalan tersebut menyangkut pernikahan, perceraian dan kewajiban seorang ayah terhadap anak gadisnya.[33]  Daftar masalah seperti ini menimbulkan kesan bahwa hampir seluruh jemaat di Korintus telah ditimpa masalah yang sama,[34] latar belakang persoalan yang muncul di sini karena pengaruh dari adat istiadat Romawi, ditambah lagi pola pikir golongan Stoa dan Sinisme, hukum-hukum kesucian dan berbagai teologis eskatologis/asketis.[35]

Pernikahan bukanlah suatu dosa atau sebuah kesalahan, dalam kitab ini Paulus mengutarakan bahwa pernikahan di kota Korintus dilakukan mencegah adanya praktek amoral yaitu percabulan.  Saat ini, bila dilihat dari perkembangan zaman masih saja terjadi percabulan atau seks diluar nikah dan bahkan bagi beberapa orang ini merupakan hal yang lazim.  Firman Tuhan mengatakan bahwa jika seseorang tidak bisa menahan hawa nafsunya hendaklah ia menjalin pernikahan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah pelarian dari hawa nafsu seseorang.  Hendaklah pernikahan dipandang sebagai suatu sakramen yang kudus dihadapan Allah.

Pernikahan dengan sesama orang percaya adalah anugerah yang perlu disyukuri dan dinikmati.  Sebagai orang percaya yang telah mengenal dan mengetahui perintah Tuhan, maka seharusnya pernikahan orang percaya tidak akan berakhir dalam hukum sidang perceraian melainkan berakhir saat maut yang memisahkan.  Pernikahan orang percaya akan menciptakan anggota keluarga Kristus yang utuh.  Maka dianjurkan sebagai orang yang percaya hendaknya memilih pasangan yang juga percaya dan sungguh dalam imannya untuk menghindari terjadinya perceraian.

Pernikahan campuran pun tidak bisa dihindari.  Ketertarikan dengan seseorang yang non-Kristen terkadang tidak menjadi alasan untuk berakhirnya hubungan tersebut.  Setiap orang memiliki prinsipnya sendiri, ada yang merasa bahwa kepercayaan bukanlah suatu penghalang bagi cinta, ada juga yang percaya bahwa justru perbedaan akan menjadi indah bila dipersatukan.  Seseorang yang masih bermain-main dalam imannya berpotensi untuk mengalami hal demikian, yaitu perkawinan campuran.  Namun bila hal ini pun terjadi, kita bisa menarik kisah jemaat Korintus ini, yaitu memilih bertahan dalam ikatan tersebut dan hidup dengan damai. 

Pernikahan campuran tidak selalu berakhir pada kegagalan, bila keduanya sudah bersepakat untuk tetap menjaga ikatan pernikahan tersebut maka pernikahan itu akan tetap berjalan dengan baik.  Maka bila seseorang mengalami hal yang demikian, berdoalah agar kiranya Tuhan tidak lepas tangan begitu saja melainkan campur tangan dan menguduskan pernikahan itu melalui pihak yang telah percaya.

Pernikahan memang tidaklah mudah, oleh sebab itu pernikahan harus penuh dengan pertimbangan.  Perceraian bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam ikatan pernikahan.  Bila kita lihat dalam injil Matius 19:9, Tuhan dengan jelas berfirman bahwa perceraian bertentangan dengan hukum-Nya.  Juga, dalam surat Korintus, Paulus menjadikan perceraian sebagai opsi terakhir dalam pemecahan sebuah masalah.  Namun berbeda dengan zaman sekarang ini, dimana perceraian sering sekali menjadi pintu keluar bagi permasalahan sepasang kekasih.  Hal ini pastinya membingungkan pihak gereja dalam mengatasi kasus demikian.

Bila mengikuti apa yang tertera dalam Alkitab, perceraian bisa terjadi bila terjadi perzinahan atau bila salah satu orang yang tidak percaya meminta untuk bercerai.  Orang yang berzinah telah menjadi cemar dan ini menjadi alasan yang cukup kuat untuk sepasang kekasih bercerai.  Lalu orang yang tidak beriman, yang tidak mengenal Tuhan dalam ilmu bahkan menunjukkannya dalam praktisi kehidupan sehari-hari, juga menjadi alasan yang cukup kuat untuk terjadinya perceraian dalam pernikahan.  Tindakan amoral yang menyangkut nyawa salah satu pasangan seperti kekerasan baik secara fisik maupun secara verbal, dapat menjadi alasan logis hubungan/ikatan pernikahan diakhiri (terjadinya perceraian).

 

FOOTNOTE

[1] Esther Indayanti, Ditempatkan Untuk Menjadi Berkat, diakses 05 Maret 2024, https://percayasaja.com/ditempatkan-untuk-menjadi-berkat/

[2] Russell P Spittler, Pemahaman Dasar Kitab Korintus (Malang: Gandum Mas, 2013), 33-34.

[3] Dianne Bergant, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 273.

[4] Charles F Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary (Malang: Gandum Mas, T.TH), 597.

[5] Bergant, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, 273.

[6] Ibid., 9.

[7] Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, 599.

[8] Ibid.

[9] C. Pfitzner V, Kesatuan dalam kepelbagaian: Ulasan atas 1 Korintus (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000), 112.

[10] Ibid., 107.

[11] Spittler, Pemahaman Dasar Kitab Korintus, 9.

[12] R Dean Anderson, 1 Korintus Membereskan Jemaat Urban yang Muda (Surabaya: Penerbit Momentum, 2018), 129.

[13] Ibid., 130.

[14]William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), 104.

[15] Ibid., 105.

[16] Ibid., 110.

[17] Ibid., 114.

[18] Ibid., 115.

[19] Ibid., 111.

[20] Warren Wiersb W, Hikmat Di Dalam Kristus Tafsiran 1 Korintus (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000), 90.

[21] Ibid., 288.

[22] Biblical Hermeneutics, diakses 17 Juni 2020, https://rb.gy/ucdrud.

[23] Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, 621.

[24] Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru jilid 2 (Jakarta: LAI 2010), 95.

[25] Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, 621.

[26] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Korintus (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 115. 

[27] Susanto, Perjanjian Baru Interlinier, 10. 

[28] J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Yayasan Kalam Hidup) 141.

[29] Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, 621.

[30] Bergant, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, 289.

[31] Ibid., 621-622.

[32] Susanto, Perjanjian Baru Interlinear, 694-695.

[33] Wesley, Tafsiran Surat Korintus, 135.

 [34] Anderson, 1 Korintus Membereskan Jemaat Urban yang Muda, 138.

 [35] Ibid.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, R.Dean. 1 Korintus Membereskan Jemaat Urban yang Muda. Surabaya: Penerbit      Momentum Christian Literature, 2018.

 

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008.

 

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Korintus. Jakarta: Gunung      Mulia, 2011.

 

Bergant, Diannet. Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,       2002.

 

Biblical Hermeneutics. Diakses 17 Juni 2020. https://rb.gy/ucdrud.

 

Bril, J.Wesley. Tafsiran Surat Korintus Pertama. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, T.TH.

 

Indayanti, Esther. Ditempatkan Untuk Menjadi Berkat. Diakses 05 Maret 2024      https://percayasaja.com/ditempatkan -untuk-menjadi-berkat/.

Pfeiffer, Charles F. The Wycliffe Bible Commentary. Malang: Gandum Mas, T.TH.

Spittler, Russell. Pemahaman Dasar Kitab Korintus. Malang: Gandum Mas, 2013.

V, C. PFITZNER. Kesatuan dalam kepelbagaian: Ulasan atas 1 Korintus. Jakarta: PT BPK     Gunung Mulia, 2000.

W, Warren Wiersb. Hikmat Di Dalam Kristus Tafsiran 1 Korintus. Jakarta: PT BPK Gunung       Mulia, 2000. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun