Indonesia merupakan negara dengan bentuk kekayaan sumber budaya yang berlimpah bagi masyarakatnya. Negara dengan 200 juta lebih penduduk yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan setiap daerah yang menghasilkan kebudayaan dengan nilai tinggi sesuai dengan eksistensinya. Adanya kekayaan dalam penghasilan mengenai kebudayaan lantas tidak dapat langsung diartikan bahwasannya pola pikir terdidik masyarakat dinilai mengalami kemajuan.Â
Perkembangan dan pemerataan pendidikan yang masih jauh dari skala prioritas pembangunan menyebakan adanya asupan pendidikan dan ilmu belajar bagi setiap masyarakat di Indonesia yang tidak merata. Bagi mereka, kendala yang paling umum adalah kurangnya dana/biaya pendidikan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah setempat kepada sejumlah masyarakat tidak mampu untuk memeroleh keadilan dalam belajar. Hal tersebut menyebabkan beberapa warga kemudian masih memiliki pola pikir yang kuno dan dianggap menghambat adanya proses globalisasi ke dalam negara. Oleh sebab itu, beberapa warga Indonesia masih dalam status masyarakat/populasi dengan pendidikan yang rendah.
Pada masyarakat pedalaman, mereka jauh lebih memercayai keberadaan mitos yang berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang leluhur maupun Sang Penjaga Alam. Mereka seringkali mengaitkan peristiwa-peristiwa alam dengan mitos yang tumbuh dan beredar. Eksistensi mitos yang berkenan dalam pemikiran masyarakat pedesaan/pedalaman pada umumnya menyebabkan proses pembaharuan zaman menjadi sedikit terhambat karena adanya gaya hidup yang tidak sesuai dengan konsep globalisasi. Karenanya, masyarakat pedalaman dinilai tidak memiliki pendidikan yang cukup dan keterlambatan dalam menerima proses arus global.
Sebaliknya, konsep mitos dianggap sedikit banyak mulai luntur khususnya pada masyarakat perkotaan yang tidak lain disebabkan adanya proses globalisasi. Selepas masa pandemi COVID-19, masyarakat mulai bergegas menyeimbangkan gaya hidup mereka yang tertahan selama dua tahun. Pada masyarakat perkotaan, mereka lebih akrab dengan gaya hidup yang bersifat hedonisme karena adanya arus global yang terjadi secara cepat. Orang perkotaan cenderung melakukan aktivitas menggunakan akal dan logika. Sebagian besar dari mereka melakukan persaingan dalam mempertahankan hidup daripada saling mengayomi dan membantu layaknya yang orang pedesaan umumnya lakukan.
Pengaitan antara kedua belah pihak (masyarakat kota dan masyarakat pedesaan) dilakukan sebagai pertimbangan yang relevan terhadap budaya belajar dan pola pikir masyarakat. Pembelajaran yang didapatkan masyarakat hingga tumbuh dengan konsep pola pikirnya masing-masing dilakukan dengan pengenalan budaya sejak dini.Â
Mulanya, kategori mitos yang dikenalkan kepada anak-anak adalah dongeng. Semua orang tua di setiap kalangan umumnya membacakan dan mengenalkan dongeng kepada anak mereka. Sekalipun mereka menempuh kehidupan di sekolah, mereka dikenalkan dengan dongeng-dongeng yang terkenal seperti Malin Kundang, Timun Emas, serta Bawang Putih dan Bawang Merah. Dongeng yang dikenalkan bersifat ringan sehingga pengartian dari dongeng tersebut dapat diterima melalui kapasitas otak untuk anak-anak belajar.
Dongeng hidup di berbagai penjuru dunia karena alur ceritanya yang mudah diterima oleh semua kalangan teutama anak-anak. Fungsi dongeng untuk diambil pesan moralnya menciptakan sebuah transformasi baru adanya konsep dongeng sebagai alat media belajar anak-anak sebelum masuk ke dunia persekolahan. Di Indonesia, dongeng merupakan bentuk dari karya sastra yang beberapa jenisnya masuk ke dalam folklor karena tidak diketahui siapa pengarangnya dan beberapa dibentuk secara sengaja untuk mendidik anak sesuai zamannya.
Anak-anak adalah konsumen utama dalam dongeng yang berkembang. Anak-anak baik usia bayi maupun usia sekolah dasar lekat dengan dongeng-dongeng Indonesia maupun luar negeri. Dongeng merupakan suatu cerita khayalan yang didalamnya terdapat sebuah pesan moral baik tersirat maupun tidak tersirat yang dianggap suci karena beberapa dari dongeng tersebut masih berkesinambungan dengan mitologi-mitologi terdahulu. Dongeng dibuat dalam bentuk karakter manusia maupun hewan (fabel) dan beberapa yang lain dibentuk dalam bentuk benda, kendaraan, dan lain-lainnya. Dongeng merupakan suatu sarana awal pendidikan pada anak tentang pendidikan moral yang dilakukan baik secara lisan maupun non-lisan.
Dongeng memiliki nilai fungsi yang positif bagi anak. Beberapa dongeng dibuat untuk membuat anak-anak memiliki kepribadian yang positif sejak ia dini. Fungsi lain dongeng adalah sebagai hiburan bagi semua kalangan. Dongeng yang dibukukan seringkali memikat masyarakat tanpa rentang usia dan kalangan. Anak-anak semakin menyukai dongeng apabila dongeng tersebut disajikan dalam bentuk fabel seperti Kelinci dan Kura-Kura, Bebek yang Buruk Rupa, dan Si Kancil Pencuri Timun. Anak-anak juga terpikat dengan dongeng yang didalamnya terdapat hewan yang mereka sukai.Â
Tradisi mendongeng kepada anak-anak pada diri masyarakat perlahan luntur. Orang tua dan anak dianggap dapat memiliki keterikatan sosial apabila mendongeng kepada anak mereka sebelum tidur. Dalam beberapa kasus, anak-anak memang lebih suka tidur saat dinyanyikan sesuatu daripada diceritakan sebuah dongeng. Mendongeng dianggap memiliki sisi positif karena adanya keterikatan dan pembelajaran untuk mengenali warna dan gambar (pada dongeng yang dibukukan).Â
Selain itu, mendongeng juga membantu anak untuk menerapkan khayalan dalam pikiran mereka yang baik dan terstruktur. Anak-anak juga dapat melatih pengucapan mereka dan menambah kosakata baru dari dongeng yang dibacakan.
Namun, seiring berjalannya waktu disaat tradisi mendongeng mulai menghilang, anak-anak mulai mengalihkan perhatiannya terhadap media lain seperti gadget dan tablet. Hal tersebut mengakibatkan perhatian orangtua terhadap anak mulai berkurang karena anak-anak dapat leluasa mendapatkan apa saja yang ingin ia tonton. Sehingga, pendidikan moral menjadi menjadi terhambat karena mereka hanya melihat sesuatu dari yang gadget sampaikan.
Di era globalisasi, media digital kini menghadirkan dongeng dalam bentuk digital. Kini, semua kalangan dapat mengakses dongeng dalam bentuk digital. Dongeng ini ditransformasikan ke dalam bentuk digital karena adanya perkembangan arus global yang kemudian menjadi tantangan para desainer seni digital untuk menyajikan dongeng yang baik dari segi visual dan isi.
Dengan canggihnya teknologi masa kini, dongeng jarang dibentuk melalui buku bacaan yang monoton yang membuat anak-anak mudah bosan dan tidak tertarik untuk membacanya. Namun, perkembangan dongeng melalui buku mulai disajikan dalam bentuk buku 3D atau yang sering disebut pop up book.
Transformasi dongeng yang berkembang di era globalisasi lantas tidak meninggalkan nilai-nilai norma sosial tentang bagaimana seharusnya dongeng hidup di benak masyarakat. Mitos-mitos yang berkembang dan berada dalam dongeng mulai perlahan luntur oleh sebagian masyarakat. Masyarakat mengerti bahwa mitos adalah suatu tradisi lisan yang tidak lain hanyalah khayalan orang zaman dahulu. Masyarakat perkotaan cenderung lebih mengikuti logika mereka dalam bertindak daripada percaya pada sebuah mitos/takhayul. Dongeng yang disajikan dalam bentuk digital ini diharapkan meninggalkan jejak tentang nilai mitos yang positif.Â
Dianalisis menggunakan teori Bronislaw Malinowski tentang kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh fungsinya masing-masing maka dongeng pasti memiliki nilai-nilainya tersendiri. Yang kemudian, analisis pesan moral dari dongeng tersebut dapat sampai di kalangan pembaca karena adanya mitos yang terselubung. Dalam makna lain, mitos memiliki fungsi yang diandalkan dalam pengenalan norma sosial. Mitos dianggap memiliki nilai magis yang mampu mengenalkan kepada manusia secara sederhana dan kompleks tentang adanya peraturan-peraturan dalam keberlangsungan hidup.Â
Nilai-nilai mitos yang saat ini mulai luntur karena adanya arus globalisasi seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan akan budaya, kita wajib melestarikan suatu kebudayaan baik dari dalam daerah sendiri maupun luar daerah. Mitos mengajarkan kepada kita tentang peraturan-peraturan tidak tertulis sehingga kita dapat menghargai dan menghormati sesama makhluk hidup. Representasi mitos juga dikaitkan dengan tatanan sosial dan terstrukturnya kebutuhan makhluk hidup tentang makhluk hidup yang harus hidup dengan sebuah kebudayaan.Â
Dalam kajian merevitalisasi nilai-nilai mitos ini, penyampaian tentang mitos ada kalanya tetap dijaga sebagai bentuk dari toleransi. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana mitos itu hidup sesuai fungsinya. Mitos tidak selamanya buruk apabila kita mengerti dan menghargai kualitas mitos tersebut.Â
Kemudian, mitos dalam dongeng Nyi Roro Kidul misalnya, mitos kecantikan ini direpresentasikan ke dalam sebuah mitos yang didalamnya berisi banyak sekali keterkaitan antara mitologi Jawa dan Sunda serta hal magis. Adanya mitos Nyi Roro Kidul sebagai ratu dan penjaga Pantai Selatan menyebabkan adanya mitos-mitos yang apabila masyarakatnya tidak mengambil kesimpulan melalui nalar berpikir akan menyebabkan adanya kekeliruan dalam penyampaian maupun pemrosesan saat akal berpikir. Selanjutnya, masyarakat luas akan meremehkan suatu bentuk mitos yang dianggap tidak masuk akal tersebut yang mengakibatkan masyarakat mulai kehilangan keseganannya terhadap mitos.Â
Namun, dalam beberapa kesempatan mitos yang dianggap tidak masuk akal memang memiliki kekuatannya tersendiri. Dalam makna lain, mitos tersebut memang tidak dapat dijabarkan dan dijelaskan melalui nalar pemikiran manusia. Sebagai masyarakat Indonesia, sepatutnya kita menghargai bagaimana mitos tersebut hidup. Entah masuk akal maupun tidaknya sebuah mitos, yang perlu kita lakukan adalah menghormatinya.
Contohnya adalah dongeng Candi Prambanan. Dongeng tersebut menceritakan tentang adanya penolakan dari Roro Jonggrang terhadap Bandung Bondowoso yang dikarenakan Bandung Bondowoso tidak dapat menyelesaikan 1000 candi dalam satu malam karena adanya kenakalan dari Roro Jonggrang yang menyebabkan berkokoknya ayam untuk menyimbolkan waktu pagi telah tiba.Â
Dalam hal ini, memang terlihat bahwasannya cerita tersebut merupakan fiksi dan khayalan orang zaman dahulu. Dongeng Candi Prambanan dinilai tidak masuk akal karena kita tidak pernah menjumpai dibangunnya suatu tempat dalam satu malam terlebih dalam jumlah yang sangat banyak. Mitos tersebut disebutkan sebagai bentuk dari dongeng yang tidak masuk akal namun kita hanya perlu menghormatinya demi menjaga toleransi umat beragama dan bertempat tinggal.
Di era globalisasi, mitos seharusnya dianggap sebagai suatu pembelajaran non-formal yang mengaitkan nilai kehidupan dalam berinteraksi sosial. Mitos tidaklah buruk apabila kita mengetahui bagaimana cara mengatur proporsi kepercayaan dilihat dari bagaimana hal tersebut ternilai. Globalisasi bukanlah suatu ajang masyarakat untuk menghapus kebudayaan. Globalisasi tidak mengajarkan bahwa mitos adalah dusta. Mitos merupakan suatu bentuk ajaran sosial yang tidak diajarkan dalam pendidikan formal.Â
Maka, mitos yang perlahan tertimbun dengan pemikiran bahwa mitos merupakan suatu kajian sesat yang membodohi masyarakatnya sudah sepatutnya kita perbaiki mindset tersebut dengan pembelajaran bahwa mitos merupakan nilai-nilai positif tergantung bagaimana kita merepresentasikan dan memandangnya. Jika bagi sebagian populasi di Indonesia memercayai adanya mitos sebagai salah satu bagian dari adat istiadat mereka, maka yang selayaknya kita lakukan adalah menghormatinya.Â
Setidaknya jika enggan untuk mempelajarinya, sebagai manusia yang beradab kita wajib menghargai dan menghormati mitos yang tumbuh di daerah dengan adat istiadat yang kental sebagaimana pepatah mengatakan dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H