Mohon tunggu...
Michele Angeline Dharma
Michele Angeline Dharma Mohon Tunggu... Pelajar -

Salam hangat untuk semua Kompasianers. Nama saya Michele Angeline Dharma. Lebih akrab dipanggil Michele. Saya adalah siswi kelas 12 dari sebuah sekolah swasta di daerah Jakarta Pusat. Saya suka membaca dan menulis. Menurut saya, membaca adalah amunisi para penulis untuk bisa menulis tulisan yang berkualitas. Sedangkan kritik dan saran adalah motivasi bagi penulis. Karena itu, silakan berkenan membaca dan memberikan tanggapan terhadap tulisan-tulisan saya. Semua tanggapan Anda akan menjadi masukan yang membantu saya tumbuh menjadi seorang penulis yang lebih baik. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pramoedya dan Bumi Manusia, Penulis dan Karya yang Sama-sama Pernah Terbelenggu

27 Februari 2016   21:46 Diperbarui: 1 April 2017   08:56 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption= "www.bapersip.jatimprov.go.id"]Tabik, Kompasianers!

Saya menduga bahwa saat ini, sebagian dari pembaca mungkin sedang mengerutkan alis mereka lantaran tidak akrab dengan kalimat sapaan yang saya gunakan di atas. Tidak masalah. Awalnya saya pun demikian. Pemakaian kata ‘tabik’ untuk menyapa ataupun mengucapkan selamat tinggal ini, mungkin lebih familier di kalangan orang-orang yang secara khusus menyenangi dan mendalami dunia sastra.

Pada kesempatan kali ini, saya tidak mempunyai maksud untuk membahas lebih lanjut soal kata ‘tabik’ maupun penelusuran seluk beluk kesusasteraan, namun saya ingin mengulas isi dari novel yang memperkenalkan saya pada kata ‘tabik’ ini.

Perkenalan saya dengan kata ‘tabik’ berawal dari membaca novel roman terbitan Lentera Dipantara yang berjudul “Bumi Manusia”.

Novel “Bumi Manusia” merupakan seri pertama dari Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer yang dihasilkan beliau saat menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Dengan berlatar negri ibu pertiwi pada masa kolonial Belanda dahulu, Bumi Manusia menceritakan tentang kisah asmara antara Minke, seorang Pribumi Hindia, dengan dara Indo cantik rupawan bernama Annelies. Minke merupakan satu-satunya siswa H.B.S. yang pribumi tulen. Statusnya sebagai seorang pribumi seringkali membuatnya dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekelilingnya. Meskipun begitu, Minke beruntung karena ia kemudian bertemu dengan orang-orang yang mau menerimanya apa adanya, bahkan menginspirasinya dan mengajarkannya banyak pembelajaran tentang kehidupan. Terutama mengenai hakikat kesetaraan yang semestinya diberlakukan antara Pribumi Hindia dan pemerintah kolonial Belanda.

Kisah cintanya dengan Annelies berawal dari ajakan teman sekolahnya, Robert Suurhof, untuk mengunjungi Borderij Buitenzorg yang dikelola oleh Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh sendiri adalah ibu dari Annelies. Ia merupakan gundik kepunyaan Herman Mellema, yang dahulu dikenal sebagai Tuan Besar Kuasa. Sewaktu muda, ayahnya menjualnya kepada Herman Mellema. Alhasil, Nyai pun melahirkan dua anak dari Herman Mellema, yaitu Robert Mellema dan Annelies Mellema.

Tidak seperti gundik pada umumnya, Nyai Ontosoroh bertata krama seperti seorang Eropa terpelajar. Ia cerdik, kharismatik, dan pandai baca-tulis Belanda. Pengetahuannya sangat luas, apalagi jika kita melihat latar belakangnya yang hanyalah seorang Nyai. Minke pernah menyebutkan kalau Nyai seakan bisa menyihir orang lain untuk menuruti kemauannya hanya melalui perkataan mulutnya saja.

Sedangkan kedua anaknya, menurut saya, tidak memiliki sifat dan watak Nyai sedikitpun. Annelies, putri kecilnya, meski sangat cantik fisik luarnya, namun memiliki jiwa yang sangat rapuh. Cintanya kepada Minke yang begitu besar terkadang membuatnya mudah melukai dirinya sendiri. Sedangkan Robert Mellema, putra sulung Nyai, justru sangat membenci Pribumi. Ia mengagungkan kaum Eropa serta menganggap dirinya bagian dari mereka meskipun darahnya merupakan campuran darah Pribumi Nyai dan darah Eropa Herman Mellema.

Awalnya saya menduga roman yang dituturkan dalam kisah ini sama seperti pada novel-novel pada umumnya. Tetapi setelah membacanya lebih lanjut, saya menyadari bahwa roman karya Bapak Pramoedya ini sangatlah tidak biasa, malah bisa dikatakan sungguh luar biasa. Konflik-konflik yang ada di dalamnya disuguhkan dengan gaya tutur khas Bapak Pramoedya yang cerdas dan mengalir. Gaya bahasanya sentimentil membuat pembaca ikut terhanyut dalam gejolak pikiran dan emosi para karakternya. Setiap karakter juga diperlengkapi dengan cerita latar belakang masing-masing yang membuat mereka terasa begitu hidup. Bapak Pramoedya berhasil menggiring para pembacanya untuk memasuki dunia hasil cipta imajinasinya.

Menurut saya, novel ini adalah salah satu novel yang sepatutnya dibaca oleh para pencinta buku yang rindu membaca tulisan yang berkualitas. Ide cerita, gaya bahasa, dan nilai moral yang diselipkan oleh Bapak Pramoedya sungguhlah menunjukkan betapa pantas waktu yang saya luangkan untuk membaca buku ini. Dan yang paling mengagumkan diatas semua ini adalah bahwa kisah ini dihasilkan Bapak Pramoedya saat ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Buru. Bayangkan! Berada di dalam kondisi seperti itu, namun beliau masih bisa melahirkan sebuah mahakarya. Betapa luar biasa.

Dan meski sempat dilarang beredar, Bumi Manusia akhirnya kembali dapat dibaca oleh khalayak luas. Sungguh amat disayangkan seandainya larangan tersebut tidak dicabut.

Meski saya sangat merekomendasikan novel ini, saya kurang menyarankan untuk dibaca oleh kalangan pembaca remaja. Saya berpendapat bahwa ada beberapa konten yang tergolong dewasa dan kurang sesuai untuk pembaca remaja.

Akan tetapi, disamping semua itu, saya kira kita patut berbangga sebagai orang Indonesia. Novel Bumi Manusia telah diterjemahkan dan diterbitkan di puluhan negara di dunia dan menuai banyak sekali kritik positif dari pembaca di seluruh dunia. Prestasi Pak Pramoedya telah mengukir kebanggaan tersendiri pada diri orang Indonesia dan menaikkan derajat Indonesia di mata dunia, terutama di bidang sastra. Karyanya begitu diapresiasi oleh dunia internasional. Saya pun berharap demikian pula orang Indonesia mau melakukan hal yang sama terhadap beliau dengan cara membaca karya-karyanya. Karena, apresiasi tertinggi yang bisa diberikan kepada penulis adalah ketika kita mau meluangkan waktu kita untuk membaca karya buatannya.

Sekian dari saya.

Terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca ulasan saya ini.

Tabik, Kompasianers!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun