Salam Sejahtera, Assalamualaikum wr wb, Shalom Alaichem
Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam KebajikanÂ
Berawal dari diskusi tongkrongan mengenai bagaiman seorang yang tergolong "pelit" bisa menjadi seorang penderma (murah hati) berdasarkan perilaku orang disekitarnya. Saya rasa tulisan ini mungkin saja relevan untuk beberapa pembaca dalam kehidupannya sehari-hari, terutama dalam berbagai aktivitas yang menggunakan jasa pelayanan.Â
Satu contoh sederhana saja yang mungkin sering menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat tentang tarif dasar parkir di jalanan umum. Menurut ketentuan perda yang berlaku (di daerah saya), tarif parkir motor adalah 1000 rupiah sedangkan mobil sebesar 2000 rupiah. Perdebatan banyak terjadi atas tarif parkir kendaraan bermotor yang dianggap jelas namun kabur di lapangan.Â
Ada juru parkir yang jika diberi 2000 dengan jujur mengembalikan 1000 rupiah sebagai kembalian, ada juga yang ketika diberikan 2000 rupiah mengucapkan terima kasih, ada juga yang setelah diberikan 2000 rupiah langsung pergi tanpa memberikan kembalian seolah-olah itu sudah menjadi haknya. Timbul perdebatan di kalangan masyarakat antara argumen "Cuma 2000, jangan pelit" vs "Walaupun cuma 2000 tapi uang itu juga dari hasil usaha sendiri".
Ada argumen (argumen A) yang menganggap bahwa uang 2000 itu kecil dan tidak perlu dipermasalahkan. Argumen ini lebih mengarah kepada mengikhlaskan uang 2000 tersebut dan menganggapnya sebagai "derma" kepada sang juru parkir (yang seakan-akan dalam posisi sangat membutuhkan uang tersebut). Di lain sisi, argumen (argumen B) lain menekankan bahwa uang 2000 tersebut adalah uang hasil kerja keras masing-masing yang perlu diperjuangkan. Argumen ini ingin menggaris bawahi bahwa setiap pribadi mempunyai hak atas bagiannya dan tidak semestinya salah satu pihak mengambil apa yang bukan menjadi miliknya. Walaupun dalam jumlah yang bisa dikatakan kecil, namun jika dilakukan berulang-ulang akan menngakumulasikan jumlah dalam nominal yang cukup besar (tergantung intensitasnya).Â
Dari kedua kubu atau argumen diatas, masing-masing pihak punya justifikasinya sendiri dan profil dari masing-masing argumen bisa terlihat jelas. Orang-orang yang pro dengan argumen A mungkin masuk dalam kategori orang-orang yang penderma, santai, tidak ambil pusing dan suka membantu orang lain. Sedangkan profil argumen B lebih mencakup orang-orang pekerja keras, ulet dan berprinsip dalam hidupnya. Tidak ada yang salah dalam kedua argumen tersebut dan itu tergantung dari perspektif masing-masing individu. Kalau kamu masuk dalam argumen yang mana?Â
Namun yang ingin saya ceritakan adalah bagaimana orang-orang dengan argumen B seketika bisa berpikiran sejalan dengan argumen A atau sebaliknya hanya dengan suatu tindakan sederhana. Selain kasus juru parkir, hal serupa juga mungkin dapat terjadi pada pekerjaan-pekerjaan lain yang menawarkan jasa secara personal, contohnya driver ojek online, pelayan restoran, petugas hotel dan lainnya.Â
Secara pribadi, saya termasuk orang yang pro dengan argumen B namun tidak menutup mata akan argumen A. Saya berpikir bahwa setiap rupiah yang kita miliki merupakan hak kita sepenuhnya akan hasil kerja keras yang kita lakukan (untuk orang yang sudah bekerja). Â Bahkan tak jarang saya terkadang menghitung berbagai macam promo dan potongan diskon di beberapa aplikasi guna menekan sebanyak-banyaknya pengeluaran (dikategorikan pelit bagi sebagian orang). Namun tentu ada baiknya jika hak kita tersebut dapat kita bagikan ke orang-orang lain yang membutuhkan bantuan kita jika kebutuhan-kebutuhan kita sudah tercukupi dan hati kita terdorong untuk membantu dengan ikhlas.Â
Hal sederhana yang saya maksud adalah ketika pekerja-pekerja dari berbagai bidang jasa yang saya jelaskan diatas juga dapat memberikan respect nya kepada kita sebagai pengguna jasa mereka. Bukan bermaksud ingin dihormati atau gila hormat, namun ada baiknya antara penyedia jasa dan pengguna jasa dapat menghormati hak dan kewajiban satu sama lain. Sang penyedia jasa tidak boleh membedakan pengguna jasa atas latar belakangnya begitu pula para pengguna jasa tidak boleh merendahkan tugas para penyedia jasa. Dibutuhkan sikap mutual respect antar kedua belah pihak.Â
Pengalaman sederhana yang bisa saya analogikan lagi dengan "kasus" juru parkir adalah ketika misalnya sedang nongkrong di salah satu warung kopi dan membawa motor. Pada dasarnya saya sebagai pengguna motor hanya berkewajiban untuk membayar 1000 rupiah kepada sang juru parkir. Namun, di beberapa warung kopi ada juru parkir yang menarik retribusi sebesar 2000 rupiah dengan alasan bahwa motor yang diparkirkan dalam tempo waktu yang cukup lama (bahkan beberapa juru parkir membandingkan dengan tarif parkir di mal). Hal tersebut justru membuat saya mencoba untuk mempertahankan hak saya sebagai pengguna jasa yang sudah diatur dengan ketentuan yang sudah berlaku.Â
Akan beda ceritanya jika sang juru parkir justru memarkirkan kendaraan saya dengan benar, ketika saya sudah selesai motor pun dipersiapkan untuk keluar, mengucapkan kata sedarhana "terima kasih" / "hati-hati di jalan" dan bahkan di beberapa tempat menyediakan kantong untuk menutupi helm agar terhindar dari basah akibat hujan atapun menyedikan kardus untuk menutup jok agar tidak panas. Hal-hal tersebut lah yang dapat menggeser argumen B yang saya pertahankan ke argumen A yang kurang saya setujui (dalam kondisi tertentu). Dengan hal-hal sederhana diatas (dalam kasus juru parkir) mendorong saya untuk memberikan apresiasi yang lebih (bermurah hati) kepada sang juru parkir atas pelayanannya. Mungkin tak hanya 2000, bahkan terkadang jika ada rejeki, 5000 pun saya ikhlaskan.Â