Cara-cara tersebut mereka tempuh untuk menyadarkan sebagian masyarakat yang selama ini mungkin menganggap bahwa pemilhan umum ini sangatlah penting untuk masa depan Amerika Serikat. Secara tersirat juga dalam beberapa video sebenarnya ingin menyindir secara tidak langsung atas pemilihan sebelumnya yang di beberapa daerah kalah karena mengganggap remeh jumlah suara.Â
Di tahun 2016, Hillary Clinton sebenarnya unggul sekitar 2 juta suara atas popular vote (menang berdasarkan jumlah suara seperti di Indonesia), namun karena sistem pilpres di AS yang menggunakan sistem electoral collage, ia kalah dengan jauh atas perolehan jumlah "kursi" dengan Donald Trump.Â
Maka dari itu, dengan kesadaran yang meningkat atas pentingnya pilihan didukung pula dengan kampanye besar-besaran untuk memilih, jumlah pemilih naik signifikan dan terbukti sekarang bisa membalikkan keadaan dengan keluarnya Joe Biden sebagai pemenang (walaupun belum resmi). Hal semacam ini sebenarnya juga terjadi di Indonesia dan Malaysia pada pemilihan terakhir.Â
Di Indonesia, peningkatan jumlah pemilih juga naik signifikan di tahun 2019 dengan total sekitar 154 juta pemilih dibandingkan dengan pilpres 2014 yang hanya di angka sekitar 133 juta pemilih. Mungkin masih cukup segar diingatan kita begitu intensnya pilpres 2019 dengan persaingan yang begitu ketat antara kedua paslon.Â
Terluput dari segala manuver politik, perbedaan PIKIRAN dan pandangan, perselisihan yang sebenarnya masih dapat kita RASAkan sampai sekarang, harus kita akui bahwa pilpres 2019 merupakan suatu langka maju dalam proses keterlibatan demokrasi di negeri kita.Â
Hal yang terjadi di Amerika Serikat mungkin lebih mirip dengan apa yang terjadi di Malaysia pada tahun 2018. Saat itu juga terjadi gejolak politik yang sangat besar terkait pemilihan Perdana Mentri (PM) Malaysia untuk periode 2018-2023.Â
Banyak rakyat Malaysia yang merasa kecewa terhadap kepemimpinan Najib Razak yang sudah menjadi PM selama kurang lebih 10 tahun terakhir. Banyak isu-isu serta tuduhan-tuduhan yang dilontarkan tapi yang paling mencuat adalah skandal di proyek 1MDB. Momentum inilah yang menjadi kesempatan oposisi atau lebih dikenal sebagai pembangkang di Malaysia untuk merebut posisi PM dari kolisi Barisan Nasional yang sudah puluhan tahun menguasai negara tersebut.Â
Berbagai aksi demonstrasi (Bersih) dan pertemuan-pertemuan terjadi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat yang selama ini pasrah akan hasil dari pemilihan PM Malaysia.
Dua tokoh yang terkenal berseteru akhirnya bersatu yaitu Mahatir Mohammad dan Anwar Ibrahim (dalam penahanan) demi merebut kursi pemerintahan yang akhirnya mengusung Mahatir Mohammad untuk maju sebagai kandidat dari koalisi Pakatan Harapan melawan Najib Razak dari koalisi Barisan Nasional.Â
Gejolak dan antusiasme masyarakat begitu kuat sehingga anak-anak muda yang selama ini malas berpartisipasi dalam pemilu ikut mendaftar dan datang pada hari pemilihan untuk memilih anggota parlemen meraka yang nantinya akan menentukan koalisi mana yang berhak untuk menduduki pemerintahan.Â
Dan pada akhirnya, setelah perhitungan suara parlemen selesai, koalisi yang dipimpin oleh Mahatir Mohammad menang dan menjadikan ia kembali sebagai Perdana Mentri tertua di dunia. Walaupun sekarang gejolak politik yang cukup kompleks pun sedang bergulir di negara jiran tersebut, namun momentun pemilu 2018 dapat setidaknya menyadarkan rakyat Malaysia terutama kaum mudanya akan pentingnya menggunakan hak suara mereka.Â